"Nih baju sekolah bekas gue! Hari ini lo bisa masuk sekolah lagi," Erina melemparkan baju sekolah bekas miliknya dari lantai atas, padahal aku sedang mengepel lantai. Baju-baju itu pun jadi basah dan pastinya ikut kotor. Padahal dia bisa memberinya dengan cara baik-baik, kenapa harus pakai cara kurang ajar seperti ini sih? Dia seperti bukan orang yang berpendidikan saja.
Tidak lama, ia melempar tas punggungnya lagi, dengan cara yang sama. "Tuh, gue juga kasih lo tas gue. Kurang baik apa gue sama lo, dasar pembantu!"
Kutatap nanar baju dan tas yang dilempar Erina tadi. Baju sekolah dan tas punggung yang kulihat sengaja dibolongkan dan digunting di beberapa bagian. Ini semua pasti imbas dari kejadian kemarin, Adam tiba-tiba datang ke rumah dan dan memarahi Erina, bahkan suaranya yang begitu lantang membuat mama turun, ikut memarahi Adam dan pada akhirnya aku lah yang disalahkan. Beruntungnya aku tidak sampai kena pukulan batang sapu dan rotan.
~Flashback On~
"Kalau sampai besok Abila tidak masuk sekolah, siap-siap aja lo dan keluarga lo masuk penjara. Gue punya bukti rekaman CCTV saat lo bully Abila!"
"CCTV apa yang lo maksud? Gue gak pernah bully si Abila itu sedikit pun! Selama ini gue baik sama dia, perhatian sama dia sebagai adik gue," ujar Erina mengakuinya di depan Adam, jelas itu adalah kebohongan besar.
Bahkan semua siswa-siswi di sana menjadi bukti kelakuan buruknya terhadapku. Itu tidak terjadi sekali saja, tapi berulang kali. Dan pantas saja selama ini aku merasa aneh, guru-guru tidak ada yang tahu sedikitpun, ternyata aku lupa kalau CCTV berada di ruangan OSIS, dan sudah pasti Adam lah yang memegang kuncinya.
"Lo jangan ngada-ngada, ya, Erina. Gue punya buktinya. Kalau lo bertingkah sekali saja, terpaksa gue sebarin video saat lo bully Abila biar satu sekolah tahu kelakuan lo itu kayak gimana," aku melihat Adam memberikan HPnya ke Erina, entah tontonan apa itu, tapi yang pasti aku bisa menangkap keterkejutan dari Erina.
Itu pasti rekaman saat dia mem-bullyku. Entah aku harus bersyukur atau tidak, tapi yang pasti kehadiran Adam tetaplah menjadi Boomerang untukku. Sebaik apapun Adam padaku, yang dilakukan Erina hanyalah kebenciannya kepadaku.
"Oh gak cuman itu aja. Gue bakal sebarin video ini ke semua sekolah dan semua media sosial yang ada. Jangan lupa, gue punya banyak kenalan di berbagai sekolah. Setelah semua video lo tersebar, bisa lo bayangkan apa yang bakal terjadi."
Kehancuran. Aku menduga Erina akan mendapatkan kehancuran setelah video itu tersebar. Tidak akan ada yang mau mendekatinya, karena sifat manusia yang tidak mau dekat dengan orang yang mendapatkan masalah, takut tertular. Jangankan teman, bisa saja setelah Erina mendapatkan masalah, mama dan papa akan berusaha menghindar dan tidak mau tahu apapun yang terjadi. Ini pernah terjadi sekali, sebelumnya. Di sekolah yang sebelumnya.
"Lo bakal hancur, Erina!" Bentak Adam.
"Gak ada sekolah ataupun universitas mana pun di dunia ini yang mau nerima siswi dengan rekam jejak buruk seperti apa yang lo lakuin sekarang ini!"
"Dan lo gak bisa hilangkan jejak digital, Erina!"
"Lo bukan siapa-siapa yang seenak jidat nge-bully orang lain, terlebih lagi dia adik lo!"
Lagi, Adam membentak dan kali ini sampai membuat mama keluar dari kandangnya, dengan memakai baju tidur yang dia pakai tadi pagi. Bisa aku pastikan, mama belum mandi sedikitpun dari tadi pagi. Dia terus bersantai dan bersantai di dalam kamarnya, dalam singgasananya.
"Dia diadopsi, bukan adik kandung gue, Dam!" Balas Erina, namun nada suaranya tidak berani setinggi Adam membentaknya tadi, padahal biasanya dia membentakku lebih keras dan kasar dari apa yang Adam lakukan. "Jadi gue berhak lakuin apapun, itu semua tidak ada urusannya sama lo!"
"Tapi dia manusia, dan lo bukan Tuhan! Jadi, stop jadi orang yang menyebalkan, karena lo itu menjijikkan!"
