Teman baru di negeri asing.

1111 Words
Hilda melihat banyak sekali orang Indonesia dan mereka berbincang dengan menggunakan bahasa daerah, terdengar seperti bahasa Jawa dan Sunda, apakah ini wartegnya orang indo di Jepang? benak Hilda. "Hei? aku bawa kawan baru" ucap Ken, memperkenalkan Hilda, sontak beberapa orang lelaki menoleh ke arahnya dan ada juga wanitanya. "Bawa kesini Ken, biar kita kenal teman baru kamu itu loh" ucap seorang wanita paruh baya, sepertinya dia adalah koki atau tukang masak di kedai ini, terlihat dengan topi putih yang membungkus kepalanya dan memakai celemek. Hilda paham dengan ajakan dari Ken, dia langsung masuk dan membungkukkan tubuhnya seperti adat orang Jepang ketika bertemu orang baru, mereka menyapa dengan membungkukkan tubuhnya. "Apa kabar? salam kenal semuanya aku Hilda dari Indonesia" ucap Hilda yang berbasa basi. Ucap Hilda memperkenalkan diri, dan entah apa juga yang mengikuti hatinya sehingga dia mau pergi ke sini dengan si Ken, orang yang baru saja dikenalnya. "Kerja di sini? atau beasiswa?" tanya seorang pemuda. "Enggak, aku nggak bekerja di sini, dan bukan seorang mahasiswa juga, aku hanya pelancong, aku ingin berlibur di negeri ini untuk beberapa saat" jawab Hilda dengan hati-hati, dia melihat mereka seperti tatapan itu tertuju padanya semua. "Wis, orang sekampung, kalian jangan kayak gitu toh, sini nduk?" ucap wanita paruh baya tadi, dia mempersilahkan Hilda duduk, di ujung sana masih ada kursi kosong. "Nanya aja kok bude" ucap seorang pemuda yang bertanya tadi, dan bernama Junaedi biasa dipanggil Jun. "Nduk? mau makan apa? di sini kita berusaha membuat masakan Indonesia semirip mungkin". ucap si bude. "Apa saja, saya belum makan dari kemarin siang, bisa minta teh hangatnya Bu?" pinta Hilda, sejak pertemuan dengan lelaki aneh di pesawat tadi, Pria itu selalu menghinanya, dia belum menyentuh makanan ataupun minuman sama sekali, tenggorokannya terasa kering, dan perutnya selalu berbunyi yang ditahannya. Dan wanita paruh baya itu mengeluarkan semangkok nasi, beberapa tumisan dan ikan goreng, dan ini bukanlah ciri khas makanan khas Jepang, semua orang sibuk dengan santapan di depannya, sebuah kedai mirip warteg di Indonesia, dengan kursi memanjang, dan ini ada di sebuah gang, Hilda menyukai masakan wanita tua ini, bukan hanya orang Indonesia saja melainkan orang lokal setempat juga, sebab Bu de' sangat sangat ramah. "Terima kasih, makanannya sangat enak, seakan makan di kampung sendiri" ucap Hilda, dia menoleh ke arah Ken yang sedang bercakap-cakap dengan teman-temannya, ini sudah cukup malam dia ingin kembali ke penginapan, dan sepertinya Ken tahu maksudnya, dia menghampiri Hilda lalu memberikan beberapa uang pada ibu warung, dan menarik tangan Hilda. "Semuanya aku pergi dulu". ucap Ken, dia bukan ingin mengantar Hilda kembali ke penginapan, melainkan membawanya ke suatu tempat, dia meminta Hilda untuk naik motor bersamanya, ternyata percakapan tadi dia meminjam motor pada temannya. "Ken ini sudah larut malam." tanya Hilda dan terdengar seperti sangat formal di telinga Ken. "Udah ikut aja! kemana lu- guenya, khas Jakarta banget itu?" tanya Ken. "Nggak hilang juga, soalnya aku pakai bahasa kayak gitu kalau udah marah sama orang, dan laki-laki tadi berhak dimaki-maki.." ucap Hilda, dia melihat Ken membawanya melewati penginapan itu lalu masuk ke gang-gang, dan tiba-tiba telah sampai di atas perbukitan, dari atas sini lampu sangat terang benderang bahkan lebih indah dari pemandangan ketika dia melihat dari kamar hotelnya. "Woow..di mana ini?" tanya Hilda. "Yuki gawa Otsuka... ini tidak jauh dari Tokyo, dan ini sangat terkenal, banyak idol grup membuat bukit ini sebagai latar, untuk rekaman musik mereka, tapi di samping itu lihatlah ini sangat indah" ucap Ken seperti seorang pemandu wisata. "Kalau negeri ini begitu indah, mengapa kakekmu moyang kalian ingin merebut negara-negara lain?" tanya Hilda karena dia berpikir Indonesia dulu dijajah oleh Jepang. "Mungkin saja orang dulu tidak bisa menikmati keindahan negeri sendiri, mereka anggap negeri orang lebih hebat?" jawab Ken, terdengar sarkastik. "Untunglah dunia telah damai, aku mencintai negeriku, tapi terasa sesak untuk menghirup udara segar di sana saat ini bagiku, maka itu aku mencari udara keluar" ucapan Hilda yang tersirat ini membuat Ken meliriknya diam-diam, dia tahu tidak mungkin ada solo traveller, yang begitu berani berwisata ke negara orang kalau tidak memiliki sesuatu. "Sepertinya terjadi sesuatu denganmu?" tanya Ken. "Ya, ketika kita bersungguh-sungguh melakukan sesuatu, tapi kita tidak dihargai itu sangat menyakitkan..?" ucap Hilda dia pun membalasnya dengan kata-kata teka-teki juga, yang membuatkan berpikir ingin banyak cerita juga, orang asing tidak akan banyak bergosip. "Semua orang punya masalah, dan aku tau sakitnya tidak di hargai, tapi menikmati hidup itu lebih penting" jawab Ken, dia tidak ingin bertanya atau memaksa Hilda untuk menceritakan masalahnya, bahkan dia pun tidak ingin memberitahukan permasalahan pribadinya, ini terlalu singkat untuk begitu terbuka pada orang asing, mungkin sebentar lagi, "Baiklah apakah hanya ini pemandangan di sini? mana orang Jepang yang pakai pakaian warna-warni apa tuh kata mereka bilang Harajuku!" tanya Hilda sedikit banyaknya dia telah menjadi informasi tentang Jepang saat ini. "Oh, para penyintas dan penyuka anime, Meraka ada di Harajuku, kau tidak tahu kehidupan mereka sangat keras, mereka memiliki mimpi yang besar, aku punya teman yang selalu memakai kostum, kadang kami dibayar untuk melakukan itu dalam suatu acara, tapi kebanyakan dari para pemuda suka menyendiri" ucap Ken. "Maksudnya gimana?" "Kebanyakan dari kami seperti robot hanya bekerja dan jarang beristirahat, terkadang mereka tidak memikirkan keluarga atau ingin mempunyai hubungan dan menikah itu terlalu rumit dijalani" ucap Ken. "Oo..gitu" "Eh, jangan terlalu kaku ya? lagi pula kita adalah orang asing, nggak papa kan curhat?" Hilda menceritakan semua masalahnya sebelum dia pergi ke sini, dan itu didengarkan oleh Ken, tanpa berkomentar, kini dia tahu ternyata setiap orang memang memiliki masalahnya masing-masing, terlebih wanita ini sangat berani, dia pergi ke luar negeri dan tanpa pekerjaan. Tak terasa matahari pagi sudah mulai keluar, dan Hilda tertidur di bangku taman ini, di sampingnya ada Ken yang menutupinya dengan jaket, suasana dingin malam, serta perjalanan yang tidak diperhitungkan oleh Hilda, rasa lelah membuatnya lelap begitu saja, tanpa sadar pagi telah tiba, dan udara semakin segar dan sejuk, kini pemandangan ini begitu jelas keindahannya di mata Hilda. "Sudah bangun? sebaiknya kita ke toilet dulu" ucap Ken, dia menahan untuk berkemih sejak dini hari, karena dia tidak ingin meninggalkan Hilda yang tengah tertidur di bangku taman, dia tidak ingin ada seseorang melecehkan teman barunya ini. "Maaf aku tertidur, ayo?" jawab Hilda, dia malu tidur begitu saja, bahkan hingga di pagi hari, seharusnya semalam dia pulang dan tidur di ranjangnya, tapi ini adalah pengalaman berharganya, tiba-tiba bangun di atas perbukitan yang indah, bahkan para tukang makanan yang menjual sarapan sudah banyak. Ken langsung saja menuju toilet pria, ternyata tampilannya sangat buruk, wajah lebam di pelipis, dan bahkan masih ada sedikit sisa darah di tangannya, juga di sudut bibirnya, seharusnya wanita normal takut melihat wajah pria seperti ini, mengapa wanita itu berbicara dengannya dengan santai, benak Ken, yang langsung meletaka. plester di wajahnya yang luka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD