7. Keluarga Lidwix dan Almeer

1910 Words
"Kenapa wajah kamu, Ralin?" Dewa Lidwix mengernyit kebingungan melihat kening putrinya ada luka gores yang nampaknya baru saja habis diobati. Sejak tadi sore Dewa berada di ruang kerja, menyelesaikan sisa pekerjaan tadi siang. Dia kelihatan lelah, pusing juga. Ralina menghela napas panjang. "Dicakar kucing, Ayah. Tadi aku main sama Mumu, dia kesal soalnya aku pukul-pukul terus kakinya." Sambil terkekeh kecil, menyuruh Dewa duduk di sampingnya. "Ayah baru dari luar kota minggu kemarin, tapi kok mau berangkat lagi. Aku sendirian di rumah, kesepian terus." Dewa mengecup puncak kepala Ralina. "Setelah minggu ini, Ayah tidak ke mana-mana lagi sampai bulan depan. Ini yang terakhir di bulan ini sampai bulan yang akan datang. Maaf karena waktu Ayah sering habis dengan pekerjaan ya, kamu pinter-pinter di rumah dan di luar--terutama di kampus. Jangan lagi membuat keributan, Ayah yakin kamu anak yang baik." Tersenyum hangat, memeluk tulus penuh kasih sayang. "Ayah ke luar kotanya nggak lama kan? Aku bosan sendirian terus di rumah, makan juga nggak ada temannya." "Ada Bibi Minah, Sayang. Maaf belum bisa menjadi yang terbaik dan selalu ada buat kamu ya." Ralina menghela napas berat. "Kangen berisiknya Bunda, biasanya dia yang selalu marahin aku kalau aku banyak tingkah. Jangan menikah lagi, aku nggak akan pernah siap kehilangan Ayah dan berbagi dengan orang lain. Aku takut Ayah nggak sayang aku lagi." Dan ya, Dewa sekarang menjadi seorang duda setelah kehilangan istrinya dua tahun silam. Wanita itu sama sekali tidak terlihat sakit, meninggalnya pun mendadak akibat serangan jantung di waktu subuh. Kalau Dewa berangkat ke luar kota, Ralina memang sering mengeluh kesepian, dia hanya bersama Bibi Minah di kediaman Lidwix yang besar ini. Sementara Oma dan orangtua Dewa juga sudah meninggal jauh lebih dulu, sudah lama sekali waktu Ralina masih kecil. Terdengar kekehan dari Dewa, mengusap lengan putrinya gemas sekali. "Ayah tidak akan menikah lagi, ada Ralina saja di sisi Ayah sudah cukup sekali." Dewa paham bagaimana ketakutan Ralina saat dia mempunyai Mama dan saudara tiri. Mau tidak mau, kasih sayang dan perhatian itu pasti terbagi-bagi. Ralina sangat tidak siap kelihatan apa pun pada diri Ayahnya. Sudah cukup dia kehilangan sosok seorang ibu, jangan dengan mengambil ayahnya juga. "Ralina pinter-pinter ya, Sayang. Bunda pasti sangat bangga memiliki kamu, dia senang karena kamu tumbuh menjadi anak yang hebat." Beginilah sosok Ralina saat di hadapan Ayahnya, manja, hangat, dan penuh cinta. Tapi entah kenapa saat berada di luar, dia seolah membentengi diri dan menjelma menjadi sosok yang begitu berbeda. Sewaktu Dewa di panggil ke kampus untuk menyelesaikan masalah Ralina, pria itu sangat terkejut dan tidak menyangka putrinya melakukan pembulyan pada gadis lain--Pelangi. Sempat marah dan kecewa, hanya saja yang namanya orangtua pasti tidak tega menghukum diam anaknya terlalu lama. Ralina sudah meminta maaf, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. "Terima kasih Ayah, maaf belum menjadi anak yang baik ya. Aku masih banyak kurangnya. Suka ngeyelan, keras kepala, pemarah, sulit banget dibilangi." "Tidak masalah, nanti kita sama-sama belajar lagi. Yang penting