Jujur, aku sampai terkejut mendengar bentakan Adam yang demikian, apalagi dia mengatakannya di rumah Erina sendiri, bukan di luar rumah. Seharusnya dia bisa bersikap lebih sopan sedikit. Aku saja tidak seberani itu untuk berkata demikian.
Oh iya, aku lupa, kuasa Adam lebih besar dibandingkan Erina. Erina sekolah di tempat milik orang tuanya Adam, sudah pasti mama dan papa tidak akan berani melawan. Tidak hanya dilihat dari segi harta saja, bahkan perasaan suka Erina pada Adam pun bisa dijadikan sebagai sebuah alasan. Erina tidak akan berani melawan Adam.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?!" Mama sudah mulai ikut campur. Dia menunjukku, melihat keberadaanku. Aku yakin, pada akhirnya aku lah yang diseret.
"Ma, Adam salahin aku. Katanya dia mau penjarain kita kalau gak biarin Abi sekolah. Dia ngancam kalau aku gak bisa sekolah lagi kalau Abi gak disekolahin," Erina mengadu dengan gaya manjanya, bahkan air mata kebohongan sudah mulai mengalir di pipinya.
Pembual handal.
Mama mendekati Adam dan Erina, memeluk anak kesayangannya. Mama pun juga tidak bisa menyalahkan Adam, mengetahui Adam adalah anak sekolah itu, mama mendukung Erina tuk dekat dengan Adam. Mama dan Erina sama saja, mata duitan.
"Abi buat apa lagi sama kamu, sayang?" Nadanya yang begitu lembut pada Erina, sangat tidak menggambarkan apa yang selama ini dia lakukan padaku.
Aku lihat, Adam sampai ternganga-nganga melihat nyonya besar dan tuan putrinya itu. Menyeringai, menahan tawanya. Adam pasti tidak bisa menyangkanya. Kemudian ia menatapku, tapi aku langsung bersembunyi lagi.
"Ma, aku gak lakuin apapun. Aku takut," ujar Erina, bersedih-sedih di dekapan mama.
Erina Tahsina, Si Ratu Drama.
"Nanti kita hukum dia ya, jangan nangis lagi," ujar mama menenangkan Erina seperti anak kecil. Ya, memang anak kecil, pikirannya yang kekanakan, namun tindakannya yang luar biasa kriminal.
Kemudian tatapan tajam mama mengarah ke arahku. "Ke sini kamu, Abi!" Panggilnya, menyuruhku ikut serta bergabung di perdebatan itu. Berat hati untuk melangkah, benar-benar tidak ada keuntungan sama sekali yang aku dapatkan.
Tapi aku harus gimana lagi? Suka atau tidaknya, sakit atau tidaknya, susah atau tidaknya, aku harus lawan. Hidup terus berjalan, roda terus berputar, namun mama dan Erina menginginkan roda yang sama untukku, selalu ada di bawahnya. Mereka lupa hanyalah manusia biasa.
"Kamu ngapain diam-diam terus di sana, dan biarin kakakmu dibentak seperti ini?! Kamu budeg, tuli, apa gimana sih?!" Mama membentakku, menarikku hingga hampir saja aku terjatuh. Bisa kurasakan kulit lenganku sedikit kebas, dan sakit.
"Abi gak tau apa-apa, ma. Abi gak tau," aku tidak ingin ikut campur, karena itu lah aku bersembunyi di dapur. Aku lebih takut dengan kemarahan mama, dibandingkan Erina.
Mama semakin memeras lenganku, "cepat kamu suruh si Adam sialan itu pergi dari rumahku atau mama pukul kamu pakai batang sapu dan rotan setelah ini. Pilih saja, itu terserah kamu," mama berbisik, tidak berani ketahuan sama Adam. Tidak main-main, remasan tangan mama begitu luar biasa.
Sakit.
"I-iya, ma, Abi suruh dia pulang, tapi jangan sakiti Abi lagi. Sakit," ujarku, menahan tangis.
Mama melepaskan tangannya dengan kasar, hampir aku terbanting. Air mataku mengalir, segera kuhapus. Tidak, aku tidak boleh selemah ini. Aku harus kuat. Kuberbalik berhadapan dengan Adam, "tolong pergi dari rumah ini. Lo sudah kurang ajar, langsung nyelonong masuk gitu aja. Kalau lo gak mau pulang, terpaksa gue laporin ke satpam, lo bisa disalahkan, bahkan dihukum," kataku, menahan tangisku.
Kubiarkan suaraku bergetar, tapi aku tidak boleh gentar.
"Gak. Gue gak mau pergi dari sini sebelum keluarga lo izinin lo sekolah lagi. Gue mau tegakkan keadilan buat lo, Abila. Lo layak sekolah, lo layak dapatkan pendidikan yang lebih bagus, dan lo layak hidup tenang, tentram tanpa penekanan dari keluarga lo seperti ini," ujar Adam. Dia mengulurkan tangannya, hendak memegangku, namun aku langsung menghindar. Aku tidak mau memperpanjang, dan menebalkan masalah yang sangat menyebalkan ini.
Sialan air mataku yang terus menerus keluar, padahal dengan sekuat tenaga aku menahannya hingga jari-jari tanganku memutih. "Gue mohon sama lo, pergi dari sini. Gue tahu lo baik, lo ingin berlaku adil karena lo sebagai ketua OSIS yang bijaksana dan menomorsatukan keadilan, tapi gue benar-benar gak butuh itu. Yang gue butuhkan sekarang adalah, please lo pergi dari sini. Sebenarnya yang ganggu hidup gue itu bukan Erina, tapi lo," kuangkat pandanganku, menatapnya penuh keyakinan. Aku tahu ini kebohongan, tapi ini satu-satunya solusi agar aku bisa aman dari kayu dan rotan yang mengancam kekebalan kulitku.
"Lo yang udah buat hidup gue jadi seperti ini. Kalau lo gak hadir dan bersikeras dekat sama gue dengan dalih sebagai seorang ketua OSIS yang visioner, maka seharusnya sampai saat ini pun gue masih bisa sekolah dengan tenang. Jadi kalau ada yang perlu disalahkan, orangnya itu lo," kataku, kemudian pergi meninggalkan mereka. Aku tidak tahu selanjutnya apa yang terjadi.
Biarlah Adam membenciku. Itu lebih baik dibandingkan sikapnya yang memancing adanya perang dunia ketiga untuk kesekian kalinya dalam hidupku.
~Flashback Off~
Kupungut baju-baju sekolah dan tas punggung yang tadi dilempar Erina, air mataku menitik tanpa diminta. "Aku harus cepat-cepat bereskan semua ini, aku harus sekolah lagi hari ini. Mungkin raga boleh dibanting habis-habisan sama Erina dan mama, tapi tidak dengan pendidikanku. Setidaknya aku bisa melawan mereka dengan akal sehat yang aku punya, melawan kegilaan mereka yang gak ada habisnya."
Setelah mengepel, membuat sarapan sembari aku mencuci baju sekolah dan tas yang tadi diberikan Erina, kemudian setelah aku mengeringkan bajunya. Aku menjahit beberapa bagian yang sengaja digunting oleh kelicikan Erina. Erina sengaja sekali tidak membiarkanku memakai baju yang bagus, meski itu adalah bekas pakainya.
"Astaga, aku belum mandi, tapi aku belum jahit tasnya. Gimana ini?"
Aku dikejar waktu mati-matian. 30 menitan lagi sudah masuk kelas, sedangkan aku belum mandi. Aku tidak mungkin tidak mandi, bekerja dari pagi membuat badanku jadi lengket. Bagaimana kalau ada yang bilang aku sebagai cewek busuk lagi? Karena bau badanku yang bekerja seharian menjadi babu di rumah ini.
"Aku mandi dulu aja deh," putusku.
***
Sebenarnya sia-sia saja, selesai mandi, waktu yang tersisa adalah 15 menitan. Aku tidak mungkin sampai di sekolah tepat waktu. Setidaknya kalaupun aku berlari, membutuhkan waktu 45 menitan. Dan ya, akibat banyaknya bolong-bolong di baju Erina, meski aku sudah menjahitnya, tetap saja terlihat aneh. Aku seperti sedang memakai baju seragam dari kain perca.
"Ah, sudahlah. Yang penting itu otak yang disekolahkan, penampilan bisa jadi nomor seratus."
Masa bodoh dengan penampilanku, lanjut berangkat sekolah. Baru saja aku membuka pintu gerbang, orang itu muncul lagi.
Bolehkah aku berkata kalau Adam dan Erina cocok bersama? Mereka sama-sama pintar memancing permasalahan dalam hidupku.
"Ayo naik, kita ke sekolah bareng."
"Gak. Gue gak mau barang sama lo. Yang seharusnya gue sampai di sekolah, tapi karena harus sama lo, terpaksa gue harus sampai di nerakaa. Ogah banget gue," balasku ketus.
Tapi sayang, aku melangkah ke kanan, Adam akan menghalangiku. Aku melangkah ke kiri lagi, dia pun melakukan hal yang sama. Tidak mengizinkan aku pergi ke sekolah dengan perasaan aman.
Aku berdecak kesal, "bisa gak sih lo jangan dekat-dekat gue lagi, jangan muncul depan gue lagi. Gue muak!" Kesalku, sampai-sampai menyorakinya tepat di depannya langsung.
Dia malah tertawa. "Kok kamu jadi lucu ya kalau marah?" Ia membuka jaketnya, memakaikan benda itu di badanku, menaikkan resletingnya hingga jaketnya menelan badanku.
"Maksud lo apaan pakein gue jaket lo? Lo beneran mau lihat gue dibantai habis-habisan sama Erina?!"
"Gue cuman mau lindungin lo, Abila."
Berhadapan dengan Adam bagai makan buah simalakama. Serba salah.