Bab 13. Ayam Kecap Pedas Manis

3425 Words
"Kenapa sih lo keras kepala banget? Gue itu gak mau berangkat sekolah lagi sama lo!" Heran banget aku sama cowok modelan Adam yang keras kepala dan tidak mau mengalah, selalu mengutamakan keinginannya tanpa mau memperhitungkan apa yang akan aku terima karena bersamanya. Memakai baju pemberian darinya saja sudah membuatku takut setengah mati, bayangan akan kejahatan Erina terhadapku sudah menumpuk di benakku. Tapi apa? Cowok ini malah datang membawa masalah dan apa katanya? Jadi tukang ojek aku? Hadeh... Berlebihan sekali. "Kok lo marah banget sama gue, sampai-sampai nunjuk gitu. Gue agak kaget lo bisa kayak gitu. Gue pikir lo cewek polos yang gak bisa marah apalagi kasar, APALAGI sampai nunjuk gitu," dia sengaja menekan kata apalagi dan apalagi. Ya, mungkin dia kaget aku sampai meledak-ledak, sampai menaikkan nada bicara, sampai menunjuknya pula. Benar katanya, aku juga tumben melakukan hal seperti ini. Mau bagaimana lagi? Aku cuman mau aman saja. "Gue juga manusia biasa," melengos enggan menatapnya. "Gue juga bisa marah kalau kesabaran gue udah gak dihargai lagi. Memangnya kalian pikir kalian saja yang bisa, boleh melakukan semuanya sedangkan gue dilarang melakukan ini itu? Kita semua bukan orang suci yang harus dibatasi melakukan ini itu hanya karena satu hal," Nadaku agak mengecil, tidak berani berkoar-koar lagi setelah ia memprotes. Bahkan mungkin terdengar seperti bisikan bagi Adam. Aku tidak peduli, sama sekali. "Lo ngomong sesuatu?" Tanyanya, dan ternyata ia tidak mendengar. Aku menolak menjelaskan apa yang sebenarnya aku katakan. Biarkan saja dia tidak mengetahuinya, toh juga tidak ada urusan dia tahu ini. "Gue cuman ngomong ngelantur, gak ada sesuatu yang penting." Sikap cuek, sedikit angkuh dan enggan berteman, sikap ini lah yang aku coba tunjukkan kepada Adam saat ini. Sayangnya, aku masih tidak seberani itu, masih belum bisa memainkannya dengan baik. Karena itu lah agak terlihat sedikit aneh. Ya sudahlah, toh aku juga bukan Erina yang sudah pintar memainkan topeng ini ataupun itu, yang pintar ngeles dan mengadu hanya agar aku dimarahi. Ku terus menunggu dan menunggu, Adam juga tidak berkata apa-apa. Entah kenapa jadi kayak saling tunggu seperti ini. Adam menunggu di atas motornya, sedangkan aku berdiri berhadapan dengannya. Aku tidak tahu sampai kapan ini sedangkan waktu terus berjalan, matahari terus menyengat kulit. Aku takut ini sudah waktunya masuk kelas dan aku masih berdiam diri di depan rumah. Antara bolos atau membiarkan absen bolong. Mengingat itu membuatku jadi sedikit gelisah walau kesempatan ini membuatku bisa terbebas dari banyak dugaan yang bisa dilayangkan Erina kala melihatku dengan penampilan baru ini. "Lo serius gak mau berangkat sekolah bareng sama gue?" Akhirnya Adam menanyakan itu lebih dulu sesaat sebelum aku sudah bertekad mau bertanya padanya. Untunglah, aku jadi tidak terkesan lain padanya. Image cuek itu masih aku perjuangkan. "Memangnya ini sudah jam berapa?" Aku tidak tahu apakah akting menjadi cewek cuek itu sudah berhasil aku lakukan, tapi yang terpenting, selain aku mengatur nada bicaraku seakan enggan berbicara dengannya, aku juga tidak mau membuat kontak mata dengannya. Melihat hal lain selain Adam menjadi pilihanku. "Kalau masih ada waktu sekitar 30 menitan sebelum masuk kelas, gue pilih jalan kaki aja. Gue udah terbiasa jalan kaki. Lagipula kalau gue naik motor lo, gue takut jadi bahan cibiran lagi. Gue enggak mau pingsan tapi dalam keadaan yang berbeda dari yang kemarin," kataku. "Kelas udah masuk 20 menit yang lalu," ujar Adam yang seketika membuatku terkejut bukan main, sampai-sampai aku membulatkan mataku. Maksudku, kenapa waktu berjalan dengan sangat cepat tanpa terasa? Aku tidak menyangkanya. "Tepatnya semenjak lo keluar dari gerbang rumah lo, kelas udah mulai," katanya lagi. Saat dia mengatakan itu, seketika aku ingin sekali menarik rambut Adam hingga tercabut dari kepalanya. Pasalnya gini, kalau memang dia tahu sudah telat, kenapa dia tidak bersabda sedikitpun? Kan aku tidak punya jam yang bisa membuatku tahu jam berapa dan detik berapa saat ini. Terus, untuk apa dia diam saja? Kenapa dia tidak langsung ke sekolah saja. Biarkan saja aku telat yang penting dirinya aman. Aku enggak mau mendengar dia dimarahi lagi oleh Papanya seperti yang aku dengar kemarin saat menguping pembicaraannya dengan Papanya. "Terus lo ngapain diam terus di sini, dasar b**o?!" Aku langsung naik ke atas motornya, tanpa aba-aba sedikitpun, tanpa berpikir panjang, dengan kurang ajarnya aku bisa berpikir seperti itu. Sedikit membuat Adam oleng sebab ia belum bersiap-siap. Untungnya dia bisa menahan beban tersebut sehingga kami berdua tidak sampai jatuh. Kalau itu terjadi, bisa dibayangkan bagaimana gentingnya dan kacaunya. Bahkan aku tidak sadar telah memanggilnya dengan panggilan b**o. Selama ini aku selalu mendumel atau melayangkan sumpah serapah hanya di dalam hatiku saja, hanya aku yang boleh menelan pahitnya. Tapi kini, aku melakukannya, di luar kendaliku. Semoga cowok yang satu ini tidak marah padaku apalagi sampai melampiaskannya di jalanan nanti. Jangan sampai dia mengamuk dan mengebut di jalan. Aku tidak pernah berani membayangkan diri remuk di aspal panas. Setelah memakai helm, segera kutepuk bahu Adam sembari berkata, "Cepet jalan!" "Kita ke mana?" Tanya Adam. "Ke pantai!" Balasku spontan. Jujur, itu adalah pertanyaan terbego dan terbodoh yang pernah aku dengar. Maka tidak salah kalau aku latah dan sampai memanggilnya demikian tanpa berpikir seribu kali. Maksudku, bagaimana mungkin dia bertanya mau ke mana kita sekarang setelah dia mengatakan waktu belajar sudah dimulai sejak 30 menit yang lalu. Bahkan aku buru-buru naik ke motornya di saat sebelumnya aku tidak mau naik. Kenapa dia tidak berpikir dan menjadikan itu sebagai jawaban?Aku ingin dia cepat-cepat menyalakan sepeda motornya, menjalankannya secepatnya namun penuh kewaspadaan ke sekolah. Meski telat, tapi hadir. Itu lebih baik daripada membiarkan tanggal hari ini menjadi merah. "Oke, sip. Kita ke pantai ya. Udah lama juga gue enggak healing. Jadi kangen suara laut," ujarnya santai tanpa mencoba sejalan dengan yang aku pikirkan. Semakin membuatku ingin—astaga, tidak bisa berkata-kata lagi dengan cowok ini. Dan ya, aku manusia biasa yang punya batas kesabaran. Sekarang mungkin hanya tertinggal satu persen saja kadar kesabaranku. Selebihnya sudah menguap, dimulai dari beberapa detik yang lalu. Kutarik kerah baju Adam hingga telinganya dekat denganku. Dan kala itu, satu-satunya yang aku pikirkan hanya satu, membuat Adam mendengarkan apa yang aku katakan. Di depan lubang telinganya juga aku berkata, "kalau lo ke pantai, gue hanyutin lo saat itu juga. Gue mau ke sekolah, bukan ke pantai!" Aku berteriak di sana. Setelahnya aku puas? Tentu tidak. Malah timbul rasa tidak enak hati yang berbarengan dengan perasaan marah setengah mati. Ini benar-benar nano-nano, tidak bisa digambarkan, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata biasa yang setidaknya bisa dimengerti oleh banyak orang. Adam, manusia paling menjengkelkan yang aku kenal bahkan melebihi Erina sekalipun. Bagaimana tidak? Bukannya jera, setelah aku berteriak telat di lubang telinganya, ia malah tertawa girang, sangat puas. Dan lebih menjengkelkannya lagi, setelah ia melepas helmnya, menurunkan standar motornya, ia turun begitu saja. Dan setelahnya? Ia melanjutkan tawanya, begitu gelak hingga mungkin itu membuat perutnya sakit. Ia menyentuh perutnya sendiri dan aku hanya menatapnya seperti orang bodoh. "Kenapa ini anak? Keselek teriakan gue atau salah sarapan?" Mau tidak mau aku ikut terheran melihatnya, dan perlahan turun dari motor itu. Tidak mungkin pula aku membawanya ke sekolah. "Kok gue jadi takut sama lo?" "Sumpah," katanya sembari menunjukan jari telunjuk dan jari tengahnya seperti tanda peace, "gue benar-benar enggak pernah berpikir kalau lo bisa marah. Gue pikir lo orangnya sabar banget sampai enggak kenal apa itu marah. Tapi gue salah." Ia lanjut tergelak. Kasihan dengannya. Dia terlalu berpikir positif padaku, terlalu menganggapku baik sedangkan aku juga manusia biasa seperti dirinya bahkan Erina, atau manusia lain di dunia ini. Ini aneh, Adam terlalu baik padaku, bahkan itu pada sudut pandangnya sendiri terhadapku. "Lo mau ketawa terus seperti ini sampai besok pagi, atau lo diam dan cepat bawa gue pergi dari sini. Waktunya sudah mepet." Aku berpikir kalau aku harus mengakhirinya, karena itu lah aku berujar demikian. Toh entah kenapa aku juga sedikit malu karenanya. "Kalau lo enggak mau pergi, gue aja yang pergi sendiri. Lo lelet," ujarku. Hampir seperti berlari, aku berjalan dengan cepat bahkan tidak seperti biasanya. Meninggalkan Adam sendiri di depan gerbang rumah. Aku sengaja tidak berpaling kala Adam memanggilku. Palingan dia cuman mau melanjutkan tawanya lagi hingga benar-benar membuat perutnya sakit, hingga besok pagi. "Tunggu." Di luar dugaanku, tanganku dipegang Adam. Dia menarikku, menghentikanku. "Kalau lo ke sekolah sekarang, itu sia-sia. Enggak ada gunanya juga lo ke sekolah tapi absen lo udah merah lebih dulu," ujarnya. "Terus gue harus gimana? Balik ke rumah dan enggak sekolah?" Tanyaku. Baru saja aku mengatakannya, entah darimana pikiran itu datang, balik ke rumah adalah pilihan yang aman. Selain bebas dari Erina, aku juga tidak bersama Adam. Bukankah itu artinya keamanan yang hakiki? Yeah, tentu saja. Aku melepaskan tanganku dari pegangan Adam, "kalau gitu lepasin tangan gue, gue mau pulang ke rumah. Lo juga boleh pulang ke rumah atau kemanapun yang lo mau, bukan urusan gue. Tapi sekarang yang harus lo lakukan sebelum pergi adalah lepasin tangan gue." Tapi sayangnya tidak berhasil. Adam semakin erat memegangnya, memaksaku memandangnya. Tidak ada raut main-main lagi seperti yang aku lihat sebelumnya, kini sangat serius. Dia tidak tertawa ataupun menahannya lagi. Kemana perginya gelak tawa itu? Hebat. Alisnya lurus, matanya sedikit berair bekas tawa tapi kini sudah tenang, napasnya sedikit memburu, dan yang paling kentara adalah ia tidak tersenyum. Ia serius, sangat serius. "Kenapa lo natap gue kayak gitu?" Tanyaku. Akhirnya ia melengos, genggaman tangannya padaku juga melemah hingga aku berhasil melepasnya. "Gue punya cara tersendiri buat memanfaatkan tanggal merah gue," katanya sembari beranjak ke sepeda motornya. Ya mungkin maksud dia adalah pulang ke rumahnya atau bisa jadi ke mall kemarin. Toh dia punya uang dan segalanya. Kalau ads apa-apa, dia tidak akan merasa kesusahan. Beda dengan diriku yang tidak punya apapun. Bahkan identitas diriku pun diragukan. Aku ikutan balik, bermaksud mau masuk ke rumah. "Meski gue enggak peduli sama apapun urusan lo, tetap waspada. Jalanan bukan milik nenek moyang lo, motor itu juga bukan dari hasil keringat lo, jadi hati-hati di jalan," kataku, hanya sekedar ucapan perpisahan saja. Tidak lebih. "Tentu gue akan hati-hati, apalagi lo ikut gue." "Maksud lo?" Tanyaku secepatnya. "Naik," perintahnya. "Kita beneran ke pantai hari ini. Percuma sekolah, mending segerin pikiran di pantai," katanya. "Biar lo juga gak panggil gue dengan nama b**o lagi," imbuhnya. *** Paksaan itu memang mengerikan, namun menjanjikan hasilnya. Apapun itu, pasti akan bisa didapatkan dengan cara ini. Baik, buruk, kalau sudah beraksi, maka kalimat setuju seraya mengiyakan pun akan didapat. Seperti Adam dan aku saat ini. Sekuat tenaga aku menolak ajakan Adam ke pantai, aku juga sudah memberikan banyak alasan sampai-sampai aku hampir membongkar rahasia p********n yang dilakukan keluargaku sendiri terhadapku. Pada akhirnya aku akan menerimanya juga. Tapi aku meminta satu syarat pada Adam. "Lo gak punya baju lain selain itu?" Adam menatapku menjijikkan, atau mungkin bisa dibilang kasihan padaku. Iya, aku meminta syarat pada Adam agar kita berdua memakai baju biasa-biasa saja, tidak memakai baju sekolah. Alasanku meminta itu hanya karena aku tidak mau ada yang mengenali kita berdua nantinya. Segala kemungkinan bisa jadi akan terjadi meski kita sudah berusaha menghindarinya. "Apakah itu penting?" Tanyaku balik. "Mau gue pakai baju rombengan pun, kalau gue punya yang lebih bagus, gue pasti pakai itu. Lagian, kalau lo gak mau jalan karena malu sama gue yang pakai baju kayak gini, mending lo sendirian aja ke pantai. Pekerjaan rumah gue banyak, enggak ada waktu buat ladenin lo." "Lah tadi lo setuju sama gue," protes Adam. Nadanya agak merajuk dan bagiku itu terdengar sedikit menggelitik. "Temenin gue ke pantai, seharian. Janji tetap aja janji." "Ya udah, terima aja. Enggak usah banyak protes." Adam pasrah. Lalu aku meminta dia mengganti bajunya di kamar mandi umum yang biasanya dipakai sama tamu. Untungnya dia memakai baju ganti. Entah kenapa perasaanku mengatakan kalau Adam sudah merencanakan ini dengan matang bahkan jauh-jauh hari. Bukan maksudku bernegatif thinking, hanya saja dia penuh dengan segala kebetulan. Terlalu sering menjadikannya tidak bisa dipercaya lagi. Sembari Adam mengganti baju, aku memanfaatkan waktu ini untuk menanak nasi yang bisa dipakai nanti siang oleh orang rumah. Masalah lauk, mungkin nanti Mama bisa membelinya, aku tidak yakin dia mau membuatnya. Tapi kalau Adam mau menunggu lebih lama, aku ingin membuatnya saja daripada Mama harus membuang uang sedangkan kulkas masih penuh dengan bahan masakan. Tepat setelah aku mengaktifkan tombol penanak nasi di magic com, Adam keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengganti baju sekolahnya menjadi baju kaos berwarna hitam. Bawahan masih celana sekolah. Aku tidak mau memprotes, itu adalah haknya dalam berekspresi. "Lo mau nunggu sebentar gak?" Tanyaku. "Emangnya kenapa? Lo mau ganti baju?" Tanyanya balik. "Enggak. Karena lo mau ajak gue keluar dan gue yakin pasti lama banget, gue mau masak lauk dulu bentar. Enggak sampai tiga puluh menit kok." Dia terdiam. "Kalau lo enggak mau nunggu, lo pergi aja sendiri. Tapi kalau lo tetap mau gue ikut sama lo, tunggu dan sabar. Itu kuncinya. Terserah lo mau pilih yang mana," balasku. Tidak menghiraukan reaksinya seperti apa lagi, aku lanjut mengambil bahan masakan di kulkas. Kalau tidak salah tadi pagi Mama memintaku membuatkannya ayam kecap pedas manis. Segera kukeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan, terutama ayamnya yang sudah dalam keadaan dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Karena baru saja aku keluarkan dari kulkas dan masih membeku, sengaja aku taruh di bawah aliran air keran supaya esnya cepat mencair. Sembari menunggu mencari, aku lanjut menghaluskan bawang merah dan bawah putih di cobek. Ini bukan perkara yang sudah. Aku sudah terbiasa, dan rasanya sangatlah gampang. Setelah es di ayam mencair, aku cuci sebentar dan memberikan sedikit bumbu pada ayamnya. Memang bisa digoreng tanpa diberikan bumbu, toh nantinya akan dibalut dengan bumbu pedas manisnya juga, tapi Mama lebih suka banyak bumbunya. Semua masakan harus sesuai dengan seleranya atau dia akan marah besar. Ayam digoreng hanya setengah matang saja, kemudian aku tiriskan. Lanjut bumbu yang sudah dihaluskan tadi ditumis. Menambah jahe yang sudah dimemarkan dan irisan cabe. Secara berkala bumbu diaduk hingga keluar aromanya. Kadang, aku suka lapar sendiri ketika masak, namun sayangnya aku tidak bisa memakannya. Ya, aku hanya bisa memakan aromanya saja. Kenyang? Tentu tidak. Tidak lupa ditambahkan garam dan merica bubuk. Kedua ini tidak boleh dilupakan. Sama seperti taman yang enggak akan indah kalau tidak ada bunga, pun begitu juga dengan masakan yang terasa hambar jika tidak ada sentuhan garam dan merica. Koreksi rasa, jika dirasa mantap, semuanya aman. Tinggal menunggunya mendidih lalu memasukkan ayam yang sudah digoreng. "Sudah jadi?" Aku kaget. Aku pikir Adam sudah lama pergi sebab aku tidak mau mengurus apapun lagi selain masakan. Ternyata dia menunggu, bahkan di depan pintu dapur. Dengan gayanya yang sok kegantengan, melipat tangan di depan d**a dengan senyuman yang entah mengartikan apa. Bukan saatnya bagiku menilai seperti apa yang dia pikirkan, masakanku belum sepenuhnya jadi. "Belum," jawabku singkat. Segera aku menuangkan kecap dan gula pasir. Tentu saja, sekarang aku sedang membuat ayam kecap pedas manis. Kalau tidak menuangkan kecap dan gulanya, bukan ayam kecap pedas manis namanya. Lalu setelahnya aku kembali mengoreksi rasa hingga benar-benar terasa pas. Setelah dirasa cukup, aku hanya tinggal menunggunya sebentar saja hingga bumbunya menyusut dan bergabung dengan ayam tersebut. "Lo emang suka masak, ya?" "Iya." Aku tidak menyadari Adam masuk ke dalam dapur. Ia duduk di meja yang biasa diduduki Papa. Hmm... Kalau Erina tahu ini, dia pasti kegirangan dan sudah berandai-andai jauh. Tapi bagiku tidak. Bagiku, Adam tidak boleh menyentuh banyak hal di rumah ini. Bukan karena aku pelit, tapi bukan aku lah pemilik rumah ini. Ya kalau Erina yang mengajaknya, tidak masalah. Tapi dia bersamaku, seorang gadis yang tidak punya apa-apa. "Gue boleh cobain masakan lo gak?" Tidak menyangka Adam akan meminta seperti itu. "Dari tadi gue perhatiin lo masak, gue lapar sendiri. Boleh enggak gue cobain? Dikit aja." Aku mengangguk. Aku tidak sepelit itu untuk menolak permintaannya. Toh hanya mencoba saja. Dia tidak akan mungkin sampai menghabiskannya. Ini untuk Mama. Mengambil satu sendok yang belum kotor dan mengambilkan sedikit saja lauk ayam kecap pedas manis yang tadi aku buat. Aku mengarahkan itu ke Adam, berniat menyuapinya. Aku pikir tidak masalah selagi ia tidak menolak. Toh aku juga tidak menaruh rasa padanya. Berarti aman. "Gue bukannya pelit, tapi lo harus cobain dikit dulu. Gue takut masakan gak sesuai sama selera lo yang malah akhirnya membuat pencernaan lo jadi terganggu." Spontan Adam menengadahkan tangannya kala aku mau menyuapinya. Ia tidak menolak, sedikit. Dan ketika itu sudah berhasil dikunyahnya, aku gugup. Serasa sedang menunggu juri menilai hasil masakku. Ini bahkan lebih gugup daripada menunggu Mama mengatakan enak pada setiap masakan yang aku buatkan untuknya. "Bagaimana?" Tanyaku, sangat penasaran. Bagaimana aku tidak penasaran, Adam terus diam bahkan ketika ia sudah berhenti mengunyah. Aku diam, dia tidak bersuara. Aku bertanya, dia tidak menjawab. Definisi menjengkelkan dalam konteks yang berbeda. "Kalau lo enggak jawab, gue gak jadi pergi sama lo." Maaf banget kalau aku menjadikan ini sebagai sebuah ancaman kecil. Aku hanya merasa tidak nyaman dengan rasa penasaran ini. Salahkan Adam yang terlalu banyak diam. Itu membuatku takut. Apakah suaranya seketika menghilang setelah aku memberikannya masakanku? Apakah ayamnya sudah tidak layak masak? Atau bagaimana? "Kalau ada waktu, lo mau enggak nanti ke tempat gue?" Aneh. Aku nanya apa, dia malah jawab apa. "Ke tempat lo? Ngapain?" Tanyaku. "Masakan lo enak. Gue mau lagi, tapi lo cuman boleh kasih gue seuprit." *** Entah kenapa aku terus memikirkan ucapan Adam. Dia ingin memakan masakanku lagi tapi aku hanya bisa memberikannya sedikit. Aku tidak berani memberikan banyak, itu bukan milikku sekalipun aku yang membuatnya. Karena itu lah aku meminta Adam merombak rencana. Dari yang mau ke pantai, berubah menjadi ke supermarket. "Gue bakal ajarin lo masak masakan ini, biar lo bisa buat yang lebih banyak." Aku memasukkan beberapa pack ayam ke dalam troli yang didorong Adam. "Biar lo juga bisa hemat. Kali aja lo bisa banggain orang tua lo." "Beda tangan beda rasa." Benar. Aku mengakui itu. Aku seringkali memergoki Mama yang diam-diam mencoba memasak beberapa menu, tapi selalu berakhir dengan gagal bahkan sampai hampir membakar dapurnya sendiri. Dia mengaku sudah mengikuti sesuai dengan arahan, namun setiap kali ia mencoba malah berakhir zonk. Mungkin itu yang membuat Mama jadi enggan masak, karena tahu hasilnya akan seburuk itu. "Gue bakal catat resepnya hingga sedetail mungkin. Gue rasa lo bakal mudah mengerti dan hasilnya juga enak." Adam tertawa. "Lo selalu merusak rencana gue." Aku tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. Aku hanya fokus mengerjakan desakan yang selalu muncul dalam diriku. Desakan kali ini adalah mengajar Adam memasak satu menu di tempatnya. Tempat itu adalah ruangan kecil yang kemarin. Memang tidak ada kompor, tidak ada alat-alat masak sedikitpun, tapi aku meminta Adam membeliny. Adam sebelumnya menyarankan agar aku mengajarnya di rumahnya. Aku menolak. Pasalnya, Papanya adalah ketua yayasan sekolah. Aku takut kalau orang tuanya tahu anaknya bergaul dengan anak gembel sepertiku. Terlebih kalau sampai dia tahu aku adalah siswi di sekolah itu, aku takut dia akan mengeluarkanku. Itu akan menjadi yang paling mengerikan. "Semuanya sudah lengkap. Tinggal bayar," kataku setelah merasa semua bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan lengkap dan sudah masuk ke troli. Adam mengangguk, tapi, "belum sepenuhnya. Tunggu gue di sini atau di dekat kasir, nanti gue balik." Ia pergi entah ke mana dengan trolinya. Ya sudah, bukan urusanku. Aku melakukan apa yang dia katakan, menunggunya di samping tempat kasir. Ada sebuah bangku memanjang dan aku memutuskan menunggu di sana. Menunggu sembari melihat orang yang terus berlalu-lalang. Lagi, rasa iri itu kembali aku rasakan tiap kali melihat kebersamaan dan kebahagiaan sebuah keluarga. Ini lah yang membuatku enggan ke tempat umum karena nanti pada akhirnya membuatku membandingkan nasibku dengan nasib banyak orang. "Betapa tidak beruntungnya di dunia ini," gumamku. Mencoba membiasakan rasa itu, aku masih setia menunggu. Namun terkadang Adam suka kelewatan, tidak bisa memikirkan orang yang sedang menunggunya. Maksudku, ini adalah etika dasar, jangan membuat orang menunggu lama di saat kamu pergi bersama dengannya. Apalagi dia membiarkan ku sendiri. "Atau aku cari dia ya? Mungkin dia kesusahan cari sesuatu." Baru saja aku berdiri hendak mencarinya, dirinya sudah menampakkan diri dengan trolinya yang super duper penuh. Aku saja sampai melongo melihatnya yang sepertinya sengaja mengisi trolinya dengan berbagai Snack hingga seperti gunung. "Lo mau buka toko atau gimana? Kok banyak banget yang lo beli," tanyaku. "Gue beliin lo. Gue yakin lo belum nyobain, kan?" Tepat sekali. Pertanyaannya, kenapa dia bisa tahu dan mengerti apa yang aku rasakan? "Ngapain lo beliin gue? Lo masih inget kan kalau gue ini miskin dan enggak akan pernah bisa gantiin uang lo. Jadi sebelum lo rugi bandar, mending lo balikin semua snack-snack ini ke tempatnya dan cukup beli bahan-bahan yang tadi gue ambil." Adam tidak mau. Dia menolak. "Gue ingat. Tapi, lo juga masih inget kan apa yang gue bilang kemarin?" Kini giliran aku yang bertanya padanya. "Apa?" "Kalau lo butuh tempat, hubungi gue. Kali ini lo enggak perlu jelasin ke gue, gue udah ngerti. Gue udah tahu semuanya, meski lo gak cerita." Benarkah? Sejauh mana dia tahu semuanya? "Kalau lo tahu, gue minta tolong jangan kasih tahu siapa-siapa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD