6. Masalah Baru

2402 Words
"Abang kenapa berantem sama Bang Ifander?" Abella segera menghampiri Zionathan yang berada di gazebo kolam renang, lelaki itu sedang membaca buku dan berusaha menyesuaikan mood untuk mengerjakan tugas yang mulai menumpuk. Entah kenapa akhir-akhir ini Zionathan tidak fokus, dia seperti banyak pikiran, tapi tidak tahu memusingkan soal apa. Tidak jelas, tapi berhasil menyita pikiran dan waktunya. Zionathan mengalihkan pandangan dari buku kepada Abella, membuat Ratih yang sedang merapikan tanaman ikut terkejut. "Apa? Abang Zio berantem sama Ifander?" Ratihlah yang duluan menyahuti dengan mata melotot. "Apa sih?" Zionathan semakin keheranan. "Kamu dapat berita dari mana? Anak kecil kok sok tau!" Abella mengerucutkan bibir, memukul paha Zionathan tidak terima dikatai bocah terus oleh abangnya. "Aku kan bertanya. Apa salah? Habisnya di kampus semua orang meributkan Abang dan Bang Ifander. Katanya kalian bersaing untuk mendapatkan Kak Pelangi. Beruntung banget yah Kak Pelangi, dikejar-kejar cowok ganteng. Tapi kasian, dia semakin dibenci." Ratih mengerutkan kening. "Loh, dibenci kenapa?" Sebelum Abella menjawab, Zionathan lebih dulu menyela dan menghentikan anak itu. "Masuk ke dalam, Abella. Nggak baik ngomong yang enggak-enggak. Aku sama Bang Ifander baik-baik aja, nggak ada yang berantem apalagi mempermasalahkan hal nggak berguna kayak yang dibicarakan anak kampus. Kamu jangan keseringan menelan mentah-mentah pembicaraan orang, nanti dibodohi pun kamu nggak sadar. Belajar yang benar, jangan mengurusi sesuatu yang nggak penting, buang-buang waktu aja!" Abella menghela napas kasar. "Abang ngomongnya biasa aja dong, kok mukanya kayak mau nelan orang gitu. Ayo sini belajar senyum sama aku, biar muka Abang ada manis-manisnya sedikit." Mau tidak mau, Ratih terkekeh melihat kelucuan putrinya menjahili Zionathan. Memang sih, Zionathan jarang sekali terlihat senyum dan tertawa lepas. Paling hanya pada momen tertentu saja, jarang dan bisa dikatakan langka. "Nggak usah bercanda, masuk ke dalam." Zionathan berucap tegas, jengah dengan pembicaraan tidak berfaedah seperti ini. Abella ini memang senang sekali mengghibah, berita apa saja sampai ke telinganya. Entah sepanjang apa antena yang Abella miliki, dia cerdas dalam urusan pergibahan. Cocok sekali berteman dengan Angela Almeer, tidak ada bedanya. Kelakuan mereka sebelas duabelas. "Nggak perlu membahasnya lagi di kamar bersama Chiara ya, Abel. Jangan kamu racuni pikiran kembaran kamu dengan hal-hal nggak berguna." Abella tertawa cekikikan, mengacungkan jempol paham. Abangnya seperti tahu apa yang akan Abella lakukan setelah beranjak dari teras kolam renang, dia tadinya memang berniat melanjutkan obrolan ini dengan Chiara. Sebelum semuanya jelas dan tuntas, biasanya Abella tidak akan tinggal diam. Entah Ratih mengidam apa sewaktu hamil dulu, Abella benar-benar cerewet dan selalu ingin tahu. Dia seperti polisi, harus mengupas habis semua masalah hingga ke akar-akarnya. Tidak untuk menyelesaikan masalah, dia hanya kepo. Seolah tidak tenang kalau belum tau berita terbaru dari orang luar. "Ada apa, Bang? Kok kayaknya serius banget pembicaraan Abel tadi?" "Nggak ada apa-apa, Ma. Hanya kesalahpahaman kecil yang sengaja dibesar-besarkan oleh beberapa pihak yang nggak bertanggung jawab. Mereka memang senang memojokkan manusia, minim rasa mengerti satu sama lain. Seolah hanya mereka yang punya perasaan, sementara manusia lain enggak." Ratih menghela napas. "Kok gitu? Aneh banget. Semoga Abella bisa memilih pergaulannya, jangan sampai temenan sama orang kayak gitu, seram." Zionathan mengangguk, menutup buku-bukunya. Dia sudah tidak mood membaca, semua tiba-tiba kacau dan menjadi hambar. "Lalu bagaimana dengan Pelangi yang katanya dibenci? Apa yang terjadi, Bang? Padahal Mama liat Pelangi anak yang baik." "Dia memang baik." "Terus?" "Nggak pa-pa, Ma. Udah ya, nggak usah bicarain masalah orang, aku lagi nggak pengen." Membawa buku dan laptopnya. "Aku ke kamar dulu, Ma. Mama segera bersih-bersih, ini sudah terlalu sore untuk berkebun." Ratih akhirnya mengalah. "Baik, Bang. Nanti jangan lupa ajari Gabriel ngerjain tugasnya ya. Tadi dia bilang mau minta ajari sama kamu." "Iya, Ma." Zionathan membuka pintu balkon, kemudian menatap ke arah rumah Pelangi. Gadis itu ada di rumah, motornya terlihat rapi di halaman depan. Entah bagaimana respons Mamanya jika tahu Pelangi anak mantan pelacurr. Zionathan hanya tidak ingin Ratih tiba-tiba ikutan menjauhi Pelangi, apalagi sampai menyuruh Abella dan Chiara menjaga jarak juga. Meski Ratih tidak sejahat itu, tapi bisa saja bukan? Soalnya Ratih selalu berkata agar mereka berteman dengan orang yang baik-baik biar tidak salah pergaulan. Sejak dulu Zionathan perhatikan, Pelangi memang berbeda dari Ibunya. Dia tidak pernah terlihat bebas seperti anak-anak yang lain, hidupnya begitu beraturan dan cerdas. Prestasi Pelangi tidak diragukan lagi. Dia, Ifander, dan Pelangi selalu kejar-kejaran soal nilai, ketiganya selalu menduduki posisi tiga teratas seangkatan. Zionathan hanya tidak ingin keluarganya menjauhi orang-orang yang padahal sama sekali tidak bersalah. Apa yang Pelangi terima sejauh ini sangat tidak adil, semua orang memandangnya sebelah mata. Bahkan banyak yang tutup mata dengan kebaikannya. Orang-orang hanya sibuk berkomentar buruk sejak kejadian heboh waktu itu--saat pekerjaan orangtua Pelangi tersebar ke seluruh penjuru kampus. Siapa yang melakukannya? Tentu saja Ralina. Ralina sengaja mencari tahu soal Pelangi saat merasa jengkel pada gadis itu. Betapa terkejutnya Ralina setelah tahu Pelangi tinggal di lorong dan anak salah seorang pelacurr di sana. Tidak segan si anak baru ini menyebarkan beberapa gambar dan sekejap mata langsung menggemparkan seisi kampus. Dulu, Pelangi hampir saja dikeluarkan dari kampus. Hanya saja orang-orang baik masih memiliki hati nurani. Banyak sekali pertimbangan yang mereka ambil, apalagi Pelangi masuk kampus melalui jalur beasiswa. "Abang ...!" Abella mengetuk pintu kamar Zionathan tidak sabaran, membuat lamunan lelaki itu buyar seketika. "Buka pintunya, ada yang pengin diomongin nih." Zionathan memijat pangkal hidung, memutar bola matanya malas. "Ada apalagi, Abel?" Abella masuk ke kamar Zionathan tanpa dipersilakan sebelumnya. Dia sendirian, sengaja tidak mengajak Chiara. "Kak Pelangi beneran anak pelacurr? Banyak banget yang bilang!" Lihat, anak gadis Damian satu ini kelewatan kepo. Dia tidak akan tidur nyenyak sebelum mendapat jawaban yang memuaskan hati. "Ibunya sudah meninggal, Abell. Bisa jangan mengungkitnya lagi? Dia terlalu sedih ketika semua orang menyudutkan. Jangan ikut-ikutan, biarkan mereka aja yang menjadi jahat." "Astaga, nggak nyangka banget. Padahal Kak Pelangi kelihatannya anak baik-baik. Terus Nenek yang tinggal sama dia sekarang, dulunya mantan pelacurr jug---" "Abella! Jaga ucapan kamu." Abella langsung terdiam seribu bahasa, mengantup bibirnya rapat. "Siapa yang mengajari kamu julit begini? Nggak baik, kamu tahu? Pelangi memang anak baik, jangan samakan dia dengan sikap dan pekerjaan ibunya. Ada banyak sekali orangtuanya pencuri, dan penjahat lainnya tapi memiliki anak yang baik hati. Pekerjaan tidak benar seperti itu bukan menjadi patokan seseorang buruk hati, Abella. Jangan terlalu dangkal untuk berpikir. Abang sudah sering bilang, fokus belajar saja biar pintar, nggak perlu mengurusi orang lain. Jangan membahasnya lagi, ini sama sekali bukan ranah kamu." "Si Amira, ayahnya koruptor. Kenapa masih kamu temani dia?" Zionathan melipat tangannya di depan d**a, menatap Abella serius. "Karena dia asik dan baiklah. Aku tahu siapa Amira, dia nggak ada sangkut pautnya dengan Ayahnya." "Begitu juga dengan Pelangi. Tolong lain kali jangan sejulit ini, nanti sifat jahat tumbuh dalam hati kamu. Kalau saja Papa tahu, dia nggak segan memarahi kamu, Abella." "Dih, jangan diaduin. Aku cuman mau tau. A-aku juga nggak bakal bully Kak Pelangi kok, aku nggak sejahat itu ya!" "Balik ke kamar kamu, berhenti kepo dengan urusan orang lain." Abella memicingkan matanya. "Abang ini suka kak Pelangi ya?!" Zionathan melebarkan mata, segera mengeluarkan Abella dari kamarnya tanpa membalas apa pun. Kembali mengunci kamar, tidak memedulikan teriakan Abella yang tidak terima. "Abang jahat, aku aduin Mama nanti!" Kemudian hilang suaranya, Zionathan yakin Abella sudah kembali ke kamarnya. "Terlalu berisik, mungkin waktu mengidam Mama makan mikrofon!" **** Pelangi mendesah sebal melihat ban motornya kempes, apalagi sekarang cuaca sedang panas. Dia harus segera pulang, sudah janji pada Nenek Mariya makan siang kali ini masak bareng. Tadi pagi Pelangi sudah belanja sayuran lebih banyak, niatnya mau membuat acara kecil-kecilan sebab hari ini Nenek Mariya berulang tahun. "Pak, mohon maaf. Ini siapa ya yang kempesin ban motor saya?" tanya Pelangi pada salah seorang satpam. Satpam terkesiap, langsung memeriksa ban motor Pelangi. "Astaga, saya tidak tahu, Neng. Dari tadi saya duduk di sana, tidak melihat ada yang bersikap jahil." "Tadi pagi saya berangkat bannya baik-baik aja, Pak. Saya ke sini menghadap dosen untuk bimbingan sebentar, paling dilamakan cuman satu jam. Ini lagi, helm saya ke mana? Ya Tuhan, sejak kapan kampus ada malingnya?" Mata Pelangi berkaca-kaca, sedih sekali jika ada yang bersikap jahil padanya. Andai hari ini tidak ada janji atau bukan hari spesial Neneknya, Pelangi tidak masalah. Dia bisa mendorong motornya mencari bengkel. Tapi sekarang apa? Pelangi sedang buru-buru. "Coba dicari dulu, Neng. Siapa tahu helmnya ada yang taruh ke motor lain. Saya mau ke belakang dulu ya, udah kebelet. Permisi, Neng." Pelangi mendesah. "Benar-benar nggak ada habisnya masalah aku, selalu aja ada orang jahat. Kenapa nggak bisa diam sebentar aja biar aku bahagia dan tenang?" gumamanya sembari mencari-cari helm di area parkiran tersebut. Di sana hanya terdapat beberapa motor, tidak terlalu banyak. Tetap saja tidak ada helmnya, padahal Pelangi beli helm kesayangannya itu penuh berjuangan sekali. Hasil uang tabungannya dari menyisihkan sebagian uang belanja. Pelangi sadar dia menumpang hidup dengan Nenek Mariya, harus tahu diri bukan? Untung Pelangi masih dikasih uang jajan, tidak enak hati jika haris minta-minta yang lebih. "Kak, nyari helm?" Seorang gadis menegur Pelangi duluan, dia terlihat pendiam dan kutu buku dari penampilannya. "Iya, kamu lihat?" "Tadi dibuang sama Kak Ralina setelah dirusak, coba Kakak lihat di bak sampah sana." Pelangi membulatkan mata, segera melangkah ke arah bak sampah yang dimaksud. Dan benar saja, helm mint kesayangannya sudah hancur. Sama sekali tidak bisa dipakai lagi. "Ya Tuhan, helm kesayangan aku." Mau tidak mau, Pelangi kembali menangis. Persetann dengan dia dikatai cengeng atau lemah, ini sudah benar-benar keterlaluan. "Kak, sabar ya." "Iya, makasih ya. Aku mau pulang dulu, soalnya lagi cepat-cepat." Pelangi menoleh sekitar, sebelum akhirnya beranjak dari sana. Sudah kejadian seperti ini, apa dia diharuskan sabar lebih banyak? "Pak, titip motornya ya. Saya mau pulang naik taksi saja." "Kak Pelangi!" Abella melambaikan tangannya, segera menghampiri Pelangi yang masih basah matanya. "Loh, Kakak kenapa? Ngomong-ngomong, kebetulan banget kita ketemu pagi ini." "Nggak pa-pa." Berusaha memperlihatkan senyum, setelah itu datanglah Chiara dan Angelina. "Ih, ban motor kamu kenapa?" Pelangi menaikkan bahu. "Ralina yang bikin. Soalnya helm aku juga dirusakin, udah jadi sampah." Mengusap kembali air matanya. Nyesak sekali rasanya, sampai tidak bisa berkata-kat. Entah bagaimana menggangi helmnya, sementara Pelangi memerlukan uang banyak untuk skripsian dan wisuda nanti. Uang tabungannya tidak banyak, Pelangi sudah berusaha irit dan menahan napsunya untuk nyemil dan berbelanja kebutuhan yang sekiranya tidak terlalu penting. Angela memekik kaget. "Seriusan?" Pelangi mengangguk. "Kita datengin Ralina sekarang. Sumpah berani banget dia giniin manusia!" Puncak kemarahannya pada Ralina semakin menjadi-jadi. "Astaga, nggak usah. Nggak perlu, nanti jadi masalah yang lebih besar." Pelangi langsung menarik tangan Angela, melarang gadis itu membuat keributan lebih banyak. Tuhan, Pelangi sudah begitu malu sebab setiap hari selalu ada saja masalah tentangnya. Yang tidak ada, sengaja diada-ada dan dilebihkan. Satu saja permintaan Pelangi sekarang, semoga dia cepat lulus dan keluar dari kampus. Dia malu sekali, sampai tidak tahu harus menutupi wajahnya pakai apa agar orang-orang tidak mengenalinya. Bukannya menurut, Angela malah balik mencekal tangan Pelangi. Menarik gadis itu agar mengikuti langkahannya mencari Ralina. Abella dan Chiara hanya menganga seperti orang bego, tapi mendukung cara Angela yang terlampau berani. "Maki dan beri balasan setimpal, Kak Angel. Biar Ralina itu tahu rasa!" Abella mengompori, Chiara menyikut lengannya menyuruh diam dan tidak banyak bicara dulu. "Hei, hei ... mau ke mana kalian?" Zionathan tidak sengaja berpapasan dengan mereka berempat, tapi Angela sama sekali tidak memedulikan. Masih menarik Pelangi untuk ikut dengannya menuju kantin--tempat biasa Ralina dan teman-temannya ngumpul. "Kak Angela mau berantem. Ayo ikut, Bang!" Abella menarik kemeja Zionathan, menyuruh lelaki itu mengikuti mereka. "Apa? Siapa yang berantem?" "Kak Pelangi, Kak Angela, dan Ralina." Chiara menaikkan bahu. Takut melihat marahnya Angela, tapi sedikit kagum juga. Angela memang keras orangnya, siap menghajar siapa pun yang berani mengusir hidupnya. Zionathan melangkah duluan untuk mengejar, hanya saja Abella menghalangi. "Abang jangan gagalin, biar aja berantem. Aku juga gedek sama sikap Ralina, dia emang keterlaluan. Biarin dia dihajar sama Kak Angela." "Abel! Apa-apaan kamu?" "Ih, bener tau, Bang." Chiara ikutan menyahut dengan bibir dimajukan. Belum sempat Zionathan mencegah, meja kantin sudah dipukul keras oleh Angela Almeer. Membuat seisi kantin menatap ke arahnya, termasuk Ifander yang sedang mengerjakan tugas di meja paling ujung. Awalnya tidak mau ambil pusing, tapi setelah mengetahui itu adiknya, Ifander langsung tancap gas menghampiri--melupakan laptop dan semua barang-barangnya untuk merelai. "Sialann lo ya, Ralina!" Angela langsung menjambak Ralina tanpa basa-basi, membuat gadis itu memekik kesakitan. Berusaha balas menjambak, hanya saja Zionathan dan Ifander segera memisah mereka. "Angel, Angel. Ada apa? Kenapa harus berantem begini? Malu dilihat banyak orang, nggak sopan banget." Angela melepaskan pelukan Ifander, mendesah kesal. "Dia keterlaluan. Dia sudah terlalu jahat sama orang, Bang. Seenaknya dia memperlakukan Kak Pelangi seolah dia bukan manusia!" Menunjuk Ralina tajam, siap menyerang lagi kalau saja Ifander tidak sigap mendekap. Pelangi yang punya masalah seketika kehabisan akal. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain diam dengan wajah memucat, kaget. "Gue nggak ada urusan sama lo!" Ralina balas meneriaki Angela. Zionathan berdiri di hadapan Ralina untuk memberikan peringatan, berhenti membuat kegaduhan. "Abang aku nggak bakal mau sama cewek jahat kayak kamu!" Angela mendengkus. "Nggak bakal aku restuin kamu sama Abang, kamu nggak pantes buat Abang aku." Zionathan menyuruh Ifander membawa Angela keluar dari kantin, sementara dirinya membawa Pelangi menjauh dari sana. "Abella, Chiara. Bukannya kalian ada kelas jam sembilan ini? Cepat masuk kelas, jangan ikut-ikutan." Sebelum pergi, Abella menatap Ralina duluan. "Mampus!" Sambil memeletkan lidah, lantas beranjak dari sana dengan senyuman jahat. Abella puas sekali dengan apa yang Angela lakukan, malah terkesan kurang greget baginya. Konyol! Pelangi menangis, tubuhnya bergemetar ketakutan. Pasti Ralina semakin mengibarkan bendera permusuhan padanya. Lagi-lagi masalah ini disebabkan oleh Pelangi. Tidak lama setelah ini, mereka pasti akan dipanggil ke ruangan rektor untuk diberik teguran tegas. "Kenapa lagi, Pelangi?" Pelangi menggeleng. "A-aku mau pulang saja. Nenek sudah menunggu di rumah." "Gue tanya, jawab dulu." "Ralina kempesin ban motor aku. Terus helm kesayangan aku juga dihancurin. Awalnya aku nggak pengen masalah ini berlanjut lebih jauh, tapi Angel keduluan marah. Aku sudah berusaha menghalangi niatnya, tapi nggak bisa. Aku salah lagi, aku emang sumber kekacauan. Maaf!" Menundukkan kepalanya dalam-dalam, menangis sesegukan. Zionathan memijat pelipisnya. "Gue antar pulang!" Memegangi lengan Pelangi, menyuruh gadis itu masuk ke dalam mobilnya. "Nanti tukang bengkel yang ambil motor lo ke sini, jangan khawatir." Pelangi hanya bisa diam dan mengiyakan. Masih sesegukan dan memilih diam. Kapan pesakitannya berakhir? Pelangi benar-benar lelah. "Kenapa lagi jadi Ralina marah?" "Aku nggak tau." "Aneh." "Semua tentang aku emang selalu salah di mata orang lain. Jadi udah nggak kaget lagi." Zionathan menghela napas, nanti akan dia tanyakan pada Abella. Apakah ada kabar terbaru lagi yang buat Ralina semarah itu? Sungguh, dia ketinggalan kabar sejauh ini akibat tidak memedulikan orang-orang sekitarnya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD