Ini kali pertama seorang Zionathan mendatangi adik kembar perempuannya ke kamar untuk membicarakan hal yang sama sekali tidak penting, tapi berhasil membuat Zionathan bertanya-tanya. Dia bahkan tidak bisa tenang menjalankan semua kegiatan sebelum mencari tahu apa penyebab perkelahian Angela dan Ralina kemarin. Beritanya heboh seantero kampus, untung saja tidak ada panggilan orangtua lagi, sebab Angela dan Ralina sepakat untuk berbaikan dan menyelesaikan masalah sampai di wilayah kampus saja. Berbaikan? Tentu saja hanya di hadapan para rektor, selebihnya masih sama-sama memalingkan wajah enggan menatap satu sama lain.
"Abang mau bicara, kalian ada waktu?" tanya Zionathan setelah membuka pintu kamar si kembar. Abella sedang berbaring di sofa, kakinya naik ke atas dengan memangku laptop secara tidak benar--sedikit lagi membuat benda cangkih itu salto belakang. Sementara Chiara terlihat tenang di meja belajarnya, dengan posisi amat santai. Mereka memang kembar, hanya saja memiliki sikap yang kelihatan sangat berbeda. Abella sinis dan bar-bar, sementara Chiara lebih kalem.
Chiara mengulas senyum, mengangguk. "Boleh, Abang. Sini masuk."
"Abella, berbaring dengan benar. Gaya macam apa itu, huh?" tegur Zionathan akhirnya gemas, memukul kaki Abella pelan. "Nggak ada kalem-kelamnya ini anak perempuan."
Abella menghela napas tak kalah sebal, posisi nyamannya untuk menonton drama diganggu. "Abang ih, ganggu aja!"
Zionathan menatap datar, kemudian menggelengkan kepala keheranan. "Lihat Chiara, pinternya dia belajar dan mengerjakan tugas. Lah kamu, drama korea terus. Nelan drama memangnya bisa bantu kamu nyelesain tugas dan menjawab ujian dengan benar?"
"Wawasan aku itu udah luas, aku juga pinter. Nggak perlu belajar lagi, nanti kelebihan pinter nggak baik, bisa gilaa." Dengan tidak tahu dosa, dia menjawab demikian. Masih fokus menonton, mulutnya tidak berhenti nyemil sejak tadi. Kalau Chiara senang sekali membaca buku, Abella malah berbanding terbalik. Dia selalu mengantuk melihat sederet kalimat yang memusingkan.
Zionathan menghela napas kasar, menarik kursi belajar Abella untuk dia duduki. "Kenapa Ralina bisa marah sama Pelangi kemarin?" Ini pertama kalinya Zionathan kepo dengan masalah orang lain. Biasanya dia tidak peduli, lebih mementingkan diri sendiri dan keluarganya saja.
Abella mengernyit keheranan. "Sejak kapan Abang jadi wartawan gini?" celetuknya bikin jengkel. Zionathan memutar bola mata malas, untung kesabarannya banyak. "Biasanya kan nggak mau peduli, meski orang lain jungkir balik sekali pun menghadapi masalahnya."
"Jawab aja, Abang 'kan tanya. Nggak ada salahnya bertanya, biar nggak sesat di jalan."
"Memangnya Abang mau pergi ke mana? Bukannya udah hapal daerah Jakarta ini?"
"Abella, jangan bikin Abang kesal. Jawab saja."
"Abang suka Kak Pelangi ya? Kedengarannya peduli banget." Chiara menopang dagu, tersenyum malu-malu melihat Abangnya jatuh cinta? Ini momen langka, jarang sekali terjadi. Bahkan selama Chiara ada di rumah ini, hidup bersama dengan Zionathan, lelaki itu tidak pernah terlihat menggandeng seorang kekasih pujaan hati. Katanya masih sibuk menatap masa depan, tidak ada waktu untuk membucin.
Sejak tadi Chiara diam, tapi sekalinya buka mulut langsung membungkam. Zionathan tersedak, sementara Abella sibuk menertawakan. "Apa sih, Chia? Jangan ngomong sembarangan, nggak enak didengar orang, nanti dikira beneran."
"Loh, memangnya nggak beneran?" Abella menambahkan sambil mengulum senyum.
Bukannya mendapat jawaban, Zionathan malah kena sindiran telak dari adik kembarnya. Mereka secara bergantian menggoda, memberikan tatapan dan ekspresi yang menggelikan perut. Sungguh, Zionathan menyesal sudah mendatangi adik-adiknya ini. Harga dirinya seperti dipertaruhkan.
"Ih, Bang, mau ke mana? Jangan ngambek!" Abella langsung mencegah Zionathan beranjak dari tempat duduk. Merentangkan tangannya merasa bersalah. "Cuman bercanda, kita nggak serius kok pojokin Abang begini." Memeluk Zionathan sayang sekali. "Tapi kalau Abang beneran suka Kak Pelangi, boleh juga. Nanti kita bantu kasih tau ke Mama, biar bisa dicomblangin kan?"
Zionathan mempelototkan matanya. "Jangan bercanda! Abang nggak suka Pelangi, jangan ngasal kalau ngomong."
Chiara tertawa. "Tapi kok perhatian banget?"
"Nggak jelas kalian, Abang pergi saja kalau begitu. Lupakan hal ini, anggap Abang nggak pernah datang dan tanya kalian mengenai apa pun sebelumnya. Awas aja kalau masih membahasnya nanti."
Abella masih mencegah Zionathan, membuat lelaki itu jengah. "Tapi beneran deh, kita nggak tau kenapa Ralina marah lagi ke Pelangi. Kayaknya sih gara-gara Bang Ifander? Iya 'kan?"
"Katanya nggak tau, tapi bisa menebak-nebak gitu ya."
"Serius, Bang. Memangnya Kak Pelangi ada ketemuan sama Bang Ifander kah di luar sana?"
"Kamu pikir Abang sekepo itu jadi tahu semuanya? Nggak, kayak kurang kerjaan aja."
Chiara mencebikkan bibirnya. "Kamu kayak nggak tau Bang Zio aja. Nggak mungkin dia nyari tahu hal kayak gitu, nggak penting juga. Mending fokus skripsian."
"Betul. Ya sudah kalau gitu Abang mau ke kamar dulu, banyak tugas yang harus Abang selesaikan. Kalian lanjut belajar dan jangan nonton drama lagi, Bel!"
Abella berdecak. "Nggak janji, orang tugas aku udah selesai semua kok. Aku ini anaknya rajin, pinter, dan dermawan. Gampanglah soal tugas, nggak ada yang keteteran."
Zionathan menghela napas. "Awas saja kalau nilai kamu sampai turun ya nanti, Abang sita laptop kamu."
"Ih, jahat!"
Zionathan hanya menaikkan bahu, kemudian melenggang pergi tanpa banyak bicara lagi.
"Ngeselin Bang Zio!" gumam Abella selanjutnya. Chiara hanya mendengarkan, lalu masuk ke kamar duluan. "Kamu jangan terlalu banyak membaca, kelebihan pintar itu nggak baik loh, Chiara!"
"Ajaran dari mana itu?"
"Dari aku sendirilah."
"Sesat!" Chiara langsung memalingkan wajah, kembali bergelut dengan buku-bukunya yang membuat Abella mual.
****
Pelangi sedang menyapu halaman, kemudian datanglah Chiara dan Abella yang baru saja main di taman bersama anak-anak yang lain. Mereka cekikikan ketawa, lalu berusaha mengatur napas yang menggebu-gebu akibat berlarian saling mengejar. Abella memang nakal sekali, dia jahil merebut ikat rambut Chiara hingga rambut gadis itu tergerai. "Bel, kembaliin nggak ikat rambut aku!" kesal Chiara pada akhirnya memukul lengan Abella. Dia sudah kegerahan akibat bermain tadi, sekarang malah ditambahin.
Mereka meski sudah menjadi anak kuliahan, kelakuannya masih sama saja, senang bermain di taman dan melakukan banyak hal menyenangkan lainnya. Tidak peduli sudah dianggap dewasa atau bagaimana, Ratih juga membebaskan mereka bermain sesuka hati di luar jam belajar.
Abella tertawa, lalu memberikannya karena kasihan. Wajah Chiara sudah memerah paham, berkali-kali mengibaskan kedua tangan di depan wajah menjadikan kipas. "Hai, Kak Pelangi!" Mengambil duduk di depan, melihat Pelangi yang sedang beberes halaman. "Rajinnya, nggak pengen main sama kita?"
Pelangi terkekeh, kemudian menggeleng. "Dari tadi aku pusing sama tugas semester akhir ini, terus nyari kesenangan lain dengan beberes. Kalian habis ngapain ngos-ngosan gini. Tumben nggak pakai sekuter."
"Tuh sekuternya di titipin ke satpam. Gara-gara Abella ngajak jalan kaki. Katanya biar sehat, ternyata malah lomba lari ujung-ujungnya."
"Kak, kenapa Ralina marah sama Kakak? Kok dia bisa kempesin dan rusak helm Kak Pelangi?" Masih saja ingin tahu, gadis satu ini keponya setinggi langit. "Bang Zio tanya tadi, peduli banget dia sama Kakak. Kalian pacaran ya?" lanjutnya belum memberikan kesempatan untuk Pelangi menjawabnya.
Pelangi menganga, menggeleng cepat. "Enggak, Abel. Aku sama Zio nggak ada apa-apa. Ketemu juga jarang. Kalau soal Ralina, aku juga masih bingung. Mungkin dia lihat waktu itu di jalan tol aku ditolongin sama Zio dan Bang Ifander. Aku numpang ngadem di mobil Bang Ifander, sementara Zio mencarikan bensin. Di luar emang lagi panas banget. Aku udah berusaha nolak, cuman Bang Ifander nawarin berkali-kali. Aku nggak enak hati terus nolak kan?"
"Gitu doang marahnya kayak orang kesetanan?" Abella mendelik tajam, mengehela kasar. "Nggak jelas emang di Ralina. Terus gimana sekarang dengan helm kak Pelangi, udah beli yang baru?"
Pelangi tersenyum. "Belum, Bel. Mungkin nanti, lagian untuk seminggu ke depan aku sibuk di rumah aja, nggak ke kampus. Masih amanlah gitu."
"Nanti aku kasih helm aku aja. Aku punya beberapa, jarang kok kepake. Soalnya Papa nggak bolehin kita pakai motor sendirian."
"Eh, nggak pa-pa, nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin orang lain."
Chiara tersenyum, menggeleng. "Nggak ngerepotin. Nanti kita antar ke sini ya. Daripada beli baru, mending uangnya di tabung kan? Santai kalau sama kita mah, jangan malu."
"Ih jangan, biar Kak Pelangi aja yang mampir ke rumah nanti malam. Kak Pelangi belum pernah main, ayo makan malam di rumah, Kak. Ajak aja Nenek Mariya, dia baik banget orangnya. Aku sama Chiara jufa kemarin di kasih kue."
Chiara mengangguk mantap. "Bener. Malam nanti ke rumah ya, Kak. Kamu tunggu, jangan menolak!"
Pelangi akhirnya mengangguk saja. "Iya, nanti aku anak Nenek. Terima kasih ya, maaf ngerepitin."
"Sama-sama!" Abella dan Chiara barengan, membuat Pelangi terkekeh melihat kekompakannya. "Ya sudah, kita mau pulang dulu ya, udah gerah banget. Mau mandi."
"Iya, sekali lagi terima kasih."
Si kembar melambaikan tangannya pada Pelangi, lalu segera berlarian kembali.
Belum sempat Pelangi masuk ke dalam, di ujung sama dia sudah melihat ada dua orang berbadan besar yang tengah berada tak jauh dari rumahnya. Dia menatap ke arah Pelangi, kemudian tersenyum miring.
Pelangi langsung melepaskan sapunya, terlihat ketakutan sekali. Tanpa mengulur waktu lebih banyak, Pelangi masuk sebelum berhasil ditangkap oleh mereka. Sudah lama sekali tidak bertemu, tahu dari mana dia tempat tinggal Pelangi dan Nenek Mariya? Tuhan, ini benar-benar tidak aman.
"Pelangi sayang, ada apa? Kok buru-buru banget nutup pintu?" Nenek Mariya sediikit terkejut, baru saja dia ingin memanggil Pelangi untuk makan kue bersamanya di teras samping sambil mengobrol.
"Nenek, ada preman waktu itu lagi. Mereka menemukan kita di sini. Dia pasti mau nagih utang, aku takut banget." Matanya berkaca-kaca, menggeleng takut terjadi sesuatu. Dulu preman itu berkata jika dia akan menemukan dan menghabisi Pelangi jika sampai ketemu lagi. Hutang ibunya belum dibayar, Pelangi takut preman itu menjadikan dirinya mangsa yang siap diterkam kapan saja.
Ya Tuhan, Pelangi ingin sekali menangis. Dia takut masuk ke dalam jebakan mereka yang berakhir mahkota dirinya melayangan. Preman itu tentu saja brengsekk, apalagi yang dia inginkan dari Pelangi kalau bukan yang satu itu bukan?
Dulu saja mereka sempat mengusap bokongg Pelangi, kemudian menatap penuh gairah dari fantasi gilaa mereka. Apalagi mereka tahu jika Pelangi belum pernah menjual diri seperti ibunya, berarti mereka menemukan titik sasaran yang pas.
"Iyakah? Apa kamu nggak salah lihat, Nak?" Nenek Mariya mengusap punggung Pelangi, memeluknya untuk menenangkan. Nenek tahu bagaimana panik dan takutnya Pelangi, trauma akan kejadian ibunya dulu saat ditagih utang sebelum akhirnya menjadi PSK juga. Pelangi tidak akan menjadi penerus ibunya, dia berjanji akan menjadi gadis yang baik dan dapat membanggakan Nenek Mariya yang sudah merawatnya sebaik ini.
"Enggak, Nenek. Aku nggak salah liat, mereka memang ada. Senyum jahat ke arah aku, kayak memberi peringatan kalau aku sudah nggak aman lagi. A-aku takut, Nenek. Aku takut mereka."
Nenek Mariya menangkup wajah Pelangi, mengusap perlahan air matanya. "Tidak akan kenapa-kenapa, Nak. Ada Nenek di sini, kita lewati semuanya bersama. Tuhan ada bersama kita."
Hutang ibunya hanya lima juta, lalu semakin bertambah karena berbunga dan akhirnya menumpuk begitu saja menjadi lima belas juta--ini dulu saat ibu Pelangi baru saja meninggal. Entah sekarang sudah bertambah sebanyak apa lagi.
"Aku takut dia mencelakai kita. Maafin aku udah buat kekacauan sebesar ini, Nek. Tidak di kampus, di rumah pun hidup aku selalu mendapat masalah. Maafin aku."
"Hei, Nak, jangan mengatakannya. Kamu anak yang baik, hanya saja mereka yang nggak senang melihat kebahagiaan kamu. Jangan meminta maaf, kamu sama sekali tidak salah. Nenek tidak masalah dengan semua masalah kamu, kita lewati semuanya bersama ya?"
Pelangi takut kehilangan Nenek. Tidak akan Pelangi biarkan preman itu mengganggu apalagi sampai melukai Nenek Mariya. "Aku akan berusaha menyelesaikan semuanya, Nek. Aku akan segera lulus dan bekerja. Aku akan membayar semua hutang ibu, aku akan mengenyahkan preman jahat itu dari kehidupan kita."
"Tuhan melancarkan semua niat baik kamu, Sayang. Kamu baik, Tuhan pasti sangat menyayangi kamu." Mengecup pipi kanan dan kiri Pelangi.
Beralih dari kediaman Pelangi, kini Zionathan sedang menggunakan teropongnya mengamati kediaman gadis itu. Dia sudah berdiri di balkon sejak Abella dan Chiara menghampiri Pelangi, kemudian melihat bagaimana Pelangi berlarian masuk ke rumah. Sayangnya Zionathan tidak bisa melihat siapa yang membuat Pelangi ketakutan, sejak tadi dia berusaha mencari tahu menggunakan drone. Tetapi daerah kediamannya tersebut terlihat aman, tidak ada sesuatu atau seseorang yang mencurigakan.
Zionathan meraih ponsel, mencari kontak seseorang di sana. "Halo, Pak. Saya minta tolong periksa daerah sekitar sini, bisa? Saya merasa ada seseorang yang tidak beres masuk ke sini. Pastikan jika semuanya aman. Terima kasih, Pak."
Tidak lama setelah telepon terputus, ponsel Zionathan berdering. Damian yang menelepon. "Nak, kamu yang melepas drone?"
"Iya, Pa."
"Ada sesuatu yang tidak beres?"
"Hem ... mungkin, Pa. Tapi aku masih mencari tahu, tadi sudah minta bantuan pada Pak satpam depan. Aku sudah mengawasi melalui drone, tapi tidak menemukan apa pun. Beberapa saat lalu aku melihat Pelangi tiba-tiba ketakutan di halaman depan rumahnya. Dia seperti melihat seseorang yang mengancam keberadaannya."
"Pelangi? Siapa dia?"
"Tetangga baru kita, Pa."
Dan ya, ini kali pertama juga bagi Damian mendengar putranya peduli kepada gadis lain selain daripada bagian keluarganya. Rupanya Pelangi mempunyai sesuatu yang terlihat menarik di mata Zionathan, mungkin?
"Oh ya sudah, nanti Papa coba awasi dan amankan. Kamu tenang saja, daerah sini terjaga oleh pengamanan ketat. Tidak boleh sembarangan orang masuk. Nanti Papa bantu laporkan ke penjagaan depan komplek agar tidak menerima tamu di luar daripada keluarga."
Zionathan tersenyum singkat, mengangguk paham. "Baik, Pa. Terima kasih."
****
Maaf kalau ada typo, revisi menyusul ya. Sampai bertemu besokkk! Setelah ini Steve yang nyusul up ya, dadah ...!