Melihat kedatangan Pelangi dan Nenek Mariya, Zionathan langsung terlonjak kaget. Dia tidak tahu menahu jika Pelangi akan berkunjung malam ini ke kediamannya. Siapa yang mengundang gadis itu?
"Kak Pelangi ...!" seru Abella ruang sekali. Senyumnya lebar, berlarian kecil menghampiri Pelangi dan Nenek Mariya. Mempersilakan mereka masuk dan memanggilkan Ratih yanf masih mengurusi Damian di kamar. Damian baru saja kembali dari kantor, mungkin Ratih tengah menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi. "Akhirnya datang juga. Aku pikir Kakak nggak bakal datang. Niatnya aku dan Chiara sudah mau menjemput ke sana." Memeluk lengan Pelangi, mengajak gadis itu duduk bersama di ruang keluarga bersama Zionathan juga.
"Chiara masih di kamar, tadi terakhir aku lihat dia lagi bersiap mandi. Paling sebentar lagi turun. Dia emang lambat banget, tadi kebanyakan ngerjain tugas." Abella tidak berhanti mencerocos, membuat Nenek Mariya tersenyum senang dengan antusiasnya.
Zionathan memicingkan matanya menatap Abella, menegur tanpa bicara mengenai sikap yang Abella tunjukkan di hadapan orangtua.
"Oh iya, belum salaman. Aku Abella, Nenek. Salam kenal ya." Mengalami Nenek Mariya, kemudian duduk di samping Pelangi yang terlihat sungkan dan bingung mau bicara apa. Dengan pakaian amat sederhana, Pelangi akhirnya memantapkan niatnya bersama Nenek Mariya berkunjung ke kediaman Faresta. Sangat malu dan merasa tidak pantas, ternyata kediaman ini jauh lebih besar dan mewah dari bayangan Pelangi.
Saat melihat halaman depannya saja membuat kaget, persis lapangan sepak bola yang ada di televisi. Semakin indah dengan adanya air mancur besar dan taman kecil yang katanya dipenuhi kolam ikan. Air mancur di depan tadi memiliki lampu warna-warni, sangat indah dan memanjakan. Betah sekali berada di lingkungan tempat tinggal yang bersih, apalagi banyak menyuguhkan pemandangan alam yang asri. Pelangi dan Nenek Mariya tadi disambut sangat baik oleh pekerja di kediaman Faresta, mereka begitu ramah.
"Panggil Mama, Bell." Zionathan berkata singkat, membuat gadis itu mengangguk cepat dan langsung beranjak. Kapan pada Zionathan, Abella memang sangat menurut, sampai tidak berani menolak. "Apa kabar, Nek?" Zionathan menarik sebelah sudut bibirnya membentuk senyuma amat tipis, hampir tidak terlihat.
Nenek Mariya memberikan respon yang sangat berbanding terbalik. Senyumnya sangat lebar, tatapannya penuh bangga. "Baik, Nak. Wah ternyata kamu anak tetangga yang kata Pelangi begitu pintar di kampus? Hem ... apa kita pernah bertemu sebelumnya? Nenek seperti pernah melihat kamu, tidak asing wajahnya."
Zionathan mengangguk. "Waktu itu aku pernah berniat menjemput Pelangi, hanya saja Pelangi sudah duluan berangkat ke kampus."
Nenek Mariya mengangguk ingat. "Oh ya, benar. Ini loh, Sayang, yang kata Nenek teman kamu jemput waktu itu. Beneran ganteng kan? Ternyata kita tetanggaan."
Pelangi menganga, lalu mengantup bibirnya rapat. Pujian Nenek Mariya yang secara terang-terangan membuat Pelangi malu, dia langsung kehabisan kata-kata di hadapan seorang Zionathan.
"Hai, Pelangi. Selamat malam Nenek Mariya. Senang sekali Nenek juga ikut mampir kemari. Apa kabar? Saya sudah beberapa hari tidak jalan-jalan ke luar, kebetulan lagi kena suasana hati yang males mau ngapa-ngapain selain tiduran di kamar." Mengecup pipi kanan dan kiri Nenek, saling berpelukan hangat.
"Kabar baik, Nak. Pantas saya tidak melihat kamu beberapa hari ini, biasanya ada saja berkeliling ke taman." Usia Nenek Mariya ini sudah sekitar tujuh puluh tahunan, sementara Ratih berada di angka setengah abad. Hanya saja karena Ratih sering melakukan olahraga, dia masih terlihat muda dan kuat. Namanya juga orang beruang, perawatan apa saja dilakukan agar tetap awet muda 'kan? Dapat dilihat dari kulit Ratih yang masih sehat, tidak terlihat seperti nenek-nenek pada umumnya--mengeriput. Uban pun berusaha ditutupi dengan berbagai macam perawatan, termasuk kuku tangan dan kakinya.
Jangankan Ratih, Damian yang hampir seusia dengan Nenek Mariya saja masih terlihat sehat bugar. Meski sudah beruban, Damian tetap terlihat tampan dan memesona diusianya yang begitu matang. Damian masih dapat bekerja dengan sangat baik, melakukan segala rutinitasnya seperti menembak, memanah, berenang, dan berlatih senjata tajam lainnya. Itu adalah kesenangan Damian sejak dulu, tidak pernah berubah hingga sekarang. Semakin tua dirinya, semakin banyak prestasi yang Damian raih selama dia menjalani kewajibannya dalam pekerjaan.
"Saya pikir Abella berbohong mengatakan jika Pelangi dan Nenek akan mampir ke sini. Ternyata beneran." Mengusap lengan Nenek Mariya, begitu menyayangi wanita tua layaknya orangtua sendiri. "Saya senang sekali, sering-seringlah main ke sini Pelangi. Temani saya, kita bisa bikin kue dan masak bersama. Siapa tahu nanti kamu memiliki waktu luang untuk saya ajak ke restoran. Kamu bisa mencicipi semua makanan yang ada di sana, gratis untuk kamu--boleh dibungkus juga untuk Nenek Mariya."
"Kamu baik sekali, Nak, terima kasih banyak. Maaf jika banyak merepotkan." Mengusap puncak kepala Ratih, sang empunya memejamkan mata seolah mendapat doa dan berkat dari Nenek Mariya.
"Wah, ramainya." Damian ikut bergabung dengan keadaan lebih segar. Tidak lama datanglah Abella dan Chiara yang berebutan memeluk Papanya seperti biasa. "Aduh, Sayang. Papa baru saja mau menyapa tetangga kita, kok malah diserang." Memeluk kedua putrinya, mengusap punggung Abella dan Chiara dengan kedua tangannya--memangku masing-masing di sebelah pahanya.
Zionathan melihat si kembar hanya bisa menghela napas berat, geleng-geleng kepala. "Turun, Abella, Chiara. Duduk dengan benar."
Abella memeletkan lidahnya. "Enggak, aku mau sama Papa. Aku kangen Papa." Memeluk leher Damian, berebut dengan Chiara yang berakhir saling mencubit dan memukul. Padahal baru bertemu tadi pagi, tapi kata yang selalu keluar adalah kangen. "Chiara tadi pagi sudah dipangku sama Papa, sekarang giliran aku!"
"Chiara, mengalah!" Ini perintah. Tidak dengan bentakan, tapi penuh penekanan tidak ingin dibantah. "Atau nggak ada yang boleh meluk Papa lagi sampai seminggu ke depan."
"Sana, gih!" Abella mengusir Chiara dengan mendorongnya, lalu tertawa penuh kemenangan. Abella memeluk Damian, menjadikan bahu pria itu sebagai sandaran paling nyaman.
"Maaf ya, Pelangi, Nenek ... si kembar emang sangat manja pada Papanya. Kebiasaan setiap hari berebutan kayak gini." Ratih menghela, geleng-geleng keheranan.
Pelangi terkekeh, mengangguk paham. Dia menatap penuh haru, sebab Pelangi tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah seperti ini. Jangankan ayah, dulu sosok ibunya pun tidak pernah memanjakan Pelangi. Dia selalu dituntut melakukan semuanya sendiri, bahkan berusaha dewasa padahal usianya masih belia. Kemudian sekarang saat dia benar-benar sudah dewasa, keadaan yang menuntut agar kuat dan selalu bertahan meski berkali-kali dirinya ingin menyerah.
"Tidak apa, Tante. Senang melihat kebahagiaan Abella dan Chiara." Tersenyum tulus, tatapannya penuh kesedihan. Kata ibunya, dia mengandung Pelangi saat bekerja di luar negeri, kemudian dipulangkan ke Indonesia karena kebobolan hamil tanpa tahu siapa ayah kandung Pelangi. Ibunya yakin pada satu pria, hanya saja tidak dapat menuntut apa pun sebab dulu ibu Pelangi juga dibayar setiap kali melayani mereka. Apa saja yang terjadi setelahnya bukan tanggung jawab mereka, sudah ada dalam perjanjian yang disepakati.
Pelangi sedih sekali, nasibnya begitu tragis sejak masih dalam kandungan. Sejak kecil dia sudah terbiasa disudutkan teman-temannya, selalu menerima perlakuan tidak menyenangkan. Mau melawan? Pelangi tidak ingin semakin dibenci dan menyebabkan ibunya bertengkar. Dulu pernah sekali Pelangi melawan teman sebayany yang senang menjambak. Hanya saja dia langsung mengadu pada mamanya yang kemudian adu mulut dengan ibu Pelangi. Sama-sama membela anak, lalu berakhir saling bermusuhan.
Bukannya lebih baik, malah semakin rumit dan bertambah masalahnya bukan? Orang-orang itu juga tidak akan mau berhenti, malah mengajak teman yang lain untuk ikutan membenci Pelangi.
"Dia suami saya, Nek. Namanya Damian." Ratih memperkenalkan pada Nenek Mariya, kemudian menatap pada Pelangi. "Papanya anak-anak."
Damian mengulas senyum, menganggukkan kepala ramah sekali. "Senang bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sering-sering main ke sini, biar rumah semakin ramai."
Ratih mengangguk. "Biasanya banyak sekali anak-anak kumpul di sini pada hari weekend. Bakar-bakaran, bikin kemah sederhana di halaman belakang, atau hanya sekadar duduk santai sambil nyanyi-nyanyian. Pelangi nanti ke sini saja kumpul bareng ya, tidak masalah kalau mau menginap. Di sini banyak kamar kok." Pelangi senang mendengarnya, merasa menemukan seseorang yang menerima kehadirannya dengan baik. "Tapi malam ini Gabriel sedang tidak ada di rumah. Dia menginap di rumah Pamannya, Felix Gamya. Tidak jauh dari sini."
"Gabriel, siapa?"
"Anak laki-laki saya, Nek. Yang paling kecil." Ratih terkikik, pasti Nenek juga tidak menyangka jika Ratih memiliki empat orang anak. Seperti mencetak rekor, dia paling unggul di antara yang lainnya. "Untung nggak lima, Nek. Padahal katanya si kembar pengen punya adik."
"Apa sih, Mama? Ingat umur, sudah setengah abad." Zionathan menimpali serius.
"Biarlah, Abang. Aku emang mau punya ade bayi kok!" Chiara menyahut tiba-tiba, membuat Zionathan menyipitkan matanya. "Lucu kan?"
"Enggak!" jawab Zionathan sewot.
Damian tertawa. "Nanti adik bayinya nunggu dari Abang Zio aja. Sebentar lagi nikah ya, Bang?"
"Enggak!"
Abella mencibir, meniru gaya bicara Zionathan. "Nggak ada yang suka sama Abang, dia kulkas berjalan." Tertawa geli, bersembunyi pada Damian melindungi diri. "Abang ini galak."
"Sudah, tidak perlu lagi berdebat. Ayo ke ruang makan sekarang. Sepertinya menu makan malam kali ini sudah siap."
"Aku mau sebelahan sama Papa duduknya!" pekik Chiara duluan, kemudian disusul oleh Abella yang tidak mau mengalah. "Abel ih. Bang, lihat Abella. Nakal banget!"
"Kalian berdua sama aja. Biar Abang yang di sebelah Papa, kalian gesek ke sana. Jangan ribut-ribut, malu di liat orang." Zionathan menduduki kursi yang tadinya mau dipakai oleh Chiara. "Katanya ngundang Pelangi dan Nenek untuk makan malam, tapi sejak tadi kalian sibuk rebutan Papa aja. Apa nggak malu? Udah besar loh kalian. Apa perlu Abang ingetin umur kalian masing-masing?"
"Enggak, nggak usah!" Si kembar kompak menjawab demikian sambil menggelengkan kepala.
"Jangan heran Pelangi, si kembar emang selalu jinak kalau sama Abangnya. Apa pun yang Zio katakan, selalu diturutin. Soalnya di rumah ini cuman Zio yang galak, Papanya saja kalah." Lebih tepatnya Damian tidak tega memarahi buah hatinya, sejak dulu selalu seperti itu. Paling menegur pelan, selebihnya banyak diam dan memerhatikan saja. Jika sudah keterlaluan, barulah Damian buka suara.
Pelangi mengangguk sambil terkikik. "Baru kali ini liat adik kakak berantem tapi lucu."
"Belum lagi kalau ada Gabe, dia pasti ikut menyahut kalau si kembar sering bawel. Ujung-ujungnya berantem. Sama-sama mengadu yang akhirnya bikin pusing sendiri." Ratih memberikan wadah menu kepada Pelangi dan Nenek Mariya. "Ayo Pelangi, Nenek, ditambahkan menunya ya. Jangan malu-malu, ini dibikinkan buat kita makan bersama. Nanti jangan lupa membawa rantang yang ada di atas meja itu ya, sudah dipersiapkan oleh Bibi untuk dibawa pulang ke rumah."
"Maaf ngerepitin banget ya, Tante."
"Enggak sama sekali. Santai aja, anggap rumah sendiri ya. Pintu kami selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin bertamu."
"Baik, Tante. Terima kasih banyak."
****
Damian menyenggol lengan Zionathan yang sedang berdiri di pinggiran kolam renang sambil menyesap teh hangatnya. "Oh jadi itu tetangga baru kita yang bikin kamu berbeda?"
Zionathan mengerutkan kening. "Apa yang berbeda, Pa?" Masih tidak menanggapi serius, tatapannya lurus ke atas--melihat langit yang sedang cerah dengan jutaan bintang dan bulan.
"Dia yang kamu khawatirkan tadi sore, 'kan?"
"Bukan hanya dia. Tapi semua yang tinggal di daerah sekitar sini."
Damian memasukkan tangan kirinya ke saku celana, sementara tangan satu lagi memegangi secangkir cokelat s**u. "Apa kamu bisa membohongi Papa, Zio?"
Zionathan akhirnya mengalihkan pandangannya, menatap Damian beberapa saat. "Lalu Papa pikir aku sedang berbohong?"
"Mungkin. Mulut dan tatapan kamu kurang sinkron. Tidak menyakinkan." Tertawa kecil, lalu mengesap tehnya sambil menaikkan bahu cuek. "Kamu memerhatikan dia dari kejauhan, eh? Sejak kapan anak Papa jadi pengecut gini? Kalau suka, tunjukin tanpa malu-malu. Nanti keburu ditikung orang, baru menyesal kamu."
"Papa bicara apa sih? Nggak jelas!" Zionathan segera melenggang pergi, tidak lagi menoleh ke belakang dan meninggalkan gelas tehnya di wastafel. Beginilah ketika seorang Zionathan menghindari topik pembicaraan yang menurutnya tidak penting untuk dibahas. Selalu kabur dan melupakan ini di hari esok. Seolah tidak pernah ada pembicaraan ini sebelumnya.
"Anak muda, anak muda!" Damian geleng-geleng kepala, lalu tertawa geli melihat sikap putranya. Dia tengah jatuh hati, eh?
****