kamu sudah paham mana yang baik dan buruk. Mengerti apa yang harus kamu lakukan, mana yang tidak perlu kamu lakukan. Jangan sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Harus bisa menempatkan diri di tengah-tengah, tidak haus untuk dihormati dan tidak juga suka rela untuk direndahkan keberadaannya. Kamu berharga, begitu pun dengan orang lain. Kita sama-sama manusia di dunia ini, memiliki kekurangan masing-masing." Ralina terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Iya, Ayah. Aku paham." Jangan sampai Dewa tahu jika tadi siang Ralina baru saja bertengkar dengan Angela Almeer. Dewa akan merasa gagal kembali mendidik dan merawat Ralina, gadis itu tidak kuasa menyakiti perasaan ayahnya. "Maaf kalau aku selalu bikin Ayah nggak tenang." "Tidak masalah, Sayang. Yang penting kamu terus belajar menjadi yang terbaik ya. Tidak rugi menjadi orang baik, kamu akan disayangi dan dikelilingi orang-orang baik juga. Hidup maupun hati kamu akan jauh lebih tenang, tidur pun jadi nyenyak." "Ayah benar. Tapi aku emosian, kayaknya aku ketularan Bunda." Dewa tertawa, mencubit gemas ujung hidung Ralina. "Bunda kamu nggak pemarah loh, dia paling cuman kesal karena kamu sulit dibilangi. Atau bisa juga karena Papa gilaa bekerja. Bunda kamu itu baik sekali orangnya, Sayang, makanya Ayah sampai tidak bisa berpaling. Istri dan Bunda terbaik." "Bener, aku nggak pernah dipukul Bunda. Tapi loh Ayah, aku pernah dicubit Bunda di paha. Sakit banget sampai aku mau nangis. Waktu pas acara kantor Ayah, aku kan bosan, mau pulang. Eh Bunda marah." "Kamu sih dibilangi tidak mau mengerti. Maksud Bunda itu, sabar dulu. Masa iya acara baru saja di mulai kamu sudah merengek bilang mengantuk dan mau pulang. Padahal di sana banyak teman-teman Bunda dan Ayah." "Iya sih, aku kelelahan di sekolah waktu itu. Beneran ngantuk, terus bosan juga liat orang banyak." Dewa mengusap puncak kepala Ralina. "Bunda tidak marah, mungkin kelupaan nyubit. Kamu sih gemesin banget." Ralina terkikik geli. "Aku mau makan mie malam ini boleh, Yah? Udah lama nih nggak makan mie pakai telur, kepengen." "Berapa bungkus?" "Dua, kalau satu nggak kenyang." "Ya sudah kalau gitu, nanti setelah ini bulan depan baru boleh makan mie lagi ya?" Ralina mengangguk cepat dan kembali memeluk Dewa dengan sayang. "Jangan berantem lagi di kampus kalau Ayah berangkat ke luar kota ya?" "Iya, Ayah." "Anak pintar." Mengecup kening Ralina. "Iya dong, kan anak Ayah!" Memeletkan lidahnya, tertawa geli. **** Angela Almeer menatap sinis Abangnya. "Dasar tukang ngadu, aku pukul ya nanti Abang!" Memberengut masam, berdecak kesal sekali melihat wajah Ifander. Malam ini Angela di suruh mendatangi Kenan dan Natasya di kamar setelah makan bersama. Apalagi yang mereka bicarakan jika bukan soal pertengkarannya tadi siang bersama Ralina? Angela kesal, harusnya Ifander tidak perlu mengadu. Pasti ujung-ujungnya Angela yang salah, padahal niat dia memang mau membela dan memberikan rasa jera untuk Ralina. Kebiasaan selalu menindas manusia lain, mulutnya memang minta diratakan! "Kalau mau bar-bar, sana di jalanan. Kamu ke kampus untuk belajar, biar jadi pinter. Bukan malah adu bogeman dan cakar-cakaran. Pakai baju sobek-sobek, udah persis preman kamu." Ifander menaikkan bahu, menguap