Mungkin bagi Erina pulang malam sehabis bersenang-senang, berbelanja barang ini itu, menghabiskan uang Papa hingga ke batas terakhir adalah hal yang biasa. Tidak ada yang melarangnya sebab sering kali ia melakukannya dengan Mama juga, disamping dengan temannya. Tidak ada yang akan marah bahkan Papa tidak bisa melawan argumen tajam Mama yang lebih suka marah meski berada di posisi bersalah. Serius, Papa akan kalah dari Mama. Itu mutlak.
Sedangkan aku? Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku aku pulang ke rumah dalam keadaan hari yang sudah beranjak malam, dengan seseorang yang bukan orang rumah melainkan dengan cowok yang benar-benar diinginkan Erina menjadi pacar. Adam, cowok yang sejauh ini aku pikir sangat pemberani dan mau mengambil segala resiko bahkan tanpa adanya rasa takut sedikitpun, atau mungkin saja ada tapi dia berhasil menyembunyikan rasa itu dariku.
Lebih dari itu semua, hari ini dengan Adam membuatku bisa merasakan banyak hal. Naik motor kebut-kebutan di tengah derasnya hujan, memeluk pinggangnya walau dalam kondisi darurat yang mengharuskan ku melakukannya, memakai baju dan celananya yang mungkin menjadi impian semua siswi di sekolahku, bisa dibelikan ini itu meski aku merasa sangat berat menerimanya. Dan sesuatu yang aku pikir lebih penting dari itu semua adalah karena aku tahu ukuran sepatu Adam. Entah banyak yang sudah mengetahuinya, tapi entah kenapa juga aku merasa senang mengetahui ukuran yang dipakainya. Mungkin untuk membuktikan itu, nanti aku akan bertanya pada Erina. Sekadar iseng. Kalau dia tahu ukuran sepatu Adam, maka aku tentu akan sedikit kecewa. Tapi kalau dia saja yang menjadi fans berat Adam tidak tahu sedangkan aku mengetahuinya bahkan Adam menungguku membelikannya, tidakkah itu menjadi sebuah kebanggaan? Pada akhirnya aku punya sesuatu yang tidak bisa dimiliki oleh Erina.
Tenang, jangan senang dulu. Adam mengakui kalau dia baik seperti ini tidak hanya padaku saja, melainkan pada semua siswa-siswi yang mendapatkan perlakuan tidak adil dan ia merasa terdorong itu menyelesaikan itu semua. Rasa tanggungjawab yang tidak bisa, tapi mana mungkin kita meragukannya begitu saja.
Mengenai keyakinan atas semua perlakuan Adam beberapa hari ini padaku, jujur saja aku tidak yakin. Aku masih ragu. Kalian sudah tahu kalau dia juga senang memancing kejengkelanku, senang membuatku dongkol. Kadang ia tertawa, kadang ia-ah, sudahlah. Kalau membahas tentang dirinya tanpa mengingat siapa sebenarnya aku dan apa yang aku sadari, ini tidak akan pernah berakhir. Aku takut semuanya berakhir pada rasa kagum yang berlebihan, yang bisa menjadi bomerang dan seketika meledak dengan dahsyatnya. Tidak ada yang mau merasakannya, pun juga denganku. Lebih baik aku sadar diri dari awal dan tidak terlalu berharap lebih. Anggap dan bersikap pada Adam dengan biasa-biasa saja.
Terlalu banyak berbicara dengan berisiknya pikiranku, aku sampai tidak menyadari Adam sudah sampai mengantarku di depan gerbang rumah. Segera turun dari motornya. "Terima kasih banyak ya untuk hari ini. Lo udah banyak berbuat baik sama gue," ujarku.
"Never mind! Santai aja," jawabnya santai, sesantai apa yang dia minta dariku.
"Tetap saja gue merasa berhutang sama lo. Gue janji suatu saat nanti gue bakal balas apa yang udah lo lakuin hari ini, termasuk jajanin lo sepatu. Ukuran 40."
Lalu aku menerima beberapa paper bag yang diberikan Adam. Kalau aku mau, mungkin ini bisa menjadi bukti kemenangan aku dari Erina atas beberapa hal, khususnya pada Adam. Mungkin Erina bisa menang dalam banyak hal, bisa menyuruhku melakukan ini itu, bisa menyakitiku, tapi kali ini aku menang. Hanya saja, kalau aku memperlihatkan ini pada Adam, sama saja dengan percobaan bunuh diri. Aku membuat Erina tahu, memancing emosinya yang bisa mendorongnya berbuat lebih jahat lagi padaku. Sebaiknya aku sembunyikan ini darinya. Itu lebih baik daripada berkoar-koar kesana-kemari. Tidak semua hal bisa dimaklumi Erina walau dia tahu aku pingsan sekalipun. Bahkan mungkin dia menginginkan kematian ku, tapi dia masih membutuhkanku.
Kini aku menunggu Adam melenggang pergi dahulu baru aku bisa masuk ke dalam dan menyembunyikan semua ini. Aku takut suara motor Adam didengar oleh Erina dan itu membuatnya cepat-cepat turun ke bawah. Aku juga takut Erina mengetahui ku yang membawa barang-barang pemberian Adam, yang tidak seharusnya aku punya. Kalaupun dia tahu, seperti yang aku bilang sebelumnya, sudah bisa dipastikan aku akan dimarahi, bisa jadi dipukul, dan dia mengambil semuanya dariku. Namun sayangnya, cukup lama aku menunggu, Adam tak kunjung pergi. Aku juga tidak mungkin mengusirnya begitu saja. Etika macam apa itu? Dia sudah berbaik hati hari ini dan aku membalasnya dengan mengusirnya? Aku akan sangat jahat jika melakukan itu. Tapi ini tidak bisa dibiarkan. Erina bisa memantau dari cctv. Mungkin sedikit bertanya tidak akan masalah apalagi sampah menyakiti hatinya.
Kuangkat daguku, ingin melakukan kontak mata. Tepat saat itu juga, mungkin Adam juga sudah lama berniat melakukannya, aku menangkap dia sedang mengarahkan kamera HPnya ke arahku. Dia mau mengambil fotoku?
"Lo ngapain?" Tanyaku.
Seperti orang yang ketahuan pada umumnya, aku melihat dia kaget dan sontak menyembunyikan HPnya ke dalam saku jaketnya. Itu jaket lain dari yang ia berikan padaku. "Enggak, iseng aja," jawabnya. Yeah, jawabannya lebih iseng dari apa yang dia katakan.
"Oh," balasku mencoba melupakan. Aku tidak mau memperpanjang masalah untuk malam ini. Aku harus segera masuk sebelum Erina curiga. "Lo mau masuk ketemu Erina atau gimana? Karena ini udah malam, kayaknya gue harus cepat-cepat masuk deh. Gue takut Mama sama Papa gue marah kalau tau gue telat banget pulangnya. Apalagi gue pulangnya sama lo," ujarku yang sebenarnya sudah aku selipkan kalimat usir untuk Adam. Kalau Adam pintar dan bisa mengartikannya, dia pasti akan mengerti maksudku. Dan aku berharap dia tidak banyak tanya untuk hal seperti ini.
"Enggak. Sama kayak lo, gue juga mau pulang secepatnya. Tadi bokap gue udah suruh gue cepetan pulang cepat-cepat, bahkan sampai mau ngancem. So, gue cabut sekarang juga."
Aku lega, sampai-sampai aku menghela napas. Ini lah yang aku tunggu dan syukurnya Adam mengerti dengan kode yang aku layangkan untuknya. Pulanglah secepatnya, Adam. Terima kasih untuk hari yang sangat mengesankan ini. Semoga kita tidak dipertemukan dengan hari yang sangat panjang seperti hari ini.
"Gue cabut dulu. Besok lo jangan lupa sekolah atau gue culik lo kayak tadi pagi," ungkapnya.
Aku sampai lupa perihal itu. Iya, Adam memang pintar dalam segala hal. Dia membuatku begitu nano-nano hari ini. Tidak bisa dijelaskan.
"Gue enggak janji. Gue bukan cenayang yang bisa memastikan kalau keadaan gue baik-baik aja sampai besok pagi. Apalagi tadi lo ajak gue terobos hujan, bisa jadi gue demam. Kalau gue sakit, gue gak sekolah."
"Kalau lo sakit, gue ke sini dan bawa lo ke rumah sakit," sedetik setelah ia mengatakan itu, tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk membalasnya, ia menyalakan mesin motornya dan melaju pergi kembali membelah jalanan.
Kuperhatikan dirinya penuh sampai bayangannya benar-benar menghilang. Aneh, dia selalu mau berurusan dengan ku, bahkan ketika aku berasumsi akan sakit pun dia akan ke sini dan membawaku ke rumah sakit. Sepertinya sulit bagiku untuk menyembunyikan ini dari Erina. Mungkin aku berhati-hati, tapi Adam lah yang seolah sengaja membiarkan semuanya tahu akan hal ini. Memang asem.
Ya sudahlah, mau gimana lagi? Semuanya sudah terjadi dan aku bukan orang yang bisa mengendalikan satu orang pun di dunia ini. Mau sekeras apapun aku berusaha tapi kalau belum jalannya, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Perlahan aku membuka grendel besi gerbang rumah dengan sangat hati-hati. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara deret. Aku sampai menahan napas saat melakukannya, sangat takut sekali. Dan ketika sudah terbuka, ini belum sepenuhnya aman. Aku tahu, ketika aku masuk ke rumah ini, aku sudah harus menerima segala konsekuensi. Neraka dan siksaannya, segala bentuk rasa harus aku coba terima.
Segalanya penuh dengan kehati-hatian, bahkan ketika berjalan masuk ke pintu belakang melewati taman rumah pun kulakukan dengan sangat perlahan. Untungnya tidak ada yang berjaga, aku bisa aman sampai tempatku. Segalanya terasa dipermudah. Mungkin Erina, Mama dan Papa sudah tertidur.
Segala barang-barang yang kuterima dari Adam segera kusembunyikan. Meski aku sudah aman sampai ke dalam kamar tempatku beristirahat, tetap saja tidak bisa lalai. Erina bisa dengan mudah masuk ke dalam sini tanpa kesulitan sedikitpun. Dan kalau dia menemukan semua barang-barang baru yang tidak akan mungkin bisa aku beli dengan uangku sendiri, dia sudah pasti curiga.
"Dari awal aku sudah sadar kalau kehadiran Adam sangat beresiko padaku. Meski aku mencoba menjauh, tapi cowok ini terus yang mendekat, aku harus lakukan apa selain pasrah dan menerima semua ketidakadilan ini? Hadeh... Memang hidup tidak akan seindah yang dibayangkan."
***
Seperti biasa aku akan bangun subuh-subuh di saat semua orang di rumah ini belum ada yang terbangun. Seharusnya aku semangat, banyak pekerjaan yang menanti tanganku tuk mengerjakannya, tapi entah kenapa rasanya sangat malas. Badanku terasa pegal, suhu badanku juga agak hangat. Mungkin karena efek kehujanan kemarin.
Tapi aku tidak bisa menjadikan itu sebagai alasan tidak mengerjakan tugas rumah hari ini. Satu hari saja aku tidak melakukannya, bisa pecah gendang telingaku mendengar bentakan dan amarah Mama yang tidak bisa ditahan-tahan. Pernah suatu hari aku sakit yang membuatku tidak bisa melakukan aktivitas apapun, dampaknya malah membuat kericuhan di rumah ini. Mama tidak mau mengotori kuku tangannya yang sangat cantik, terlebih Erina yang terbiasa diperlakukan selayaknya princess. Papa? Jangan bercanda. Setengah dari hidupnya sudah didedikasikan mengabdi untuk membiayai hidup mewah Mama dan Erina. Ia tidak punya waktu untuk melakukan apapun kecuali bekerja bekerja. Dan karena itu aku memaksakan diriku bekerja walau sesakit bagaimanapun kondisi badanku.
Segala pekerjaan aku selesaikan agak lambat dari sebelumnya. Semuanya selesai tepat waktu bahkan sebelum Mama dan Papa bangun. Bertepatan dengan selesainya aku masak sarapan, bertepatan dengan itu aku melihat Papa membuka pintu kamar. Ia masih memakai baju tidur. Ia tidak turun, hanya berdiri, lalu masuk lagi ke dalam kamarnya. Aneh dan sedikit lucu. Mungkin dia terlalu penat sampai seperti itu.
"Mungkin Papa butuh kopi," gumamku.
Kebetulan juga aku sudah membuatkan kopi untuknya, dan tidak lupa juga minuman bagian Mama dan Erina. Semuanya sudah siap, tanpa terkecuali. Semenjak Adam meninggalkan rumah ini, aku sudah siap menjalani kehidupan sehari-hari ku seperti biasa.
Membawa nampan yang sudah berisi tiga gelas yang mana satu gelas kopi untuk Papa dan dua gelas s**u hangat untuk Mama dan Erina. Membawanya dengan sangat hati-hati seolah minuman penyambut pagi ini lebih berharga daripada diriku. Pun juga aku sudah biasa melakukannya, tidak ada yang terasa berat.
Sesampai di depan kamar Mama dan Papa, aku mengetuk pintu. Tidak lama Papa membuka pintu itu, melebarkannya supaya aku bisa masuk dengan leluasa. Kutaruh nampan itu di depan meja Papa yang berdekatan dengan jendela kamar.
"Selamat pagi, Pa."
Aku menyapa lebih dulu meski Papa hanya membalas dengan anggukan kecil saja. Sejauh ini aku masih canggung, tanpa diragukan lagi. Ini sudah bertahan lama dan susah dikendalikan. Aku benar-benar merasa seperti sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang tugasnya melayani Tuan dan Nyonya rumah tempatnya bekerja.
"Ma, bangun. Ini sudah pagi," bisikku tepat di telinga Mama sembari menggoyangkan badannya.
Mama berhasil tersadar dan bangun, aku sontak mundur. Aku tidak mau karena niat baikku membangunkannya membuatnya menepis tanganku seperti yang sudah dilakukannya dulu-dulu. Itu benar-benar sikap yang tidak bisa aku contoh darinya sebagai orang tua. Bahkan untuk hal apapun yang ia lakukan selama ini, aku merasa tidak cocok menjadikannya sebagai role model hidupku.
"Selamat pagi, Ma. Aku sudah siapkan s**u untuk mama," lalu aku beralih pada Papa yang ternyata sudah duduk di kursi dekat jendela. Bahkan sebelum aku menyajikan Papa kopinya, ia sudah lebih dulu mengambilnya dari nampan dan menaruhnya di tatakan kecil. "Dan kopi untuk papa," lanjutku.
"Kemana kamu semalam?" Tanya Mama dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Ia juga tampak sudah payah bangun. Ingin rasanya membantunya, tapi aku tak ingin usahaku disia-siakan. Pagi ini aku cukup pusing, pula aku harus mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Aku tidak mau mempersulit hidup. "Seharian aku cari kamu di rumah ini tapi gak ada. Gara-gara kamu hilang, aku harus keluarin uang lagi buat beli lauk."
"Maaf, Ma..." Aku berujar dengan nada yang lemah. "Kemarin Abi sakit dan seharian di kamar. Abi enggak tahu Mama cari Abi," kataku.
"Aku gak peduli kamu mau sakit atau gak, yang penting semua urusan di rumah ini terkendali. Kamu sudah mengurus semuanya kan pagi ini?"
Aku mengangguk.
"Ya udah sono pergi!"
Tidak langsung keluar, aku berpaling sebentar ke meja tadi untuk mengambil s**u hangat Erina. Baru setelahnya aku keluar, beranjak ke kamar sebelah yang tidak lain dan tidak bukan adalah kamar sang princess.
Berusaha untuk terus menjaga etika pada orang-orang yang tidak bisa beretika, setelah mengetuk pintu dan terdengar ada yang mempersilakan masuk, baru kemudian aku membuka pintunya. Terpampang nyata terlihat Erina yang sudah hampir siap berangkat sekolah.
Kulihat ia melirikku dari cermin yang sangat besar. Masih seperti biasa, dia tidak pernah menyukaiku, bahkan melengos tidak suka kala aku mencoba melempar senyum padanya. Karena ini sudah biasa, tidak ada rasa kecewa sama sekali yang aku rasakan.
"Ini s**u hangat lo," ujarku.
Dia hanya berdehem.
Aku tidak mau berlama-lama di sini karena aku juga harus bersiap-siap sama seperti dirinya. Baru saja aku mencapai pintu, langkahku ditahan dengan pertanyaan yang diberikannya.
"Kemarin lo pura-pura pingsan ya biar Adam gendong lo di depan banyak orang?" Tanyanya.
Sangat tidak disangka dia menjadikan itu sebagai sebuah kecurigaan yang tidak perlu. Aku benar-benar pingsan, bukan kepura-puraan. Aku pun juga tidak tahu Adam yang membawaku ke UKS. Kalau aku tahu, aku tidak mau melihat dia melakukan itu. Aku masih ingin tenang dalam segala hal meski tidak semuanya bisa aku dapatkan dengan baik.
"Enggak. Gue benar-benar pingsan. Gue kelaparan, ditambah gue dihukum lari pas panas-panasnya. Kalau lo jadi gue, gue yakin lo juga akan kayak gitu," balasku.
"Terus kenapa lo bisa sama Adam terus? Lo kan tahu gue suka banget sama dia, tapi anehnya dia selalu kedapetan sama lo terus!" Ucapnya.
Nada bicaranya selalu naik setiap kali menyebut nama Adam yang berkaitan denganku. Dia sangat cemburu, dan bukan rahasia lagi kalau dia sangat menginginkan Adam. Ketika seseorang cemburu dan takut akan kepemilikannya direbut seseorang, itu akan menciptakan rasa yang tidak terelakkan dan menganggap banyak hal menjadi sebuah kemungkinan terburuk. Sama seperti yang dilakukan Erina saat ini.
"Kalau masalah itu, silakan tanya Adam. Gue enggak pernah ngejar-ngejar dia, sama sekali!"
Lalu aku melengos pergi. Sudah cukup untuk pagi ini, dan seperti biasa aku siap untuk yang selanjutnya. Mohon biarkan aku pernapasan sejenak sebelum lanjut.
Aku hampir berlari turun ke lantai bawah, langsung menuju dapur. Aku tidak mau mengulang hal yang sama lagi, tapi setidaknya aku mencoba untuk meminimalisir. Kali ini aku agak memberanikan diri melakukan hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya—mengambil makan sebelum mereka sarapan. Aku mengambil nasi agak lebih banyak dari sebelumnya, pun juga dengan lauk. Jujur saja, aku takut ketahuan, padahal aku berhak melakukan ini tanpa ada rasa takut sedikitpun. Dan setelah memastikan semuanya aman, aku segera membawa sepiring nasi dan segelas air ke dalam ruangan ku. Sarapan kali ini agak nekat.
"Tidak ada yang namanya mati dua kali."
***
Sengaja membiarkan Erina berangkat lebih dulu dan memastikan tidak ada orang di rumah baru kemudian aku memutuskan keluar rumah. Ini kulakukan tidak lain dan tidak bukan untuk menghindari sejuta pertanyaan Erina akan penampilan baruku. Maksudku, mulai dari baju, tas hingga sepatu, aku memakai barang baru yang merupakan barang pembelian Adam.
Ini sedikit membuatku tidak nyaman dan tidak percaya diri, tapi terpaksa. Aku tidak punya baju lain yang bisa dipakai, sedangkan tidak akan mungkin baju pakai baju bebas atau tanpa busana ke sekolah. Aku bukan orang gila. Aku masih normal yang terkadang jadi gila karena perbuatan jahat dan licik keluargaku sendiri.
"Akhirnya lo keluar juga dari persembunyian lo."
Kaget, hampir saja jantungku copot dari tempatnya. Baru saja aku membuka gerbang, aku dikejutkan dengan itu. Segera aku berbalik, ternyata itu Adam. Aku pikir Erina. Bisa menjadi masalah yang sangat besar kalau Erina lah orangnya. Tapi kini aku bisa bernapas dengan lega.
"Lo emang suka kagetin orang ya?" Tanyaku.
"Tidak juga," jawabnya. "tapi kalau sama lo, kayaknya gue suka."
Kan, memang menjengkelkan. Dia mengaku tidak suka melakukannya pada orang lain, tapi denganku dia suka. Maksudnya apa? Kita tidak sedekat itu untuk bisa menerima candaan yang seperti ini. Dan aku mencoba biasa-biasa aja biar dia tidak melanjutkan bercandaannya yang agak lumayan beresiko.
"Terus ngapain lo di sini?" Tanyaku.
"Gue mau jadi tukang ojek lo," jawabnya.
"Ha?"
Aku kebingungan dengan candaannya yang satu ini. Dia mau jadi tukang ojek gue? Dia bercanda atau gila? Masalahnya, itu tidak masuk akal sama sekali. Pertama, mungkin sudah lelah aku bilang kalau dia anak orang kaya yang tidak butuh uang lagi. Dia sudah cukup dengan kehidupannya yang bergelimang harta. Kedua, dia jadi tukang ojek aku, yang artinya nanti aku harus bayar dia seperti tukang ojek pada umumnya. Dia tahu aku tidak punya uang, lalu aku membayarnya dengan apa? Daun?!
Dia hanya menyeringai lebar dan turun dari motornya. Aku masih sibuk dengan kebingungan ini, memikirkan apa maksud dari apa yang dia ucapkan tadi. Terlalu fokus sampai aku tidak menyadari Adam sudah memakaikan helm di kepalaku.
"Jangan terlalu berpikir. Cukup terima tanpa berniat membalas, oke?"
Aku menggeleng, menolak. "Apanya yang oke? Gue enggak ngerti sama sekali dengan apa yang lo bilang. Maksud lo jadi tukang ojek gue apa, b**o?! Gue gak punya uang buat bayar lo. Mending gue jalan kaki."
"Emangnya gue minta bayaran?" Adam bertanya balik, aku hanya mengangkat bahu tidak tahu. "Gue cuman mau berangkat sekolah sama lo, itu aja. Emangnya salah?"
Salah besar!