“Pa, emangnya kalo Julie nikah sama salah satu penghuni kosnya Julie, gapapa gitu?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Julie, terdengar oleh Pak Pramudya melalui sambungan telepon. Sepertinya gadis itu benar-benar putus asa. Sampai mempertimbangkan untuk asal-asalan menikah dengan penghuni kosnya agar ia bebas dari Jonathan.
“Papa gak terima, Jul.” Pak Pramudya langsung menolak dengan tegas. “Kamu … Papa besarin dari kecil, bahkan dari kamu masih di perut mamamu, selalu Papa kasih yang terbaik. Papa gak bakalan terima anak Papa hidup susah. Gak usah nikah kalo kamu nikahnya terus nanti hidup susah. Apa gunanya kamu nikah, kalo setelahnya kamu malah harus pusingin uang dari mana untuk bayar makan besok, atau uang dari mana buat beli popok anak. Gak usah, Jul. Gak usah nikah.”
“Tapi, kalo gak sama cowok-cowok di kosan Julie, berarti Julie harus nikah sama Om Jonathan, Pa.”
“Hhh ….”
Hanya embusan napas berat yang menjadi balasan Pak Pramudya di sambungan telepon.
“Ini Julie udah ketemu Om Jonathan, Julie udah minta maaf.”
“Dimaafin?”
“Iya, tapi Julie tetep harus nikah sama Om Jonathan. Kalo gak sama Om Jonathan ya sama cowok-cowok di kosan Julie.”
“Ya sudah, nikah saja sama Pak Jonathan. Jul, lagian dia gak tua-tua amat.”
“PA!” teriak Julie, membuat beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan menoleh kepada Julie.
“Jul, gak selamanya pernikahan beda usia itu buruk.”
“Pa, orang yang seusia aja nikahnya kadang masih banyak cek-coknya, apalagi yang rentan usianya jauh banget kayak Julie sama Om Jonathan. Kita beda tujuan, beda generasi, beda pembicaraan, beda ketertarikan.”
“Kalian punya satu ketertarikan yang sama, Jul. Kalian sama-sama suka uang.”
“Pa, semua orang di dunia ini suka uang. Apa Julie harus menikahi semua laki-laki yang suka uang?”
Julie menghentikan langkah kakinya saat ia melihat mini market di seberang jalan. Ia putuskan untuk berbelanja. Beberapa barang keperluannya di tempat kos sudah menipis. Makanan-makanan ringannya pun sudah hampir habis, ia perlu menyetok kembali.
“Ah, udahlah. Papa nyebelin.” Julie langsung memutus sambungan telepon dan menyeberang jalan.
Gadis itu masuk mini market, mengambil sebuah troli, lantas mendorongnya melalui lorong-lorong di dalam mini market. Gadis itu tertunduk, memikirkan nasib apesnya gara-gara punya mulut yang hobby ngomong ngasal.
Maksudku saat ngomong yang kaya dan tua tuh bukan kayak Om Jonathan. Maksudku yang tua ya … setidaknya umurnya beberapa tahun di atas aku. Bukan yang umurnya puluhan tahun di atas aku. Mungkin sekitar dua atau tiga tahun lebih tua dari aku. Gapapa yang gak kaya-kaya banget, setidaknya dia udah bisa menjamin kalo aku gak bakalan kelaparan. Setidaknya orang ini udah bikin Papa tenang buat nyerahin aku ke dia. Gak perlu yang kaya banget, setidaknya dia bisa diandalkan untuk kebutuhan makan sehari-hari, untuk biaya kalo nanti punya anak. Yaa … seseorang yang sebenarnya sederhana saja, asal mau bekerja untuk aku dan keluarga kami nantinya.
“Ahh ….”
Julie mendesah panjang saat ia mengangkat wajah. Ia tatap trolinya, masih kosong. Bahkan lupa apa yang sebenarnya ia mau beli.
“Kamu,” tunjuk Julie pada pria di hadapannya.
Pria itu tersenyum kecil. “Ibunda Ratunya anak-anak di kosan.”
Julie ikut tersenyum. “Kamu yang di kamar ….” Julie sedang mengingat-ingat.
“Di kamar 21.”
“Ah iya. Namanya siapa sih?” tanya Julie sambil menggaruk kepalanya. Merasa tak enak hati karena lupa dengan salah satu penghuni kosnya. “Sorry, aku lupa. Soalnya aku jarang ngeliat kamu.”
“Julio.”
“Ah, iya … Julio. Sorry, aku lupa. Padahal nama kita mirip.”
Pria tersenyum lagi, walau samar. “Iya, nama kita mirip.”
“Panggilannya siapa?”
“Panggilan?”
“Iya, panggilan. Orang-orang biasanya manggil kamu siapa?”
“Ya … Julio.”
“Maksud aku, kayak aku misalnya, namaku Julie, tapi sama orang-orang di rumahku dipanggil Jul.”
“Ah, entahlah. Biasanya dipanggil Julio aja. Seseorang di rumahku biasanya justru memanggilku dengan anak itu atau anak nakal itu.”
Julie tertawa. “Papaku kalo lagi marah juga kadang ngomong, ‘ANAK INI’,” ujarnya sambil menirukan nada suara Pak Pramudya, persis seperti ucapan Pak Pramudya tadi pagi padanya. “Orang tua emang kayak gitu, santai aja,” ujarnya, bermaksud menghibur Julio. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan Julio dan keluarganya. Tapi, ia bersimpati. Apalagi dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Julio.
“Mungkin,” balas Julio. “Oh ya, kamu belanja apa, Jul-lie?” Akhir kalimatnya terdengar menggantung. Julio agak ragu saat ia sebut nama Julie, terlalu mirip dengan namanya sendiri membuat ia seolah tengah menyebut nama sendiri.
“Aneh kan kalo disebut keseluruhannya? Makanya orang-orang biasanya manggil aku Jul aja.”
“Tapi, aneh juga kalo aku manggil kamu Jul.”
“Karena nama kita mirip. Pasti aneh kalo aku manggil kamu pake Jul juga. Berasa ngomong sama diri sendiri.”
Dua manusia yang memiliki nama yang mirip itu kini berjalan beriringan mengitari mini market, masing-masing mengambil barang kebutuhan mereka, meletakkannya ke troli masing-masing.
“Yo ….”
“Yo?”
“Itu aku manggil kamu, gapapa, ‘kan?”
“Kok Yo?”
“Kan nama kamu Julio. Kalo aku panggil Jul, itu nama aku sendiri. Makanya aku panggil Yo aja.”
“Ini pertama kalinya ada yang manggil aku Yo. Terus kamu harus kupanggil Ai?”
“Ai?”
“Emangnya namaku Julai?”
“Kalo di bahasa Inggris, pengucapan nama kamu akan dibaca Julai.”
“Ai …?” ulang Julie. Panggilan itu, kok terdengar lucu. “Ai … Ini pertama kalinya aku dipanggil Ai.”
“Mau beli apa lagi, Ai …?”
Julie mengangkat wajahnya, ia tolehkan pada Julio. Dua bola mata mereka saling bertemu.
“Aku gak suka dipanggil Ai.”
“Kenapa?”
Bikin orang baper, apalagi saat aku dalam krisis seperti ini. Tiba-tiba aku berharap ada penghuni kosku yang berbaik hati untuk menikahiku, agar aku selamat dari Om Jonathan.
“Maaf kalo kamu gak suka. Aku akan memanggilmu Ibunda Ratu, seperti anak-anak kos yang lain.”
“Ya, seperti yang lain saja.”
Terlalu egois jika aku menjadikanmu tameng. Padahal kita tak saling mengenal. Terlalu egois jika aku mencari tameng dari kalian-kalian yang tinggal di tempat kosku, hanya karena masalah yang kubuat.
“Aku udah selesai, kamu masih mau belanja?” Julio mengalihkan pembicaraan. Mendadak canggung, padahal Julie duluan yang membuat panggilan khusus untuknya. Lalu saat Julio membalas memberi panggilan khusus untuk gadis itu, eh ditolak.
“Udah juga.”
Keduanya membayar belanjaan masing-masing. Julie membayar belanjaannya sendiri, begitu pun dengan Julio. Mungkin akan berbeda jika Julie berbelanja dengan Jonathan, walau pria itu menyebalkan, tapi Julie yakin jika pria itu pasti yang akan membayar belanjaan Julie. Mengingat betapa sukanya pria itu pamer kekayaan.
“Pulangnya ke kosan?” tanya Julio saat mereka keluar dari mini market.
“Iya.”
“Mau bareng?”
“Emangnya udah mau pulang? Gak ke tempat lain? Ke tempat kerja? Atau kuliah? Kamu masih kuliah atau kerja sih?”
“Kuliahku udah selesai, sekarang lagi nyoba-nyoba kerja sih.”
Mendengar Julio mengatakan tentang ‘nyoba-nyoba kerja’ membuat Julie tak melanjutkan lagi pertanyaannya. Ia tak perlu tahu detailnya. Mendengar keraguan pria itu saat menyebutkan pekerjaannya, mungkin ia masih sedang mencari pekerjaan yang tepat.
Julie cukup paham kalau pembahasan seputar pekerjaan adalah topik yang sensitif. Ia tahu bagaimana rasanya tak punya pekerjaan setelah lulus. Sampai sekarang pun ia tak bisa dibilang sudah punya pekerjaan juga. Lagian yang lakukan saat ini hanya menjadi tukang tagih kos-kosan.
“Aku bawa motor, gapapa kan naik motor?”
“Iya, gapapa.”
Julio berkendara kurang dari 10 menit hingga ia tiba di tujuan. Julie langsung turun setelah Julio mematikan mesin motornya.
“Makasih buat tumpangannya, Yo.”
“Sama-sama, Ibunda Ratu,” jawab pria itu dengan senyum tipis.
Julie terdiam sesaat, kembali teringat panggilan Julio saat di mini market. Panggilan ‘Ai’ itu, ah … jujur saja membuat Julie sedikit gugup, tapi sekaligus jadi bersemangat. Tapi, jangan sampai rasa bersemangat itu membuat ia merasakan sesuatu yang berlebih. Tak usah. Sudah cukup ia dibuat pusing dan rasanya mau menghilang gara-gara Jonathan.
“Yo, kamu gak masalah aku panggil kayak gini?”
“Dipanggil ‘Yo’?”
“Iya? Kalo kamu gak suka bilang aja.”
“Suka kok, kamu boleh panggil kayak gitu sampai kapan pun. Oh ya, belanjaannya sini aku bawain.”
“Eh, ga—”
Julie gagal mencegah, kantongan plastiknya sudah diambil alih oleh Julio. Bahkan pria itu sudah mendahului Julie menuju lantai atas rumah yang ditempati Babe Ahmad, menuju kamar Julie.
“Eh, gak usah ….” Ucapan Julie pada akhirnya terdengar oleh dirinya sendiri. Pria itu sudah mengayunkan kakinya yang panjang untuk menaiki anak tangga. Dalam sekali ayunan kakinya, ia melewati dua anak tangga. Makin gagallah Julie mencegah pria itu.
“Balkon di sini bagus yah ternyata, banyak tanaman-tanamannya. Ini pertama kalinya aku naik ke sini. Kayaknya enak liat bintang malem-malem di sini.”
“Liat bintang kan emang malem, Yo.” Julie terkekeh. “Gak bisa liat bintang kalo siang.”
“Kan bisa liat bintang di subuh juga.”
“Tapi, itu masih terhitung malem.”
Julio mengangkat tangan, menyerah. “Aku kalah, cowok selalu salah. Yang bener ya selalu cewek, ‘kan?”
Julie terkekeh lagi.
“Maksudku tuh, ngeliat Bintang pas malem-malem dari sini pasti seru, nongkrong di situ pasti seru. Kayak di jam-jam 10 sampai jam 1 atau jam 2.” Julio menunjuk pada ayunan gantung berbahan rotan yang terlihat seperti sarang burung yang menggantung.
“Kamu boleh ke sini kalo mau liat bintang.”
“Ditemenin, gak? Soalnya gak seru ngeliat bintang sendirian. Nongkrong di ayunan sarang burung itu sendirian. Ah ….” Pria itu mendesah kecewa. “Kayak jomlo paling ngenes sedunia.”
“Boleh, nanti aku temenin.”
“Nanti?” ulang Julio. “Nanti malem?”
“Yaa … terserah kamu sih. Maksudku ya bakalan aku temenin kalo kamu ke sini.”
“Janji, yah?”
“Iya.”
“Tapi, kamu bawain makanan.”
“Ibunda Ratu mau dibawain makanan apa?”
“Emm ….” Julie memilih duduk di ayunan rotan, ia tunjuk sebuah kursi kayu sebagai tanda bahwa ia persilakan Julio untuk ikut duduk. “Apaan, yah … terserah aja sih.”
Julio tertawa. “Cewek kenapa sih suka banget bilang terserah kalo ditanya mau makan apa?”
“Bingung mau makan apa.”
“Kalo dibawainnya salah, gimana?”
“Beli lagi, pesen makanan lagi.”
“Kurirnya udah pada istirahat.”
“Kalo gitu beli langsung ke tempatnya. Naik motoran, kayaknya seru. Malem-malem naik motor, keliling-keliling cari makan.”
“Mau?”
“Apa?”
“Motoran bareng aku?”
“Hmm,” jawab Julie dengan anggukan.
“Oke, kita motoran dulu keliling-keliling cari makanan. Abis itu baru nongkrong di sini, liat bintang sampe pagi.”
“Sampe pagi?” ulang Julie.
“Emangnya kamu maunya sampai kapan? Atau mau ngajakin aku liat bintang selamanya? Seumur hidup?”
Kalo boleh, iya.
Tuh, kan … Julie sudah baper duluan. Efek dipanggil ‘Ai’.