burgernya dengan lahap. Dia asik menonton televisi di ruang keluarga sambil nyemil. "Sana gih ke kamar Mama, kamu sudah ditunggu buat diceramahin." "Ngeselin!" Melempar bantal sofa mengenai wajah Ifander, membuat ekspresi lelaki itu berubah jengkel. Sebelum Angela kena omelan lagi, segera dia berlari dan menghilang di balik tembok. Tawanya terdengar begitu jelas, membuat Ifander mendengkus tidak terima. Hampir saja burger kesukaannya melayang ke lantai. Itu burger gratis dari Ratih, rasanya jauh lebih nikmat. Biasanya beli dengan yang gratisan memang beda rasanya, kan? Serba gratisan bikin candu, tapi mengakibatkan rasa tidak tahu diri. Sering sekali Ifander mampir ke restoran Ratih, kemudian pulangnya selalu menenteng makanan gratis. Penjaga kasirnya begitu hapal, dia selalu menolak jika Ifander akan membayar. Tapi hal ini tidak terjadi setiap hari, kadang Ifander selipkan uangnya secara paksa. Dia cukup tahu diri, suer deh! Kalau kata Ratih, "Ambil saja makanan yang kamu mau, asal jangan ambil alih restorannya. Bahaya!" Sebelum masuk ke kamar orangtuanya, Angela terlebih dulu menghela napas, memegangi permukaan dadanyaa. Biasanya kalau masalah berantem, Kenan selalu tidak setuju. Apalagi mengingat Angela perempuan. Katanya jika bisa diselesaikan secara baik-baik, maka ambil jalan itu. "Malam, Pa, Ma." Angela menyengir kuda tanpa berdosa. Kenan dan Natasya sedang menonton, mungkin sambil mengobrolkan sesuatu juga. Sepertinya mereka berdua sudah siap menyidang Angela, terlihat dari mimik wajahnya. Kenan menatap Angela beberapa saat, menghela napas lelah. "Ada apa lagi, Angel?" tanyanya dengan nada rendah. Sama sekali tidak terdengar tinggi dan penuh amarah. Natasya juga menatap kepadanya, tapi jauh lebih santai. Yang begitu bersahabat dengan Angela adalah Natasya, sebab watak mereka tidak berbeda jauh. Angela menggaruk pelipisnya. "Aku berantem." Menaikkan bahu. Tidak perlu berbohong lagi, pasti Ifander juga sudah mengatakan semuanya. "Sama Ralina, anak Om Dewa Lidwix. Papa kenal kan?" "Loh, kok bisa berantem sama Ralina? Dia masih muda daripada kamu loh, Angel. Jangan diajak berantem anak orang, kebiasaan bar-bar kayak Mama nih. Takut orang sama kamu, Angel." Natasya melototkan matanya ketika dia dibawa-bawa, kemudian mencubit paha Kenan sampai pria itu mengaduh kesakitan. "Enak aja nyebut-nyebut aku." Kenan hanya terkekeh tidak berani berbuat banyak. Bahaya jika sampai Natasya mengamuk bukan? "Ralina itu jahat!" Kenan dan Natasya terkesiap. "Beneran, aku nggak bohong. Ralina loh maki-maki salah satu teman aku di kampus, cuman gara-gara Pelangi anak mantan p*****r. Dipermaluin satu kampus secara berulang-ulang, dia juga kok yang nyebarin info ini biar semua orang tau dan benci Pelangi. Padahal ibu Pelangi sudah meninggal, Pa, masih aja dibawa-bawa kerjaan masalalunya. Menurut aku ini nggak adil banget, Pelangi itu anak yang cerdas dan baik. Dia berprestasi kok, nggak pernah bikin kegaduhan andai yang busuk hati diam." Kenan menganga. "Iyakah? Papa liat dia anak yang baik dan hangat, sama orangtua dia sopan banget. Pernah ketemu sama Papa di pameran lukisan waktu itu, sempat mengobrol dengan Papa juga." "Ih enggak, dia mah busuk hati. Tadi aja aku serang karena sikap dia udah kelewatan. Bocorin ban motor dan rusakin helm Pelangi sampai nggak bisa dipakai lagi. Bayangin aja, Pa, Pelangi itu bukan dari keluarga berada. Dia masuk kampus juga lewat jalur prestasi. Mikir nggak dia beli helm lagi pakai uang apa? Pasti ngotek tabungan lagi kan? Padahal dia butuh uang untuk skripsi dan wisuda nanti." "Kok bisa? Papa sampai kaget dengarnya." Masih tidak percaya, kening Kenan mengerut dalam. "Aku juga nggak nyangka, dia berubah total kalau jauh dari Ayahnya. Benarkan?" Kenan mengangguk, lalu menaikkan bahu kebingungan. "Menurut Mama nih, salah nggak aku nyerang dia? Mulutnya udah kelewatan, Ma." "Mama sih yes!" Natasya mengangguk, mengacungkan jempol. "Andai Mama yang ada di posisi kamu, mungkin sudah masuk rumah sakit si Ralina. Mama kalau ngehajar orang, nggak pernah setengah-setengah. Langsung habis tanpa ampun!" Kenan memicing. "Tasya, kenapa bicara gitu di depan Angel? Kamu mau anak kita jadi preman?" "Eh, bukan gitu. Itu sedikit bercerita aja. Misal, Mas, contohnya saja." Lantas berkilah cepat, mengalah sebelum Kenan marah. "Lain kali jangan berantem lagi, apa pun permasalahannya. Tetap nggak baik, apalagi di depan anak-anak yang lain. Kamu loh anak perempuan, yang kalem sedikit." "Aku gedek, gatal kaki dan tanganku kalau nggak ngehajar orang-orang busuk hati. Pengen aku lenyapin gitu dari dunia ini." "Huts, Angela!" Kenan segera membantah kalimat tidak benar itu, sementara Natasya malah tertawa cekikikan. "Kenapa ketawa, Natasya Almeer?" "Ah, tidak. Aku lagi nonton, itu lucu." Dia berbohong, padahal memang geli dengan ucapan putrinya yang begitu pemberani, persis copyan dirinya. "Jangan ngomong kayak gitu lagi, Angela. Dengar kata Papa kan?" Angela akhirnya menghela napas pasrah, mengangguk mengiyakannya. "Papa tidak mau lagi mendengar kamu bertengkar, sudah terlalu bosan. Jangan sampai Papa dipanggil ya, Papa jewer telinga kamu." "Anak aku, aku yang lahirin jangan asal jewer. Biarin dia jadi pemberani, orang jahat emang harus dikasih pelajaran kan? Biar lekas kapok." "Bener!" Angela tersenyum lebar, setuju dengan ucapan Natasya. Keduanya kemudian high five, tos ala anak dan ibu. "Emang cuman Mama yang paling ngerti aku." Memeluk Natasya, mengecup pipi ibunya. Kenan menghela napas kasar, memijat kening. "Masalah satu belum beres, eh muncul masalah baru. Bukannya ditegur anaknya mau jadi preman, ini malah didukung. Pusing, kalian emang sama ajarannya!" Natasya mengabaikan Kenan, mengusap puncak kepala Angela. "Selagi untuk kebaikan, lakukanlah, Sayang. Gih istirahat ke kamar, besok bangunnya jangan terlambat, kita sarapan bareng." Angela mengangguk cepat, segera berlalu setelah mengucapkan selamat malam dengan ceria. "Ajaran kamu sesat ih!" Kenan mendengkus, memalingkan wajah kesal. "Enggak, bener kok." "Keras kepala." "Nggak pa-pa, buktinya kamu tetap sayang banget sama aku kan?" Kenan memutar bola mata malas, "Benar juga sih." Terdengar pasrah dan mengalah. Memangnya apalagi yang harus Kenan lakukan selain daripada itu? Nanti Natasya tambah marah, lagi-lagi dia yang diabaikan. **** Apa cerita ini cukup penuh kejutan? Hihi, semoga feelnya sampai ke hati kalian ya. Ambil yang baiknya, buang yang buruknya. Sampai bertemu besok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD