Bab 14. Ke Puncak

3285 Words
"Lo yakin semua barang yang lo beli sekarang ini bisa muat di tempat lo? Lumayan sumpek gak nanti?" Aku hanya khawatir tempat Adam yang semula adem ayem, tenang tidak terganggu sedikitpun, malah ketika sudah terisi dengan segala alat dan bahan masak ini membuat tempat itu menjadi terkontaminasi. Apalagi aku lihat di sana tidak ada ventilasi, sudah pasti tidak ada aliran udara yang masuk dan keluar. Terlebih lagi tempatnya ada di bangunan mall. Adam tidak langsung menjawabku, dia masih berurusan dengan barang-barang yang satu per satu discan oleh kasir supermarket ini. Sebenarnya, baru setengah saja sudah membuatku bergidik ngeri. Nominal yang akan dibayar Adam sangatlah besar. Mungkin karena aku tidak punya uang, makanya aku menganggap itu nominal yang amat sangat besar. Tentu aku tidak diam. Aku memasukkan barang-barang yang sudah di scan ke dalam kardus besar yang nantinya dibawa oleh pihak supermarket ini, diantar ke alamat yang diberikan Adam. Syukurnya mereka menyediakan layanan ini, menjadi poin tambahan. Ya setidaknya tidak menambah kemumetan kala tiap kali aku melihat ke arah layar yang menampilkan total harga yang hendak dibayarkan. Sampai semuanya masuk, total ada 2 kardus besar yang digunakan. Satu untuk alat-alat masak, satunya lagi untuk bahan masakan dan beberapa makanan ringan yang sengaja diambil Adam dengan dalih itu untukku. Padahal ia tidak perlu melakukannya. Aku buka anak kecil lagi yang bisa disogok dengan seperti itu. Memang aku tidak pernah merasakannya seperti yang dia katakan, memang aku ingin itu terjadi setidaknya sekali dalam hidupku, tapi jauh dari itu semua aku lebih memikirkan tentang kebenaran yang katanya sudah ia ketahui. Ia sudah mengungkit ini sebelumnya dan aku tetap akan keputusanku bahwa seburuk apapun yang Erina dan Mama lakukan, tidak akan aku biarkan nama mereka jelek di manapun mereka berada. Untuk itu, salah satu hal yang aku lakukan sekarang adalah menjaga mood dan emosinya. Ketika emosinya sudah meledak dan tidak tertahankan lagi, aku sangat yakin dia bisa dengan sangat mudah menyebarkan semuanya. Bahkan dalam satu detik, semua orang di dunia ini akan tahu. Tapi aku yakin, tidak akan ada yang peduli denganku. Palingan mereka hanya akan iba tidak lebih dari satu hari, lalu setelahnya mereka mengabaikan itu dan kemungkinan besar akan memihak kepada pihak yang potensial. Logikanya, untuk apa mereka di pihakku kalau dengan ada di pihak Erina lebih menguntungkan? Bahkan aku takut Adam akan menjadi seperti itu sebab sejauh ini hanya dia yang mau bersikap adil, bahkan lebih condong menyuarakan keadilan bagiku. "Totalnya dua juta enam ratus delapan puluh lima ribu rupiah ya. p********n dengan cash, debit, atau kredit, kak?" Aku kaget mendengar nominal itu, sontak pula aku berteriak kecil. Beberapa ada yang menoleh karena reaksiku yang amat sangat norak, dan aku tidak akan pernah merasa menyesal dengan itu. Ini adalah respon alamiku. Aku baru mengetahuinya, merasakannya dan langsung seperti demikian. Ya sederhana, aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, karena itu lah. "Debit saja, kak." Kulihat Adam merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah dompet dari sana. Lalu tidak lama ia mengeluarkan satu kartu yang entah berlabelkan apa, tapi intinya aku yakin itu kartu debit seperti yang dia katakan sebelumnya. Setelah p********n, Adam menyuruhku tetap diam di tempat sementara ia pergi bertemu dengan seorang pria paruh baya. Aku tahu pria itu yang akan membawa barang-barang kami. "Ayo kita pergi. Semua urusan udah clear di sini," Adam mendatangiku lagi, mengajakku pergi dari sini dan menuju tempatnya. Aku mengangguk patuh pada semua yang dikatakannya. Lalu aku teringat akan pertanyaanku yang belum dijawab oleh Adam. "gue mau nanya sesuatu, boleh gak?" Meminta izin terlebih dahulu padanya, kali saja dia dalam mode tidak mau menjawab pertanyaan siapapun. Ingat, aku sedang berusaha berhubungan baik dengannya agar dia tidak membongkar kedok jahat Erina ke publik. "Lo mau nanya apa?" Tapi Adam tidak fokus padaku, melainkan pandangannya tertoleh ke mana-mana. Ia masih menyisir keadaan sekitar. Mungkin dia mau membeli sesuatu lagi. Terserah dia, uang punya dia, aku tidak punya urusan. "Lo mau snack lagi gak? Kayaknya tadi gue lupa ambilin lo salah satu snack kesukaan gue. Gue rasa lo harus coba itu. Lo mau gak?" "Enggak perlu, terima kasih." Yang tadi saja sudah sangat banyak, bahkan memenuhi kardus besar. Entah bagaimana caraku memakan semuanya. Aku tidak mungkin membawanya ke rumah, apalagi sampai memperlihatkan itu pada Erina. Dia bisa marah besar. "Gue cuman mau nanya aja sama lo, gue harap lo gak marah." "Memangnya lo mau nanya apaan?" "Kan gini, di tempat lo itu ruangannya agak kecil, terus enggak ada ventilasi. Paling mentok yang ada di atas pintu aja, tapi itu kecil. Kalau semua barang-barang ini dimasukkan ke tempat lo, apalagi nanti kita masak di sana, gue takutnya tempat lo malah jadi sumpek. Jadi kotor gitu. Sedangkan gue yakin lo pasti tiap harinya tinggal di rumah orang tua lo, enggak di sana." "Terus?" Tanya Adam. "Kira-kira lo punya tempat lain, gak? Selain rumah orang tua lo dan selain tempat lo itu. Tapi kalau tidak ada, terpaksa di sana saja daripada enggak sama sekali. Toh semuanya udah terlanjur. Kita juga udah beli banyak barang, enggak mungkin enggak dipake kan?" Jujur, aku memang sangat mengkhawatirkan itu saat ini. Kalau ke rumahnya, aku takut bertemu keluarganya. Apalah aku, bukan siapa-siapa. Serius. Sedangkan kalau di tempatnya yang kecil itu, aku takut mengotorinya sedangkan tempat itu sangatlah nyaman meski ukurannya cukup untuk satu orang saja. Kalau balik ke rumah, itu mustahil. Akhirnya malah jadi membingungkan gini. "Sebenarnya gue punya satu tempat," ujar Adam setelah cukup lama dia terdiam. Seperti mendapatkan suntikan semangat, aku merasa segar setelahnya. "Dimana?" Tanyaku terlalu bersemangat. Aku sadar itu setelah melihat Adam menahan senyum padaku. "Kayak rumah pohon gitu, lokasinya agak jauh dari sini. Gue gak yakin lo mau ke sana." Rumah pohon. Kedengarannya menarik. "Kalau lo enggak keberatan, kita ke sana saja." "Lo yakin?" Adam mempertanyakan itu. "Lokasinya jauh lho dari sini. Kalaupun kita ke sana, kita gak bisa pulang dalam satu hari. Minimal kita nginep satu malam di sana, baru balik paginya. Lo mau atau enggak?" Sebentar. Kalau gitu, berarti tempatnya sangat jauh dari sini. Ini juga yang menjadi pertimbangan. Segala yang indah, tidak mudah untuk mendapatkannya. Tapi, mendengar rumah pohon saja membuatku sangat penasaran bagaimana rasanya tinggal di sana. Toh besok juga libur sekolah. Biasanya Erina dan Mama akan pergi refreshing, entah berbelanja atau apapun. Mereka juga tidak di rumah hingga sore. Sepertinya aku bisa. "Kedengarannya bagus, cuman gue mau tanya, itu tempat lo pribadi atau nyewa gitu? Kalau nambah pengeluaran, mending jangan dulu deh. Gue takut ngerepotin." Padahal dalam hati aku sangat berharap Adam bisa mengajakku ke sana. Astaga, betapa tidak tahu dirinya aku saat ini. Sebelumnya aku tidak pernah mau tertarik, tapi sekarang aku sangat tertarik. Memang benar ya, segalanya bisa terjadi bahkan di luar duga biasa. "Nyokap gue punya villa di puncak. Sebenarnya kita bisa pakai kamar di villanya, tapi menurutku di rumah pohon lebih menarik. Gimana? Lo mau gak? Mumpung besok libur, lo enggak perlu takut telat sekolah lagi." Tawaran Adam menggiurkan dan aku tidak punya alasan untuk menolak. "Boleh." "Oke. Gue mau ketemu sopir tadi, mau ngasih tahu alamat pengantarannya diubah ke puncak." "Oke." Astaga, kenapa aku mudah tergiur? Aku tidak pernah bepergian jauh apalagi untuk sekedar refreshing otak seperti yang biasa dilakukan Erina dan Mama. Ini adalah kesempatan besar bagiku untuk bisa merasakannya. "Erina, Mama, Papa, aku minta maaf. Aku bukannya mau membangkang pada kalian semua. Kalau kalian bisa merasakan bahagia, aku juga ingin merasakannya. Hanya satu malam, akan kubuat menjadi sangat mengesankan." *** Aku sadar kalau aku terlalu plin plan hari ini. Tidak hanya aku, Adam pun juga demikian. Pertama, seharusnya kami ke sekolah, tapi malah bolos. Kalaupun ke sekolah, absen tetap dialfakan. Kedua, Adam mengajak ke pantai, lalu karena satu kejadian kecil dimana ia menontonku masak dan mau diajarkan, seharusnya kami ke tempatnya. Bahkan semua alat dan bahan sudah di belanjakan. Tapi, karena sialan rumah pohon itu disebutkan, aku jadi tertarik dan Adam juga tidak keberatan ke sana. Bukannya meminimalisir beban, malah menambah beban. Itu lah aku pada Adam hari ini. Dia kembali mau membeli beberapa barang lagi, entah apa. Aku sudah menahannya untuk tidak membuang-buang uangnya, dan kalian tahu apa yang dia katakan? "Ini uang gue. Lo enggak berhak larang-larang gue," katanya. Aku tidak bisa melakukan apapun lagi setelahnya selain memberikan kebebasan padanya. Terserah dia mau membeli apa, mau sampai uangnya habis pun aku tidak akan peduli. Toh benar katanya, itu adalah uangnya. Giliran ku hanya akan menerima apa yang dia berikan saja. Itu lebih baik daripada merasa bersalah. Kini aku masih menunggunya di parkiran mall, di samping motornya. Sudah cukup lama menunggu, aku tidak bisa mengukur dengan pasti berapa menit. Sungguh aku tidak punya jam atau alat apapun untuk melihatnya. Hanya menunggu. Sedangkan sopir yang membawa barang-barang kami sudah berangkat lebih dulu setelah Adam memberinya alamat. Sepertinya villa milik Mamanya Adam mudah ditemukan, sopir itu terlihat sangat mudah mengerti arahan dari Adam. Entahlah, sekali lagi itu adalah urusannya. "Hanya malam ini saja. Setelahnya aku berharap tidak ada yang berlebihan lagi. Aku hanya ingin aman, tidak lebih." Berulang kali aku mengingatkan diriku. Meski aku sangat bersemangat ke puncak, ke rumah pohon yang kedengarannya amat menarik itu, tapi tetap saja aku mengkhawatirkan diriku. Bagaimana kalau setelah malam ini Adam dan aku semakin terikat secara tidak langsung? Kami di satu tempat, berada di momen yang sama, detik dan waktu yang sama, tidak mungkin tidak meninggalkan sedikit pun rasa. Ya, setidaknya rasa pertemanan, tidak lebih. Aku mengharapkan itu. Tidak ada salahnya berharap, asalkan tidak sampai menyakiti. Kalau sudah ada di tahap menyakiti, tanpa perlu pikir panjang tinggali. Toh tidak ada yang perlu dinanti, selain benar-benar pergi. Kala itu, kalau sampai itu benar-benar terjadi dimana aku sudah tidak bisa berharap pada siapapun, kala tidak ada yang menghargai diriku meski dalam rasa yang sekecil apapun, kala semuanya sudah tidak ada yang sejalan, maka aku akan mengambil satu keputusan terbesar dalam hidupku. Merombak semuanya, berharap akan jadi indah meski dengan cara yang tidak biasa. Bukankah pelangi selalu muncul setelah badai? "Ngelamunin apa lo?!" Adam tiba-tiba menepuk bahuku di saat aku masih asik berpikir jauh ke depan. Aku kaget. Segera mengelaknya, "enggak ada. Gue enggak ngelamun, cuman nunggu lo aja. Lo sih lama banget!" Alasanku mungkin tidak masuk akal bagi Adam sampai ia menertawakan ku. "Terserah lo," ujarnya lalu naik ke atas motornya. Ia sudah siap, dan aku telat menyadari ternyata ia telah mengganti bajunya. Cowok ini kenapa suka sekali mengganti baju dalam satu hari? Memangnya dia sepintar itu mencuci baju sampai tidak ada beban sama sekali saat menggantinya? "Lo ganti baju lagi?" Tanyaku. Belum tenang dengan pertanyaan yang pertama, mataku tanpa sengaja melihat tas jinjing yang dibawa Adam. Perasaan sebelumnya dia enggak bawa itu dari supermarket sebelumnya. Berarti dia membawanya dari dalam mall itu—ruangan pribadi miliknya. "Lo bawa apaan di tas itu? Perasaan lo ribet banget deh. Beli ini itu, ganti ini itu, bawa ini itu. Memangnya seribet dan seribut itu ya pergi ke sana kemari?" Tanyaku. Dia mengambil tas jinjing itu, lalu menyerahkannya kepadaku. "Di dalem isinya selimut sama jaket. Lo butuh itu. Gue enggak mungkin biarin lo kedinginan di sana." Sedikit speechless, tapi aneh. "Kayaknya enggak perlu deh. Gue udah biasa tahan dingin, jadinya gue rasa lo enggak perlu bawa ini. Sayang juga, masih bersih, kan?" Aku menyerahkan tas itu lagi kepada Adam. "Lo yakin?" Tanyanya. "Gue yakin," aku sangat yakin dengan jawabanku. Kenapa? Mungkin aku pernah bercerita kalau aku sering tidur di lantai, dalam keadaan yang amat sangat dingin. Itu sudah terjadi lama dan berulang kali, badanku sudah tahan panas dan dingin. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku lagi. "Gue udah terbiasa." "Masalahnya, dingin di Jakarta dengan dingin di puncak itu beda. Kalau di sana, lo bisa beku kalau enggak pakai jaket atau selimut. Nanti kalau gue enggak bawain lo selimut, lo malah mau dipeluk. Enak aja. Ogah banget." Seenaknya dia ngomong kayak gitu, dan seenaknya juga aku memukul bahunya. Sekuat tenaga yang aku punya. "Eh, dasar lo! Gue juga ogah dipeluk sama orang yang terlalu kepedean kayak lo!" Dia tertawa. Anehnya, kenapa setiap kali aku mencoba kasar padanya, dia selalu tertawa? Jujur saja, aku tidak pernah melihatnya marah padaku. Dia hanya melakukan itu pada orang lain. Pertanyannya, kenapa? Apakah aku selemah itu dimatanya sampai ia tidak bisa bersikap adil? Entahlah. "Tenang aja. Gue enggak akan ngelakuin yang macam-macam sama lo. Lo sama gue tidur di tempat yang berbeda, jadi lo enggak perlu mikir aneh." Itu katanya, entah realitanya seperti apa. "Cepetan naik. Perjalanan ke sana lama banget meski kita pakai motor." Pun aku menuruti apa yang dia mau. Naik ke motornya dan kami mulai meninggalkan bangunan mall itu. Aku sempat curiga, sepertinya mall itu adalah milik keluarganya. Karena itu lah dia punya tempat pribadi. Ya sudahlah, itu adalah urusannya. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo," aku berbisik pada Adam, tepat di samping telinganya. Ini efisien, apalagi dia mengebut. Ya pasti setelah aku berbisik seperti itu, dia agak sedikit menurunkan kecepatan laju motornya. "Ngomong aja." "Terima kasih banyak," bisikku sekali dan aku tidak mau mengulangnya meskipun dia memohon. Tapi yang jelas, yang aku lakukan setelahnya adalah memeluk erat pinggangnya. Aku tersenyum, aku takut, dan anehnya aku tenang. Semua ini aku rasakan ketika bersama Adam. *** "Masih jauh lagi gak?" Entah sudah berapa kali aku menanyakan itu pada Adam dan cowok ini dengan sabarnya menjawab dengan hal yang sama. "Sabar. Tinggal bentar lagi nyampe," jawabnya. Itu selalu sama, tidak ada perbedaan. Template. Kenyataannya, sampai lebih dari satu jam, kami tak kunjung sampai dan sayangnya pinggangku sudah mulai terasa sakit. "Sekitar satu jam lagi sampe. Gue bilang juga apa? Tempatnya jauh, tapi gue pastikan itu menjadi tempat yang paling indah, paling nyaman yang lo lihat selama ini. Lo enggak akan nyesel." Iya, memang benar. Karena antusiasme ku lah Adam bersedia membawaku jauh-jauh ke tempat nyokapnya. Dan aku yakin, tidak hanya aku yang merasa sakit pinggang, tapi dia juga. Apalagi dia menahan bebanku yang sebagai penumpang motornya. "Pinggang lo sakit enggak? Istirahat bentar yuk!" Ajakku. "Nanti. Pinggang gue enggak sakit kok. Gue lumayan tahan. Tahan aja bentar, gue usahain sampe secepatnya." "Oke." Aku tidak bisa memaksanya. Aku hanya berharap cepat-cepat sampai tujuan atau setidaknya berhenti di sebuah rumah makan. Sekedar duduk, mengistirahatkan diri agar tidak dipaksakan secara berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi? Akan kutahan sakit ini seperti biasa. Sabar adalah kuncinya. Sakit makin terasa hingga tanpa sadar mengigit lidah sendiri saking berusaha menahannya. Aku tidak berani bersuara sedikit pun pada Adam. Aku juga tidak berani mengganggunya, membiarkannya fokus dengan apa yang ada di depannya. Jalan demi jalan dilewati hingga akhirnya Adam berhenti di depan rumah makan seperti yang aku harapkan. "Kita makan bentar ya. Gue laper," katanya. Aku hanya mengangguk. Bukan karena apa-apa, tapi sekarang aku sedang menahan sakit pinggangku yang amat terasa berlebihan. Bahkan ketika aku hendak turun dari motornya, kakiku terasa keras, pinggangku terasa hendak patah, sangat sakit hingga ke sekujur badan dan aku sedikit mendesis dibuatnya. Benar-benar luar biasa perjalanan kali ini. "Lo enggak kenapa-napa, kan?" Tanya Adam. "Enggak kenapa-napa kok. Cuman kayanya pinggang gue agak sedikit kram." Memaksakan diri tersenyum kala sedang menahan sakit itu tidak mudah, tidak enak juga. Aku sampai ingin menangis karena rasa ini. Ya Tuhan, entah sudah berapa banyak cobaan yang Engkau berikan padaku. Akan kujalani semuanya dengan sabar. "Kalau lo ngerasain apa-apa, kasih tahu gue. Sekarang lo adalah tanggung jawab gue," katanya dan melengos masuk ke dalam. Sedangkan aku? Tertegun mendengar penuturannya. Dia merasa bertanggung jawab padaku? Hangat terasa, senang dan bahagia rasanya. Cowok ini bahkan berhasil mengalahkan apa yang Papaku sendiri lakukan. Selama ini Papa tidak pernah berkata kalau dia bertanggung jawab atas diriku, tapi cowok ini? Dia hebat. "Ayo cepetan!" Teriak Adam mengajakku cepat-cepat menyusulnya. Aku memang tertinggal jauh di belakangnya. "Kalau lo enggak makan, gue gak mau lanjut." Bahkan dia sengaja memberikan sedikit ancaman. Tapi, bolehkah aku jujur? Ancamannya manis. Dia perhatian. Aku tidak biasa mendapatkan perlakuan seperti ini. Maka silakan salahkan aku kalau sampai aku menaruh rasa atau berharap padanya. Itu benar-benar di luar kuasaku. Ada hati yang tidak bisa aku kendalikan sepenuhnya. Terjadi begitu saja, mengalir dengan alami tanpa paksaan. Silakan. "Tunggu!" Aku tidak berani berlari, namun kupastikan langkahku tidak terlalu pendek agar ia tidak menungguku terlalu lama. Sampai akhirnya aku di dekatnya, ia menarik tanganku seperti yang pernah ia lakukan sudah-sudah kala kami berada di tempat yang ramai. Kali ini kita ada di puncak, aku tidak merasa takut ada yang memantau atau tidak. Sudah pasti tidak ada. "Lo mau makan apa?" Adam mempersilakan ku memilih lebih dulu. Merasa Dejavu, tentang touchscreen. Tidak sadar aku tertawa. "Kenapa tertawa?" Tanya Adam. "gue nyuruh lo tunjuk mau makan apa, bukan tertawa. Lo enggak kenyang sama tawa, tapi sama nasi campur lauk. Cepet tunjuk!" "Gue cuman ingat kejadian kemarin pas lo nyuruh gue klik touchscreen di warung. Waktu itu gue emang bodoh, tapi sekarang gue sadar kalau waktu itu lo ngebohongin gue, kan?" Aku sampai menunjuknya dengan jari telunjukku, masih dengan tawa dan senyumku. Astaga, aku bahkan tidak bisa menahan kegelian ini. Apalagi ketika Adam ikut tertawa. Aku semakin tergelak. "Lo sih! Mana mungkin ada touchscreen di warteg. Seharusnya lo pikir dulu, masuk logika atau enggak. Kalau enggak, jangan mudah percaya." Adam mencoba memperjelasnya. Silakan, aku tidak akan melarang. Aku akan resapi, nikmati, dan syukuri kebahagiaan yang aku rasakan ini bersamanya. Aku tahu ini singkat, akan kubuat menjadi lebih spesial. Sekedar tawa, itu berharga. "Sekarang karena lo udah tahu udah enggak ada sistem touchscreen lagi, cepetan pilih mau makan apa. Gue lapar!" Adam berteriak di akhir, dan itu lucu. Bagiku. "Ya sabar!" Aku ikut berteriak padanya. Lalu aku menunjuk beberapa lauk yang familiar. Tidak banyak, aku yakin Adam tidak akan bangkrut olehku. Aku juga masih sadar diri. Dan setelah aku selesai, giliran Adam yang menunjuk mau makan lauk apa bersama nasinya. Tidak disangka dia menunjuk lauk yang sama. Persis sama. "Kita cari meja pojok aja." Mungkin sudah lama pula Adam memperhatikan tempat itu, dipojokan. Hingga akhirnya aku dan dia memilih makan di meja pojok. Meja pojok memang selalu menjadi alasan. Entah kenapa juga terasa nyaman-nyaman aja, tidak ada yang aneh. Di pojok, kita bisa melihat ke segala sisi. Bisa melihat segala ekspresi. Aku suka. "Jangan banyak mikir, cepat habiskan makananmu biar kita cepat-cepat lanjutin perjalanan ke villa nyokap gue. Enggak terlalu jauh kok dari sini." "Iya." Benar-benar serius. Kami menghabiskan makan tanpa berbincang, tanpa berkata apa-apa. Adam pun juga terlihat jujur dengan apa yang dia katakan sebelumnya, dia lapar. Dia begitu geragas memakan makannya. Bahkan ketika nasiku masih setengah, dia sudah habis. Ia pun juga bersendawa. Aku pikir dia akan menjaga imagenya sebagai cowok yang paling diminati, yang tampan dan segalanya. Aku pikir dia akan makan dengan anggun, pakai sendok dan garpu, dan segala jenis keribetan cara makan orang kaya. Tidak, dia sederhana. Pakai tangan, makan dengan apa adanya, dan lagi-lagi aku suka. Oh tidak, aku takut. Aku takut suka padanya. Pantas Erina suka pada cowok ini. Bahkan aku yang sudah sempat mati rasa, enggan memikirkan masalah perasaan pun kini mulai mencoba memulai dari mana. Tapi mungkin Erina hanya tahu sisi Adam yang berbeda, dan aku mengenal dari sisi yang berbeda pula. Adam di sekolah sangat berbeda dengan Adam yang bersamaku dua hari ini. Mungkin saja aku lah yang tidak tahu banyak tentangnya. "Kok lo gak lanjut makan, sih? Malah asik ngelamun." Ternyata Adam menyadariku. "Enggak. Gue ngerasa udah kenyang aja," alibiku. Padahal aku masih lapar. Adam menarik piringku. "Sini gue aja yang habisin. Sebenarnya gue masih lapar, cuman enggak enak aja minta tambah nasi. Enggak apa-apa kan gue habisin makanan lo?" Tuh, kan. Erina pasti tidak akan menemukan Adam yang seperti ini di sekolah. Erina dan cewek-cewek yang lainnya hanya tahu dari sisi ketampanan dan segudang prestasi yang dimiliki Adam di sekolah, tapi mereka tidak tahu bagaimana Adam di saat yang seperti ini. "Gue boleh habisin atau lo masih mau habisin makanan lo?" Ternyata Adam masih menunggu jawabanku. Kasihan cowok ini. Dia yang bayar, dia pula yang meminta. Aku menarik piring itu, menempatkannya di tengah-tengah. "Kita habisin berdua aja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD