Kembali dengan kehancurannya.

1019 Words
Hilda hanya menangis meratapi nasibnya, dia sangat membenci pria yang ada di sampingnya ini, dia menutup partisi kecil itu agar tidak melihat wajah Edmund yang di bencinya itu. Beberapa jam kemudian tibalah mereka di bandara Soetta, dia sudah tidak bisa menghubungi keluarganya, ibunya yang menunggunya di Indonesia, sebab barang-barangnya masih tertinggal di tempat Ken, bahkan dia tidak sempat berpamitan pada Ken. "Bagaimana ini? aku harus menghubungi Ibu, tapi aku tidak bisa, HP dan tas ketinggalan, aduh gimana ini?" bedak Hilda, sementara lelaki Arogan yang menghancurkan hidupnya ini, ada di sampingnya, dirinya bahkan di papah oleh sang asisten. "Sebentar bisa kita bicara?" tanya Hilda. "Apalagi yang kau inginkan.?" tanya Edmund dengan sinis. "Hei Tuan yang sombong, aku tidak pernah meminta apapun darimu, yang dirugikan dan korbannya adalah aku !" aku hanya tidak ingin berhubungan denganmu lagi, terima kasih kau telah membeli tiket pesawat untukku dan bisa kembali ke Indonesia, jadi pergilah dari hidupku!" ucap Hilda, sorot matanya begitu merah dan ada air mata yang mengambang di sana. Edmund yang melihat kebencian di mata Hilda, dan kata-katanya itu tidak ada yang salah satu pun, wanita ini tidak seperti wanita lain yang meminta ini itu padanya, bahkan dialah yang mengambil keuntungan atas ketidaksadaran Hilda karena mabuk. "Apakah itu yang kau mau? katakan padaku berapa yang kau inginkan ? aku akan memberikanmu cek kosong"ucap Edmund dengan arogannya dan gadis ini begitu tersinggung, dia langsung menuju Edmond memegang kedua kerah jasnya. "Apa kau pikir aku p*****r? seenaknya kau bertanya berapa hargaku? dengar ! aku tidak menjual diri, dan aku adalah korban pemerkosaan" ucap Hilda dan kali ini air matanya menetes, wajah mungil itu seketika memerah begitu merona, membuatnya terlihat imut-imut dan bibir itu merekah kemerah-merahan, Edmund ingin mengecupnya. "Ini...!" Hilda merobek cek itu, sang asisten pun, merasakan apa yang dirasakan Hilda, dia hanya menyelipkan kartu namanya kalau sesuatu terjadi dengan Hilda, dia bisa membantunya, bahkan sang asisten tidak bisa meminta nomor telepon Hilda karena barang-barangnya tertinggal di Jepang, begitu juga dengan ponsel yang ada di dalam tas. Bahkan Edmund tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya mengangkat kedua tangannya, seakan berkata Oke kalau itu maumu..' Hilda langsung menyetop sebuah taksi dia ingin kembali, ke apartemennya yang belum dibayarnya, sebelum dia menutup pintu mobil taksi itu, sang asisten memberikan sebuah amplop yang cukup tebal, dia tahu pasti gadis ini tidak memiliki spesial uang pun untuk membayar taksi. "Tolong ini adalah kebaikanku aku tahu kau tidak memiliki uang untuk membayar taksi, dan jangan kau kira ini adalah uang Edmund, ini uang pribadiku sendiri percayalah aku peduli denganmu..?" ucap sang asisten, mendengar ini Hilda mau tidak mau dia ambil amplop yang berisi uang itu logikanya mengatakan dia harus mengambilnya. "Terima kasih, tapi tolong ajarkan atasanmu itu untuk menghargai wanita, beruntung itu terjadi padaku, kalau pada wanita lain, mereka pasti akan menjebloskannya ke penjara.." ucap Hilda sambil melap pipinya yang basah dengan air mata. Ketika Hilda sudah berangkat dengan taksi sewaan itu, Edmund seakan kehilangan sesuatu dan merasa bersalah, tapi dia tidak ingin menurunkan ego dan gengsinya. "Sudahlah hanya wanita seperti itu saja jual mahal, bukan salahku kalau dia tidak menginginkan uang.."ucap Edmund. "Pak Bos sebaiknya anda berhati-hati, beruntung gadis itu tidak tahu siapa kita, dia bisa saja menuntutmu, kasihan sekali gadis itu" ucap sang asisten. "Jangan coba-coba menceramahiku, kau ku bayar untuk menuruti semua perintahku. Dia bukan apa-apa untukku, dan ingat, dialah yang menyerahkan dirinya padaku, ! aku sudah menawarkan uang padanya, wanita seperti itu hanya memikirkan uang" ucap Edmund. "Tapi terbukti pak bos dia tidak menginginkan uangmu, harga dirinya begitu tinggi dia sudah kehilangan kesuciannya karenamu Pak Bos, ingatlah karma" ucap sang asisten. "Karma katamu? akulah yang membuat karma baik dan buruk, kalau dia tidak ingin uangku bukan salahku.." ucap Edmund dengan arogannya, dia berpikir dialah yang paling benar, sama asisten tidak ingin mendapatnya dia tahu ini bukan tentang uang tapi tentang harga diri, tapi dia tidak ingin berhenti bekerja pada lelaki Arogan ini, bayarannya cukup tinggi dan dia masih membutuhkan pekerjaan. "Baiklah Pak Bos, mobil jemputan kita sudah menunggu 10 menit yang lalu.?" jawab sang asisten. Sang asisten langsung membawa koper atasannya itu berikut kopernya juga, sebuah mobil mewah, menjemput mereka, terlihat atasannya itu bersandar dan memejamkan matanya, dia masih memikirkan Hilda, tapi dia tidak tahu bagaimana menghubunginya, tiba-tiba dia kembali berkata pada sang asisten. "Cari tahu siapa gadis itu sebenarnya, aku telah mengirim fotonya padamu" ucap Edmund, sang asisten begitu terkejut ketika melihat foto itu, itu adalah foto ketika Hilda dipangku oleh atasanya di dalam sebuah ruangan, yang mereka pesan di Jepang, gadis itu terlihat bersandar di d**a sang atasan karena mabuk berat. "Jadi anda sempat mengambil gambar?" tanya sang asisten. "Tentu saja, bisa saja gadis itu mempermalukanku, aku harus melindungi diriku sendiri" jawab Edmund. "Dasar b******k " benak sang asisten. sementara Hilda yang berada di sebuah taksi, dia menangis tanpa suara, bahkan sopir tidak berani bertanya padanya, Dia merasakan sakit yang luar biasa di bagian bawah tubuhnya, terlebih sakit hati karena dilecehkan oleh pria yang bahkan tidak dikenalnya. Alasan Hilda pergi ke Jepang adalah untuk menenangkan diri, sebelum pergi dia pun hampir dilecehkan oleh atasannya sendiri, sekarang hal itu terjadi bahkan dengan orang yang tidak dikenalnya, dia mengutuk dirinya sendiri, kebodohannya pergi ke luar negeri, dia berpikir untuk menenangkan diri menjadi suasana baru bahkan peluang baru, tapi ternyata sesuatu yang merugikan dirinya terjadi. "Dasar bego banget lu Hilda, seharusnya lu nggak pergi ke Jepang, hiks..hiks... aku harus ngomong apa sama ibu? ya Tuhan bisa nggak kejadian ini aku skip? hiks..hiks.." guman Hilda, sang sopir mendengarkan kata-kata yang sangat pelan itu, dia banyak menduga-duga, tapi dia harus bertanya ke mana tujuan wanita ini sudah sejam berlalu. "Maaf, Non sebenarnya tujuannya ke mana?" tanya sang sopir taksi, Hilda pun langsung memberikan alamat apartemennya, setengah jam kemudian mereka sudah sampai di sana, sang sopir melihat Hilda yang turun dari mobilnya itu dengan tertatih, Hilda membayar melebihi Argo. "Maaf non Apa saya boleh bantu? kayaknya sinon kesulitan jalan..?" tanya sang sopir taksi yang sudah lumayan cukup berumur ini, kira-kira pria berusia 50 tahunan lebih mungkin seusia ayahnya. "Makasih Pak, nggak perlu ko, nanti di depan ada lift ?" jawab Hilda, sang sopir pun berkata agar Hilda untuk berhati-hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD