Hari ini jadwal Pelangi mengunjungi perpustakaan kota, jaraknya tidak terlalu jauh dari kediamannya saat ini. Dulu saat masih berada di lorong, Pelangi harus naik angkot dan sembunyi-sembunyi dulu dari ibunya agar tidak ketahuan mengunjungi perpustakaan. Kata ibunya membaca itu buang-buang waktu, lebih baik cari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selalu saja soal keuangan yang tidak pernah berkecukupan.
Dari dulu Pelangi jarang sekali mendengar ibunya bersyukur, selalu tidak puas dengan apa yang dia dapatkan. Jika tidak sesuai dengan harapan, Pelangi adalah sasaran empuk kemarahan ibunya. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, setelahnya dia akan kembali baik dan melupakannya. Pelangi hanya bisa mendengarkan dan mengiyakan, kadang sampai telinganya terasa panas.
Ada beberapa buku yang Pelangi perlukan untuk tugas, sekalian mau menenangkan diri di sana. Perpustakaan adalah jalan ninja Pelangi saat memerlukan waktu sendiri dalam sepi. Membaca cerita-cerita menarik membuat Pelangi lebih bersemangat, apalagi isinya membahas soal masa depan.
Pelangi mempunyai beberapa buku di rumah, hanya saja sudah dia baca semua. Bosan mengulangi bacaan yang Pelangi sendiri mudah ingat apa isi di dalamnya. Kalau soal bacaan, Pelangi mudah mengingat. Tapi giliran pada rumus yang berisi angka, sedikit lebih sulit. Hal ini bukan kelemahan, buktinya Pelangi bisa mendapatkan nilai yang tinggi pada mata kuliah perhitungan angka.
Saat masih berada di lingkungan perumahan Faresta, Pelangi merasa begitu aman dan tidak melihat tanda-tanda ada orang jahat yang sedang mengintai. Namun saat motornya melaju keluar daripada wilayah itu, seketika perasaannya tidak nyaman dan was-was. Beberapa kali Pelangi melihat ke arah kaca spion, takut saja jika ada preman waktu itu mengikutinya.
Sebenarnya Pelangi tidak ingin keluar rumah sebelum keadaan aman, hanya saja dia benar-benar memerlukan buku untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahannya di semester ini. Pelangi tidak memiliki banyak uang untuk membeli ke gramedia, jadi mengunjungi perpustakaan kota adalah pilihan terbaik. Pelangi bisa meminjam empat sampai lima buku, lalu meminta jangka waktu paling lama satu bulan untuk mengembalikannya lagi.
Pelangi menurunkan kaca helmnya yang berwarna gelap, menutupi seluruh bagian wajah agar tidak merasa terintimidasi dengan tatapan orang-orang. Dia berada di lampu merah, siang ini terlihat padat jalanan ibu Kota.
"Hai, Kak Pelangi!" Angela menyapa Pelangi dengan ceria setelah menurunkan kaca mobilnya. "Panas-panas gini mau ke mana?"
Pelangi menaikkan sedikit kaca helmnya, tersenyum senang. "Hai, kebetulan ketemu di sini. Aku mau ke perpustakaan kota." Lalu menganggukkan kepala pada Ifander yang sedang menyetir. Lelaki itu dengan hangat mengulas senyum pada Pelangi.
"Kalau tau kamu mau keluar siang ini, dijemput aja tadi. Soalnya aku juga mau ke pusat perbelanjaan beli sesuatu. Sejalur kok arah kita."
Pelangi terkekeh. "Nggak pa-pa, aku udah terbiasa pakai motor kok." Lalu menatap ke arah lampu lalu lintas yang sudah berubah warna menjadi hijau. "Aku duluan ya." Melambaikan tangannya, kemudian melaju cepat mengikuti laju motor yang ada di depannya agar tidak terjebak lampu merah lagi.
Hanya melaju sekitar sepuluh menit dari lampu merah tadi, akhirnya Pelangi sampai di perpustakaan kota. Ada banyak sekali orang yang berkunjung, terlihat dari area parkir yang telihat penuh. "Astaga, ngapain mereka di sini juga?!" desah Pelangi memegangi dadanyaa ketika melihat dua orang preman waktu itu berada di luar pagar perpustakaan kota. Mereka tidak boleh masuk, karena tidak memiliki kartu izin berkunjung.
Mereka mengulas senyum licik ke arah Pelangi, siap menunggu di depan sana sampai Pelangi pulang. Mau tidak mau, Pelangi langsung ketakutan, berusaha mencari cara agar bisa lari secara diam-diam. Kalau sampai Pelangi tertangkap oleh mereka, pilihannya hanya ada dua. Menyerahkan mahkota dirinya untuk melunasi hutang, atau memberikan sejumlah uang dengan harga yang mereka inginkan.
Sungguh, harga diri Pelangi jauh lebih mahal daripada nominal itu.
Karena buru-buru masuk dengan perasaan kalut, Pelangi tidak sengaja menabrak seseorang yang sedang mencari buku di rak paling depan. "Ya Tuhan, maaf ... maaf." Pelangi langsung membereskan beberapa buku dan kertas yang berjatuhan ke lantai. "Eh, kamu?" katanya malu saat bersitatap dengan seseorang yang baru saja dia tabrak.
"Kenapa? Kayak lagi dikejar hantu lo!"
"Zio, aku ikut kamu pulang ya nanti?" Persetann dengan rasa malu, hanya Zio yang dapat menolong Pelangi sekarang. "Motor aku ada di depan. T-tapi ini penting, aku minta tolong." Mencoba menjelaskan semampu dia saat Zionathan menaikkan sebelah alis seolah bertanya dirinya kenapa.
"Kenapa?" Di masih tidak paham apa yang Pelangi bicarakan.
Pelangi mendesah, matanya menatap awas ke arah luar perpustakaan. "Di luar ada orang gilaa, a-aku takut."
"Terus?"
"Ya nggak pakai terus-terus, aku cuman minta tumpangan pulang."
"Orang gilanyaa nggak mungkin nungguin lo, kayak dia nggak punya kerjaan lain aja." Zionathan menghela napas, lalu beranjak dari tempatnya mencari buku lain.
Pelangi mengikuti, berusaha membujuk. "Kali ini aku beneran takut. Di depan sana, m-mereka nungguin aku."
"Mereka? Ada dua orang gilanyaa?"
Bibir Pelangi cemberut masam. "Aku serius, Zio. Nggak bercanda." Tanpa sadar ini kali pertama mereka membuka obrolan dengan bahasa dan topik permbicaraan yang ringan. "Aku nebeng ya, kali ini aja. Nggak pa-pa aku dikatain nggak tau malu, sok kenal, atau apalah itu. Pokoknya aku maksa pengen ikut kamu pulang!" cerocos Pelangi sambil memegangi tali tasnya. Raut gadis itu penuh cemas, dadanyaa bertaluan lebih cepat sejak tadi.
"Ada dua orang gilanyaa?"
"Kamu nggak jelas ih." Pelangi menghentakkan kaki.
Zionathan memejamkan mata beberapa saat, lalu berusaha sabar. "Lo bilang mereka."
"Mereka apa? Kapan?" Seketika hilang ingatan, membuat lelaki di hadapannya gemas ingin menyentil kepalanya.
"Nggak perlu dibahas." Zionathan memalingkan wajah, kesal sendiri dengan Pelangi.
"A-aku mau ikut kamu pulang. Boleh ya?"
"Lo ke sini naik apa?"
"Motor."
Zionathan kembali menatap Pelangi beberapa saat, keheranan. "Balik pakai motor lo."
"Nggak bisa!" Pelangi menyela cepat, menggeleng tegas menolaknya. "Ikut kamu aja. A-aku lagi pusing, nggak bisa panas-panasan pakai motor."
"Konyol!" balas Zionathan tidak terima dengan jawaban Pelangi. Bukankah biasanya gadis itu memang menggunakan motor ketika bepergian? Entah cuaca sedang panas atau badai sekali pun. Benar-benar tidak masuk akal sekali.
"Iyain dulu baru pergi." Pelangi refleks memegangi lengan Zionathan, beberapa saat kemudian barulah melepaskannya lagi. "Aku emang nggak tau malu, a-aku lagi perlu bantuan."
"Kenapa?"
Pelangi memilin ujung tasnya, menunduk beberapa saat sebelum akhirnya kembali bersitatap. "A-aku tadi liat dua orang jahat di depan. Dia mau mengintai aku."
"Lo ngebunuh orang?" Pelangi langsung memukul Zionathan, kemudian menyuruhnya berbicara lebih pelan. "Ngapain harus diintai? Kayak penjahat aja. Cari kalimat yang lebih benar."
"Ada preman di luar sana. Dia mau nagih utang." Pelangi mendesah kesal, akhirnya dia membocorkan aib ibunya lagi. "Jangan bilang ke siapa-siapa ya. Ini aib ibu aku."
"Ya sudah." Setelah itu Zionathan kembali berlalu kemuju meja di tengah ruangan. Duduk di sana sembari membaca sebuah buku.
Pelangi masih mencoba mencerna bahasa si kulkas satu ini, kalimatnya begitu sulit dimengerti oleh manusia normal seperti Pelangi. "Maksudnya, Zio? Kamu kok ngomong nggak jelas, aku kurang paham." Mengambil duduk berhadapan. Mengerutkan kening.
"Mau nebeng kan?"
"Iya."
"Ya sudah."
"Boleh?"
Zionathan menghela napas. "Menurut lo?"
"Boleh."
Zionathan kembali membaca bukunya, mengabaikan Pelangi yang sedang berdecak senang dan penuh kelegaan. "Aku titip tas ya, mau cari buku dulu. Kamu jangan ke mana-mana, jangan ninggalin aku pulang duluan." Tidak ada sahutan, tapi Pelangi tahu jika Zionathan takkan mengingkari janjinya.
****
Emang sedikit. Part selanjutnya akan update nanti siang ya.