"Nih ganti baju lo, gue jaga toilet dari luar biar gak ada yang usilin lo lagi," Kutatap baju olahraga yang diberikan Adam. Baju yang kunilai lebih berharga dibandingkan harga diriku.
Bagaimana tidak? Baju itu diperlakukan lebih baik dibandingkankan denganku. Disetrika dengan penuh hati-hati, diberikan pengharum tuk menghargai pemiliknya, dilipat dengan sepenuh hati hingga menjadi sebuah baju olahraga yang tampak berharga.
Lalu, apakah aku pantas memakainya? Tentu saja tidak.
Kutolehkan pandanganku ke ujung sana bahwa ada sepasang mata yang memperhatikanku penuh murka, wajahnya sudah memerah memendam amarahnya, dan dengan tatapannya begitu tajam menusukku. Ya, di ujung sana Erina sudah memantauku bersama dengan geng-gengnya.
Bagaimana ini? Apakah aku harus menerima baju olahraga pemberian Adam atau aku harus tetap memakai bajuku yang sekarang dengan catatan bahwa aku akan membuat semua orang mencium aroma yang super duper bau dari badanku, lebih tepatnya dari baju yang kupakai. Pasti itu tidak akan nyaman sekali.
"Hmm...," Kudorong tangan Adam, menolak baju olahraga miliknya. "Gue gak bisa pakai baju lo. Itu milik lo, dan harus lo yang pakai," kataku, tersenyum aneh padanya. Aku hanya tidak enak hati telah menolak kebaikannya, tapi aku tidak menginginkan double ataupun triple kill dari Erina setelah ini.
"Kenapa? Gue ikhlas kok, gak keberatan sedikitpun. Nanti lo bisa kembaliin kalau udah dicuci atau gue bisa beli lagi. Gampang kalau masalah itu."
Aku malah tertawa, merasa lucu dengan bercandaan orang-orang yang beruntung. Ya, semuanya terasa gampang untuk orang-orang yang sedari kecil ditakdirkan bahagia dan serba berkecukupan, entah dilihat dari segi manapun. Akan tetapi untukku? Diberikan kesempatan napas saja sudah sangat cukup rasanya dan itupun aku tidak diberikan kesempatan untuk berkomentar—sepatah kata pun tidak boleh.
"Gak. Gue gak bisa pakai baju lo," aku tetap menolaknya. "Gue gak mau bikin masalah lebih buruk lagi. Hari ini sudah cukup," kataku, hendak pergi, namun Adam menarik tanganku.
"Tapi lo kedinginan dan—"
"Dan bau." Lanjutnya, menurunkan nada bicaranya. Hampir berbisik.
Aku paham, aku menganggukkan kepalaku penuh kepahaman. Tidak hanya dia saja yang menyebutku bau, sedari tadi sudah banyak orang yang berlalu lalang di dekatku dan dengan terang-terangan memberikanku label sebagai 'cewek bau busuk'. Sebutan mereka begitu membekas di ingatan, sampai rasanya bernapas pun hanya suara mereka yang terdengar setiap saatnya. Sakit hatiku, tapi siapa yang akan peduli? Tidak ada, kan? Ya begitulah nasibku.
"Iya, karena gue bau, makanya gue nolak kebaikan lo. Mending lo pergi makan siang kek, kumpul sama temen-temen lo kek, atau gimana. Terserah. Yang penting jangan di dekat gue, nanti lo ketularan bau. Lo ngerti kan?" Tanyaku, berharap kalau kali ini dia bisa mengerti dan hadapanku dia bisa menghindar dariku. Mungkin untuk selamanya.
Apakah sekarang dia tidak bisa membaca kalau aku sudah sangat lelah? Apa dia tidak kasian melihatku dijadikan sasaran empuk terus? Apa di pikirannya tidak terbesit sedikit pun bahwa kehadirannya adalah mimpi buruk bagiku? Kenapa rasanya tidak ada yang bisa mengerti keadaanku?
"Terus lo mau kemana?"
"Pulang." Pilihku tanpa keraguan sedikitpun. Ya, menurutku ini lah solusi yang tepat untuk hari ini. Aku harus cepat-cepat pulang atau nanti Erina akan terus menahan amarahnya terhadapku. Emosi Erina saat ini sudah menumpuk dan menumpuk, sebentar lagi akan meledak dan aku bisa habis ditangannya. "Lagipula dari awal gue gak ikut pelajaran, terus buat apa gue balik ke kelas lagi? Di absen gue udah dinilai bolos kok. Mending gue pulang daripada diejek terus di sini."
"Gue anterin ya?" Tawarnya.
Aku langsung menggeleng, menolaknya. Menerima tawaran darinya sama artinya dengan menantang Erina tuk membunuhku. "Gak perlu, terima kasih. Gue gak mau membuat lo jadi orang yang bau dan rendahan seperti gue hanya karena lo terlalu lama bergaul dengan gue."
"Lo itu udah harum, udah bersih, udah suci, udah sempurna dan punya segalanya. Beda sama gue yang udah kotor dan hina dari lahir—" sejenak aku berhenti, rasanya sakit sekali mengakui kerendahan diri seperti ini. Sebuah fakta yang sangat tidak menguntungkan. Sesak di d**a rasanya belum cukup. "Jadi gue minta sama lo, jangan temui gue lagi. Kalau lo emang tipikal orang yang baik dan care sama semua temen-temen lo, maka jangan ikutkan gue di dalamnya. Lo tahu gak karena apa?"
Dia menggeleng. "Gue care sama lo karena gue anggap lo temen. Gak ada bedanya lo sama temen-temen gue yang lain, bahkan semua siswa-siswi di sekolah ini. Jangan lupakan kalau gue itu ketua OSIS dan harus berlaku adil ke semua siswa-siswi di sini."
Baiklah, kuanggap dia belum mengerti dan kalaupun aku menjelaskannya sekarang tidak akan ada habisnya. Dia akan bersembunyi dibalik perannya sebagai ketua OSIS dan semua hak serta kewajibannya dalam menyandang peran yang sangat bergengsi itu. Tapi, menjadikan itu sebagai alasan dia dekat denganku dan membuat Erina murka, bagiku dia telah gagal menjalankan tugasnya. Tetap saja ujung-ujungnya aku yang akan dijadikan bulan-bulanan semua warga sekolah ini. Contohnya sekarang, bukti ada di depan mata, terjadi kontan hari ini pula.
"Oke, berarti sekarang lo lagi ngejalanin tugas lo sebagai ketua OSIS?" Tanyaku.
"Iya, tentu."
Aku mengangguk, tersenyum sangat terpaksa padanya, "oke, terima kasih ketua OSIS yang terhormat. Terima kasih sudah mau membantu saya meski pada akhirnya saya tetap di-bully seperti ini. Tapi kalau saya boleh menyarankan, kedepannya tolong jangan bantu saya lagi karena SEBENARNYA saya tidak butuh itu," sengaja kutekan nada bicaraku pada kata sebenarnya, kemudian melengos pergi dari hadapannya.
Melewati lorong yang dipenuhi oleh siswa-siswi di depan kelas dan dengan sangat jelas aku mendengar olok-olokan mereka terhadapku. Bahkan tak jarang mereka melempari kepalan kertas hingga mengenai kepalaku. Tawa mengejek, cercaan, hinaan mereka memenuhi telingaku hingga rasanya itu menjadi nada yang paling indah dan akan selamanya terekam di memori otakku. Tidak akan aku lupa.
"Eh, lo mau ngapain masuk ke dalam? Lo itu bau!"
"Gue mau ambil tas gue. Gue mau pulang." Jawabku lemah.
"Enak aja! Diam di luar!"
Aku dicegah masuk oleh salah satu temannya Erina. Di belakangnya ada Erina, melipat tangan di depan d**a, menyeringai mengejek padaku. Ia melengos, pikirku dia akan berlalu begitu saja, tapi apa? Dia malah mengerahkan yang lainnya untuk semakin menjatuhkan mentalku.
"Guys, kalian terima gak kalau cewek bau yang satu itu masuk ke dalam kelas kita lagi?" Tanya Erina, dengan sangat lantang di depan teman-teman kelas yang lain. Dia menunjukku.
"Gak!"
"Ogah!"
"ORA SUDI!"
"Ih, jijik! Ogah banget!"
"Kalian mau gak berteman sama dia?" Tanya Erina lagi dengan sangat lantang.
"Gak mau!"
"Dih ogah banget. Udah bau, bodoh, kegatelan lagi. Itu cewek apa gimana? Busuk banget hatinya!"
"Paling gak sudi temenan sama cewek yang toxic. Bisanya cuman ngerugiin doang. Dan ternyata selama ini gue punya temen yang se-toxic itu. Lah, mending jangan sekolah di sini aja daripada banyak ngerugiin orang!"
"Gatel banget anjir... Muka polos banget, tenyata hatinya se-b*****t itu."
Dan masih banyak lagi komentar-komentar bahwasanya mereka sangat tidak suka denganku. Aku hanya bisa mematung di tempat, mendengar, tidak bisa melawan sedikitpun, dan merekam semua perkataan mereka. Hitungannya, aku sendirian saja melawan ribuan siswa-siswi di sini.
Tidak hanya mengata-ngataiku, mereka juga melempariku kepalan kertas, buku-buku mereka, bahkan buku paket mereka hingga mengenai kepalaku yang semakin pusing dibuatnya. Mungkin mereka pikir mem-bully ku adalah hal yang sangat mengasikkan.
Pertahananku hancur, menangis atau tidak menangis di hadapan mereka tetap saja tidak akan ada yang peduli. Percuma aku bertahan, kalau benteng pertahananku saja ternyata selemah ini melawan mereka.
Erina, kamu berhasil menjadikanku sebagai makhluk yang paling hina dan paling rendah di sekolah ini. Tidak, bukan hanya di sekolah ini saja, tapi di mata dunia.
"Gimana? Lo ngerasain gak sakit hati yang gue rasain ketika lo dekat sama Adam? Gue udah kasih peringatan, tapi lo gak nyadar-nyadar, b**o!"
Aku terhuyung, Erina menggembleng kepalaku. Beruntungnya aku tidak sampai jatuh, tapi rasa pusing yang kurasa semakin menjadi-jadi. "Gue gak lakuin kesalahan sedikitpun," kataku membalas Erina. Namun bodohnya, tenaga yang kupunya tidak sekuat dan se-energik Erina. Aku tidak bisa membalas lebih lagi, aku tidak bisa berkutik, aku hanya diam, menunduk, menangis dan memikirkan semua yang telah aku lakukan. Tetap saja ujungnya membuatku kebingungan, apa yang sudah aku lakukan pada Erina? Kenapa aku harus mendapat balasan seberat ini?
"Dan sekarang lo berani-beraninya mau ngotorin kelas gue dan temen-temen gue!" Bentak Erina di depan banyak siswa-siswi.
"Pikir!"
"Itu juga kelas gue, dan bukan lo yang punya, tapi sekolah yang punya." Balasku.
"Apa? Gue gak salah denger?! Lo bilang kalau ini juga kelas lo?" Tanya Erina.
Aku mengangguk.
"Yakin?" Tanyanya.
Aku bungkam. Entah apa yang dia maksud.
"Lo gak dengar apa yang temen-temen gue tadi bilang? Mereka ogah sekelas lo, jijik ketemu sama lo, benci sama lo. Dan itu semua karena lo bau, lo gatel sama cowok incaran gue, lo bodoh, dan lo gak pantes sekolah di sini!"
"Seharusnya lo sadar!"
Brak!
Erina mendorongku dan kali ini sampai membuatku terjatuh. Aku hanya bisa menangis. Hanya karena sebuah pertemuan dengan cowok seperti Adam, aku harus membayarnya dengan harga yang mahal dan semenyakitkan ini. Aku harus dibenci, dipandang rendah oleh yang lainnya.
Krekkkk...
Aku langsung mengigit bibirku sendiri kala Erina dengan sangat sengaja menginjak tanganku dengan sepatunya yang sangat mahal itu. Tidak hanya itu saja, Erina langsung menjambakku.
"Mending lo pergi dari sekolah ini dan jangan balik lagi atau gue bakal lakuin yang lebih buruk lagi dari ini." Bisiknya kemudian mendorong kepalaku. Setelahnya, dia cekikikan dengan teman-temannya seakan-akan melupakan dosa yang dia perbuat padaku.
***
Aku tidak punya tenaga berlari pulang. Aku berjalan kaki, pikiranku sudah kacau entah kemana, dan beberapa kali aku mendapatkan teguran dari orang-orang yang kulewati. Entah teguran karena sudah membuat mereka jijik dengan bau badanku atau karena aku yang lalai sebab tidak berhati-hati menyeberang. Beberapa kali aku hampir tertabrak, tapi Tuhan masih memberikan kesempatan hidup untukku.
Sampai akhirnya aku sampai di rumah, sama seperti Erina, mama menghadangku. Dia tidak memberikanku masuk ke dalam rumah. Entah dari mana dia tahu aku habis saja disiram pakai air yang sangat bau itu.
"Kamu diam di sini, jangan masuk sebelum badan kamu bersih dari kotoran itu!"
"Tapi aku gak bawa baju ganti, ma." Jawabku.
Hati mama sebelas dua belas dengan Erina. Menangis pun tidak akan membuatnya luluh. Dilawan akan semakin kuat. Mereka hanya akan mendengar omongan mereka sendiri, merasa paling benar. Logika mereka memang kacau.
"Itu baju kamu di keranjang cucian, masih belum kamu cuci. Pake itu untuk sementara waktu daripada kamu mengotori rumahku!" Kata mama di luar dugaanku. Aku pikir dia akan berbaik hati mengambilkan baju untukku, tapi dia malah menyuruhku memakai baju kotor.
Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Terpaksa aku mengambil baju kotor yang ada di keranjang cucian dan membersihkan badanku di ruangan cucian. Aku tidak memakai sabun mandi, tapi memakai sabun cucian untuk badan dan rambutku. Hanya itu lah yang tersisa. Daripada tubuhku tidak bersih, lebih baik memakai itu daripada tidak sama sekali.
Setelah bersih dan memakai baju, kuputuskan masuk ke dapur dulu. Perutku panas, kepalaku pening, aku belum makan. Tapi sayang sungguh sayang, saat aku membuka magic com, tidak ada nasi yang tersisa, padahal tadi pagi masih banyak.
"Ngapain kamu di dapur?" Tanya mama.
"Aku mau sarapan, ma. Tapi gak ada nasi. Aku boleh gak masak mie? Mumpung masih banyak." Tanyaku meminta izin, berharap aku bisa diberikan satu bungkus mie instan saja. Itu susah sangat cukup untukku.
Mama menunjuk ke sudut kiri. "Tuh nasi kemarin, makan itu aja. Jangan masak mie. Mahal, kamu gak mampu ganti."
Sakit hatiku mendengarnya. Padahal hanya satu bungkus saja. Secara logika, dia tidak akan jatuh bangkrut hanya karena aku makan satu bungkus mie aja dari sekian mie yang dibelinya.
"Lauknya?" Tanyaku.
"Ya pakai garam lah, kayak biasa!" Sahut mama ketus kemudian pergi begitu saja.