"Si anaknya pelacurr mulai menunjukkan siapa dirinya!" Seseorang yang Pelangi tidak tahu siapa dia, mulai muncul dan mendatanginya bersama teman-teman yang lain. Pelangi baru saja dari ruangan dosen untuk mengurus beberapa hal sebelum menyusun krispsi nanti. Tidak ada yang dia lakukan di dalam sana selain berbicara soal kepentingan tugas akhirnya di sementer ini.
"Berani-beraninya lo deketin Ifander dan Zionathan sekaligus. Pakai pelet apa, huh?" sindir salah seorang cewek berbadan tinggi semampai, tubuhnya begitu apik bak seorang model terkenal. Senyumannya terlihat sinis, apalagi ditambah tatapan tajam persis peran antagonis seperti di sebuah drama. Kedua tangan dengan kulit kuning langsat itu terlipat di depan dadaa, gerakan bibirnya seolah mencemooh Pelangi. "Modelan lo begini kok bisa-bisanya diajak pulang bareng? Najiss, lo kan anaknya pelacurr!"
Tatapan Pelangi menyendu. Hatinya benar-benar tidak terima ibunya dikatai seperti ini. Ingin melawan, tapi nanti dia tambah dibully. Diam dan berusaha bersikap tidak peduli saja kelakuan mereka tidak berujung, bagaimana jika Pelangi berontak? Semua orang akan semakin membenci, bahkan bisa saja Pelangi dikeluarkan dari kampus bukan?
"Aku nggak berusaha mendekati Ifander atau Zionathan. Kemarin hanya dalam keadaan mendesak. Kalau aja nggak hujan lebat, aku nggak bakal diberi tumpangan. Langit sudah mau menggelap, kebetulan Zionathan kemarin baru selesai menghadap dosen untuk mengumpulkan tugas. Kami juga tetangga, jadi wajar saja jika Zionathan menawarkan tumpangan."
Gadis itu menganga, berdecak murka. "Apa, lo sama Zio tetanggaan?" Pelangi mengangguk polos sekali, membuat ketiga gadis itu semakin gedek dan ingin menghajar Pelangi. "Jangan gatel lo ya! Ifander dan Zionathan itu nggak pantes buat cewek murahann kayak lo. Beda kelas, bagaikan langit dan bumi."
"Aku tahu, aku juga nggak berniat suka sama mereka."
"Awas aja sekali lagi lo mau diajak pulang, gue jedotin kepala lo ke tiang koridor ini biar benjol sekalian. Punya otak itu dipakai, nggak usah kesenangan diajak pulang cowok paling populer di kampus. Mereka cuman nggak tega, alias kasihan dengan nasib lo yang sebatang kara. Untung ibu lo sudah meninggal--lumayan mengurangi racun dunia. Hidupnya penuh dosa, syukur nggak kena penyakit mematikan akibat gonta-ganti pasangan. Jijay, nggak sudi banget deket-deket sama lo!"
"Cukup! Ibu aku nggak sejahat dan semenjijikan itu. Dia baik, kalian hanya nggak tau saja!" Kedua tangan Pelangi terkepal erat, siap menghajar kalau omongan gadis itu jauh lebih sembarangan.
"Baik? Oh wajar sih lo ngebelain, kan lo sama dia sama aja. Sama-sama pelacurr!" Memutar bola mata puas mengatai Pelangi. Sama sekali tidak merasa bersalah, malah bangga sudah berhasil meluapkan kekesalannya pada Pelangi. Belum selesai kabar Pelangi bersama Ifander, kini kembali hadir kabar lain bersama Zionathan. Besok-besok sama siapa lagi? Agam dan Agler? Cih, pelet pelacurr rupanya begitu ampuh menjinakkan manusia--pikir mereka semua yang julit.
Pelangi mengangkat tangannya, berniat memberikan pukulan. Hanya saja urung ketika ada yang menahan tangannya dengan sigap. Tidak mengatakan apa pun, Zionathan menarik Pelangi agar mengikuti langkahannya.
"Lepasin!" Pelangi berontak tidak ingin disentuh oleh Zionathan, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Cukup, aku udah nggak mau lagi. Kenapa sih kamu pakai acara datang? Aku nggak perlu dikasihani. Aku bisa mengatasi masalahku sendirian, kamu nggak perlu melakukan apa pun yang ujungnya buat aku tambah susah." Air mata sudah mengalir deras, bibirnya bergetar jengkel sekali.
"Kenapa bawa aku ke sini? Nanti semua orang tambah bilang yang enggak-enggak. Aku nggak mau deket-deket kalian, aku nggak berniat suka sama kalian. Aku cukup tahu diri, jadi jangan lagi saling bersinggungan!" Pelangi melepaskan cekalan Zionathan, berniat segera melenggang pergi.
"Hapus air mata lo!" Memberikan sapu tangan yang kemarin, meletakkan pada telapak tangan Pelangi.
"Nggak, aku nggak mau!" Pelangi menolak, menyembunyikan tangannya ke punggung. "Jangan deket-deket aku, aku menjijikan. Nggak usah saling bersinggungan, aku sudah nggak mau lagi jadi bahan pembicaraan orang-orang."
"Hapus dulu."
Pelangi memalingkan wajah. "Lepasin tangan aku, a-aku mau pulang!" Berusaha mengusap air matanya, sesegukan kencang merasakan jika dasanya teramat sesak. "Kenapa orang-orang sangat tidak adil? Aku nggak suka diginiin, aku nggak pernah mengganggu mereka!"
Zionathan diam, memilih mendengarkan saja luapan kekesalan Pelangi. Tangannya masih mencekal erat.
"Apa aku yang terlahir dari rahim pelacurr tidak berhak hidup ke dunia ini? Apa aku tidak berhak bahagia dan memiliki kehidupan yang tenang? Andai aku bisa memilih, aku juga tidak ingin berada dalam keadaan yang begini. Sejak dulu aku berusaha bertahan dan mengabaikan, tapi semakin dewasa seseorang, semakin tidak memiliki hati. Mereka menghina ibuku terus-terusan. Aku tahu pekerjaan ibu memang menjijikan, salah, dan dimurkai Tuhan. Tapi dia baik, kalian tidak tahu seberapa hebat dia membesarkanku hingga sekarang!"
"Lepasin, aku mau pulang!" Berusaha melepaskan cekalan Zionathan, tapi tidak bisa. "Sebenarnya kalian yang bersikap demikianlah yang memuakkan. Kalian tidak pernah memperakukanku seperti layaknya manusia yang memiliki hati. Aku terluka, aku juga ingin hidup normal tanpa adanya latar belakang yang rumit. T-tapi, tapi aku bukan Tuhan dengan segala kesempurnaan. Lalu kenapa kalian mencaci maki terus?"
Pelangi memukul dadaa Zionathan dengan tangan kirinya. Kali ini dia benar-benar malu, kesabarannya benar-benar diuji sejak tadi pagi hanya karena pulang bersama Zionathan kemarin sore. Apa ini adil untuknya? Tentu saja tidak. Bukan Pelangi yang mengemis dikasihani, Zionathan sendiri yang memaksanya ikut pulang bersama. Andai Zionathan tidak memaksa, Pelangi juga tidak berniat ikut. Dia tahu diri, sudah sering Pelangi katakan seperti itu.
"Sudah?" Zionathan menaikkan alis, melihat wajah Pelangi yang sudah memerah dengan seksama. "Lemah!" katanya begitu menohok.
"Aku punya hati, ada kalanya aku ingin menangis karena memang sudah tidak bisa ditahan."
"Itu cara terbaik?"
"Iya!"
"Lakukan di rumah saat lo sendirian. Sikap lo di depan orang banyak seperti tadi tidak membuat lo menang."
Pelangi menganga. "Siapa yang ingin menang? Aku sedang tidak berkompetisi, aku hanya kesal. Mereka selalu menghina ibuku. Aku tidak akan terima itu. Ibuku sudah meninggal, sudah tenang di surga. Jangan lagi diungkit-ungkit kisah masa lalunya. Kita semua tidak ada yang luput dari dosa--punya kesalahan masing-masing. Tapi kenapa hanya aku yang terlihat selalu direndahkan? Ada dendam apa mereka sama aku, aku lelah juga!"
"Kita tidak bisa menghilangkan sifat dan pemikiran buruk orang-orang. Perbaiki diri, kelola emosi, dan tunjukkan jika kualitas diri lo lebih baik dari mereka. Siapa pun yang menghujat, tidak ada yang lebih tinggi derajatnya dari elo."
"Lo punya dua tangan. Jika tidak bisa menutup mulut semua orang yang berkata buruk, cukup gunakan tangan itu untuk menutup telinga lo sendiri. Jangan dengarkan, fokus pada apa yang ingin lo capai." Pelangi menunduk lemas, masih sesegukan merasa bersalah. "Tidak perlu terpancing, mereka akan semakin senang mencari kelemahan. Lo tahu mereka tidak peduli, termasuk dengan kondisi hati. Apa pun yang kita rasakan, bukan masalah mereka. Semakin lo terpuruk, apalagi sampai menghilang dari dunia, kemenangan ada pada mereka seutuhnya. Emang itu kan yang mereka mau?"
"Aku kesal!"
"Gue tahu."
"Dari dulu selalu kayak gitu, nggak pernah mah berhanti. Dari kesalahan A sampai Z selalu diputar ulang, ibu aku bakal sedih di alam sana. Aku tahu dia salah, tapi tidak begini caranya menghakimi manusia. Mereka bukan makluk paling suci, kenapa harus saling menjatuhkan?"
"Tidak perlu memikirkan sesuatu yang lo sendiri tidak tahu jawabannya. Buang-buang waktu."
"Lepasin!" Pelangi berhasil melepaskan tangannya dari cekalan Zionathan, menyembunyikan di balik tubuh. "Ini bakal jadi berita hangat lagi, kamu nolongin aku. Lain kali nggak perlu, aku nggak butuh siapa pun."
"Andai gue telat datang, lo bakal dimaki habis-habisan karena berani nampar Lily di kampus. Dia lumayan berkuasa di sini."
"Kenapa orang-orang seperti kalian bisanya selalu merendahkan?"
"Gue?"
"Maksudnya mereka-mereka yang selalu menyudutkan manusia."
"Jangan tanya sama gue."
Pelangi mendesah. "Aku mau pulang, jangan ikutin aku!"
Zionathan diam saja, tidak menyahuti lagi. Pelangi balik kanan, segera melangkah menuju area parkir lewat halaman samping. Zionathan mengusap kening, pusing melihat sifat dan sikap manusia yang kadang tidak masuk akal sehat.
Ingin dimanusiakan, tapi lupa bagaimana caranya memanusiakan orang lain. Itulah yang namanya egois!
****
Zionathan menepikan mobilnya ke kiri, kemudian membuka kaca mobilnya. "Ngapain berhenti tengah jalan?"
"Kehabisan bensin." Pelangi mengerucutkan bibir. Mereka sedang berada di jalan tol yang sama sekali tidak ada penjual bensin di daerah sana. Pengguna jalan terpaksa harus mengeliling sedikit lebih jauh karena jembatan di jalan kota sedang diperbaiki. Pelangi sudah mendorong motor maticnya mencari bensin, hanya saja belum ketemu juga.
"Diam di sini, gue carikan dulu ke depan sana."
Pelangi mengangguk saja pada akhirnya. Dan lagi, dia memerlukan bantuan Zionathan. Pelangi sudah lelah sekali mendorong motornya di bawah terik matahari yang benar-benar panas. Andai tidak mengenakan sarung tangan, Pelangi yakin kulitnya pasti terbakar.
Tidak lama setelah Zionathan melaju, kini mobil mewah dengan warna berbeda juga menepi. Sosok pria gagah dan jangkung menghampiri Pelangi. "Lo kenapa?" tanyanya mengerutnya kening.
"Kehabisan bensin." Lelaki itu Ifander. Entah kebetulan atau bagaimana, dia dan Zionathan menanyakan keadaan Pelangi hanya selang beberapa menit. Perasaan baru saja mobil Zionathan menghilang dari pandangannya.
"Gue carikan bensin."
"Eh, jangan. Nggak usah. Tadi Zio baru aja nyarikan bensinnya. Nggak lama setelah dia berangkat, Bang Ifander yang datang."
Ifander menaikkan sebelah alis. "Tumben dia rajin bantuin orang."
Pelangi menatap Ifander, lelaki itu mengenakan kacamata hitam. Wajahnya terlihat bersahabat sekali, senyumnya begitu manis. Ifander dan Zionathan memiliki kelebihannya masing-masing yang sejak dulu selalu digemari kaum hawa di kampus. "Iya, Bang."
"Ya sudah ayo masuk dulu ke mobil, lagi panas banget mataharinya."
"Eh, nggak pa-pa, nggak usah repot-repot, Bang. A-aku di sini aja." Jika Ralina melihat Pelangi bersama Ifander lagi, gadis itu paling depan yang akan menghajar Pelangi. Dia tidak ingin bermasalah lagi, sudah terlalu lelah.
Ifander menghela napas berat. "Lo takut dibully lagi? Udah, nggak udah dipikirin. Biar mereka capek sendiri, ayo masuk dulu. Jangan sok rajin lo panas-panasan, nanti terbakar kulitnya." Tidak membiarkan Pelangi menolak, Ifander menarik gadis itu agar ikut dengannya. Kulit tangan Pelangi sudah memerah, begitu pun dengan wajahnya. Di sana sama sekali tidak ada tempat berteduh, langsung kena sengatan matahari.
Pelangi tersenyum pada Ifander, sudah duduk nyaman di dalam mobil yang dingin.
"Lihat tangan lo, merah. Ini sampai rumah pasti belang."
Pelangi hanya bisa terkekeh. "Nggak pa-pa. Udah biasa kok pakai motor panas-panas. Tangan aku juga usah belang."
"Lo tetanggaan kan katanya sama Zio?" Pelangi mengangguk. "Nebeng aja sama dia, mayan nggak panas-panasan."
"Eh, nggak usah. Aku nggak mau bikin heboh lagi. Lagian kita cuman sebentar bolak-balik kampus secara rutin kayak gini, setelahnya udah sibuk ngurusin skripsi kan?"
"Udah beres dengan tema yang mau kamu angkat dalam penelitian nanti?"
Pelangi tersenyum ceria, mengangguk semangat. "Sudah. Aku sudah membuat konsep untuk itu semua, tinggal pengerjaannya. Semoga nanti lancar, aku akan berusaha semaksimal mungkin biar nanti hasil akhirnya nggak ngecewain."
Ifander menepuk-nepuk puncak kepala Pelangi. "Anak pintar. Lanjutkan, lo memang selalu bersemangat dalam hal apa pun. Jangan biarkan orang lain mematahkan kaki lo untuk melangkah, jangan biarkan mereka merobohkan niat baik lo, dan jangan biarkan mereka menghancurkan harapan yang ingin lo gapai. Biarin aja semua orang berkata apa saja, anggap itu semua sebagai undakan tangga yang membuat kamu semakin tinggi. Memang nggak ada yang mudah hidup di dunia, pasti ada aja tanjakannya."
"Iya, Bang. Terima kasih." Zionathan datang, Pelangi segera keluar dari mobil Ifander. "Makasih udah nyariin bensinnya, Zio." Mengambil beberapa lembar uang untuk mengganti biaya bensin yang Zionathan belikan untuknya.
Zionathan tidak menerimanya. "Simpan aja. Habis ini lo langsung balik?"
"Iya."
"Duluan sana."
Pelangi mengangguk, motornya sudah bisa menyala kembali. "Bang Ifander, aku duluan ya. Terima kasih udah ngajak aku ngadem di mobil. Zio, aku duluan. Sekali lagi terima kasih banyak." Lantas melaju dengan senang. Untung saja ada orang baik yang mau menolongnya.
"Suka lo sama Pelangi?" Ifander menaikkan alis, tersenyum miring. "Tadi gue denger lo juga nyelamatin Pelangi dari amukan Lily."
"Nggak, biasa aja." Membereskan botol bensin yang tadi. Kemudian segera melenggang pergi. "Duluan cabut, Bang."
Ifander mengangkat tangannya, lalu terkekeh. "Zio, Zio!" Geleng-geleng kepala.
****
Maaf kalau banyak typo ya, revisi menyusul. Btw, Zio emang secuek itu ya, mohon maklum. Tapi liat gak, dia ngomong panjang lebar sama Pelangi. Hahahha ...!