“Niko,” panggil Jonathan saat ia berpapasan dengan salah satu tetangga kamarnya.
“Saya, Om?” Kino bertanya, memperjelas siapa yang dipanggil oleh Jonathan. Mengingat jika di tempat itu tak ada yang bernama Niko. Juga memang tak ada siapa-siapa selain mereka berdua di tangga.
“Iya, kamu. Niko, ‘kan?”
“Kino, Om.”
“Oh, maaf.”
“Kenapa ya, Om? Ada yang perlu diangkutin lagi?”
“Gak.” Jonathan menggelengkan kepalanya. “Saya cuma mau nanya aja, itu ….” Jonathan menunjuk ke arah tangga. Pria itu turun dua anak tangga agar ia lebih jelas menunjuknya. “… yang lagi main bulu tangkis itu, anak kosan di sini juga?”
Agar bisa melihat lebih jelas siapa yang dipertanyakan oleh Jonathan, Kino bergegas turun tangga hingga ia berada di lantai dasar.
“Oh, yang lagi main bulu tangkis?”
“Iya.”
“Itu Julio sama temennya, Om.”
“Dia kos di sini juga?”
“Iya, Om. Temennya beberapa kali mampir ke sini, numpang tidur di kamar Julio.”
“Udah lama dia tinggal di sini?”
“Baru, Om. Belum sebulan kayaknya. Cuman gak tiap hari nginepnya, kadang gak pulang. Tapi, kadang juga seharian aja di kosan. Gak tau deh apa kerjanya di luar sana kalo pas lagi gak pulang.”
“Oh ….”
“Tapi ….”
“Tapi, apa?”
“Kata anak-anak sini sih. Om jangan bilang-bilang ke Julio.” Kino mendekatkan diri pada Jonathan, berniat untuk membisikkan sesuatu. “Om jangan bilang kalo Kino yang bilang ya.”
“Iya, kenapa?”
Kino makin mendekat, membuat tubuh mereka saling merapat saat Kino membisikkan apa jenis pekerjaan Julio pada Jonathan.
“HEYYY!!” teriak Brenda saat cewek jadi-jadian itu menemukan Om Jonathannya tercinta sedang dalam keadaan dipeluk oleh Kino. Kelihatannya sih memang seolah Kino memeluk Jonathan, aslinya hanya sedang berbisik. “Kin, ngapain loe meluk-meluk Om Jon?”
Brenda langsung memisahkan Kino dan Jonathan. Cowok melambai itu pun langsung menyenderkan kepalanya di d**a Jonathan. Tak sempat dicegah oleh Jonathan, pria itu tak mengira jika ia akan disenderi oleh cewek jadi-jadian ini.
“Heh, heh … ap-apaan ini?” Jonathan tergagap. Pria itu mundur, jauh-jauh dari Brenda.
“Om Jon … ahh ….”
Dasar Brenda sinting, belum apa-apa, dia sudah mendesah-desah memanggil Jonathan. Membuat pria yang ia panggil itu makin risih.
“Mendingan Om langsung naik ke kamar deh, sebelum diterkam orang gila ini,” saran Kino.
“Om, kamar kita sebelahan, loh,” ujar Brenda sambil mengedipkan mata. “Kalo butuh apa-apa, langsung panggil Brenda aja, Om. Kalo misalnya Om Jon butuh dipijat, dibelai, disayang-sayang, awww … panggil Brenda aja, Om. Brenda siap selalu untuk memijat, membelai-belai, dan menyayangi Om Jon.”
“SINTING!” umpat Kino. “Makin hari makin sinting aja ini orang.”
Seperti yang disarankan oleh Kino, Jonathan bergegas naik ke kamarnya. Ia memasukkan barang bawaannya sebelum keluar lagi. Jonathan mengamati dari teras depan kamarnya. Memperhatikan pria bernama Julio yang tengah bermain bulu tangkis.
Sepertinya Julio tak begitu dekat dengan penghuni kos lain, melihat pria itu hanya bermain dengan temannya sendiri. Ia tak bergabung dengan cowok-cowok lain. Mungkin karena umurnya yang lebih dewasa dibandingkan anak-anak kos lain yang rata-rata masih mahasiswa. Membuat ia tak begitu akrab dengan yang lain.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Jonathan langsung saja, tanpa basi-basi kepada Julio. Kedua tangan pria itu terlipat di d**a, menunjukkan keangkuhannya. Ingin menunjukkan bahwa ia mengintimidasi Julio.
“Bermain bulu tangkis,” jawab Julio dengan singkat. Ia tunjukkan raket miliknya.
Jonathan mendengkus. “Punya rencana apa sampai pindah ke sini?”
“Biar saya balik pertanyaannya, punya rencana apa sampai Bapak Jonathan yang terhormat pindah ke tempat murah seperti ini?”
Teman yang tadi bermain bulu tangkis dengan Julio memilih masuk ke balik pintu bertuliskan angka 21 itu lebih dulu. Tak mau terlibat dengan permasalahan Julio.
Jonathan mendekat, terlihat jelas jika rahang pria itu mengetat. Ada aura tak nyaman terbit di wajahnya saat mendapati salah satu dari ancamannya muncul di tempat yang sama. Mengikutinya.
Tidak, Julio tidak sedang mengikuti Jonathan. Julio bahkan telah berada di tempat itu hampir sebulan, sementara Jonathan baru dua malam ini berada di kosan tersebut.
“Apa yang kau inginkan?”
“Apa akan diberikan kalau saya mengatakannya?”
“Cih!” Gigi Jonathan menggertak di balik dua belah bibirnya yang telah terkatup rapat.
“Om Jon …,” panggil Brenda dengan ceria saat ia sampai di lantai 3. “Om Jon nungguin Brenda? Aww … Om Jon pasti butuh dipijit-pijit.”
Jari-jari gemulai Brenda bahkan sudah mulai melayang-layang di depan d**a Jonathan. Membuat pria itu langsung mundur, dan di saat itulah Julio menghilang dari pandangan Jonathan. Masuk ke dalam kamarnya.
“Om Jon ah ….” Brenda sengaja mendesahkan nama pria itu. “Pasti Om Jon capek abis kerja seharian, sini Om … sini Brenda pijitin.”
Jonathan makin mundur, tapi Brenda makin mendekatinya.
“Om, Brenda kasi tau rahasia yah … jangan deket-deket sama Julio.”
“Kenapa?” tanya Jonathan dengan penasaran.
Rasa jijiknya pada cowok melambai ini sebenarnya sudah hampir membuat ia muntah, tapi karena penasaran dengan informasi yang bisa ia ketahui tentang Julio, makanya ia menahan diri. Menggertakkan giginya ketika Brenda tanpa ragu menggerayangi dadanya.
“Gak enak diomongin di sini, nanti ketahuan Julio,” ujar Brenda. Memancing agar Jonathan mengizinkannya masuk ke dalam kamar pria itu. Ah, tak peduli kamar siapa. Mau kamar Brenda di balik pintu nomor 22 atau kamar Jonathan, sama saja. Sama-sama ruangan tertutup. “Om Jon …,” panggil Brenda lagi, ia menggigit bibirnya. Tak tahan dengan pria yang di pandangannya amat menggoda keimanan. Pria dewasa yang membuat badannya panas dan gemetaran.
“Mau ngapain kamu?”
“Mau menceritakan dongeng sebelum tidur buat Om Jon. Dongen tentang ….” Brenda menjeda sesaat, ia lirik pintu bertuliskan angka 21 yang sudah tertutup rapat. “… tentang Julio,” bisiknya.
“Masuk,” ajak Jonathan.
Rasa penasaran itu harus ia tuntaskan. Ia belum banyak mengetahui dari informasi yang disampaikan oleh Kino. Dan meski harus menggertakkan gigi karena menahan muaknya akan kecentilan Brenda, akan ia lakukan.
Brenda masuk, lalu dengan cepat ia tutup pintu kamar Jonathan. Ruangannya tak begitu luas. Sama dengan milik Brenda di kamar sebelah. Bedanya hanya terlihat dari beberapa pakaian mahal yang tergantung di sebuah gantungan dari besi di sebelah lemari. Selebihnya sama dengan yang ada di kamar Brenda. Lemari, tempat tidurnya, sebuah kursi dan meja, dan toilet di balik pintu kayu di sudut kamar
“Jadi, katakanlah tentang Julio!”
“Buru-buru amat sih, Om.” Brenda mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar sebelum tatapan matanya berakhir di pintu toilet. “Om Jon gak mau mandi dulu? Mau Brenda mandiin, gak?” Senyum yang menggambarkan hasratnya menghiasi wajah Brenda. Jakunnya terlihat beberapa kali bergerak naik dan turun, menelan ludah. Walau bersikap bak gadis, tapi bentuk tubuhnya tak bisa dipungkiri. Jakunnya terlihat jelas. Dan itu makin membuat Jonathan jijik.
Sial! Manusia terkutuk ini pikir siapa dirinya? Jonathan menyumpah dalam hati.
“Katanya kau mau berdongeng?”
“Dongeng hanya dilakukan sebelum tidur, Om …. Emangnya Om Jon ahh … udah mau tidur?”
Brenda maju, ia menuju ranjang milik Jonathan. Ia merangkak naik dengan percaya diri. Tangannya yang amat gemulai itu menepuk-nepuk bantal.
“Sini Om, Brenda nina boboin dengan dongeng tentang Julio.”
Jonathan mengepalkan tangan. Ia tak sanggup berpura-pura, tak sanggup menahan diri untuk tidak menonjok Brenda.
“Om … katanya mau tidur? Kok masih di situ? Sini, Brenda nina boboin, sambil dielus-elus.” Brenda menggigit bibir dengan s*****l.
“Memangnya apa yang kau ketahui tentang Julio?”
“Memangnya apa yang ingin Om Jon ketahui tentang Julio?”
Jonathan salah orang, rupanya Brenda sangat pintar bermain kata-kata. Ia pikir bisa langsung dapat bocoran info dengan memanfaatkan cowok melambai itu. Kok malah ia merasa terjebak, justru ia yang dimanfaatkan untuk memuaskan rasa haus Brenda akan pria.
Kalau begini, mending ia mengorek info dari Kino saja. Kalau perlu akan ia bayar cowok berkulit gelap itu agar memberinya info selengkap mungkin. Setidaknya jika dari Kino, ia tak perlu menahan diri dari rasa jijik.
“Om Jon …,” panggil Brenda lagi. Panggilannya terdengar amat lembut. Tapi panggilan itu tak bisa membuat Jonathan terbuai, justru makin menjadi rasa muaknya.
“Keluar kamu!” perintah Jonathan. Ia tak mau bermain-main dengan cewek jadi-jadian ini. Bisa muntah tujuh hari tujuh malam karena jijik.
“Loh, kok Brenda disuruh keluar, Om? Katanya mau dengerin dongeng tentang Julio.”
“Gak perlu, saya gak tertarik lagi.”
“Oh ya?” Brenda bertanya dengan nada menggoda. Ia turun dari tempat tidur, menghampiri Jonathan yang masih betah berdiri di dekat pintu. Ia kelilingi Jonathan, ujung telunjuknya berhasil menyentuh lengan Jonathan, tapi langsung didorong. Membuat Brenda sedikit terhuyung, tapi masih mampu menahan diri sehingga tak jatuh. “Om Jon ternyata suka main kasar. Gapapa, makin kasar, makin didorong, makin Brenda suka. Om, Brenda suka yang hard, kok. Yang ala-ala filmnya Mr. Grey.”
“KELUAR KAMU!” teriak Jonathan dengan tangan terkepal, wajahnya pun telah memerah. Urat-urat di pelipis pria itu tercetak jelas. Kepalan tangannya terayun, mengancam agar Brenda segera keluar.
“Om tau, gak? Kalo Julio sering dijemput wanita berumur 40-an?” tanya Brenda saat ia melenggang keluar. Saat ia sudah berhasil melewati ambang pintu, ia balik tubuhnya. “Kalo Om Jon mau tau lebih lanjut, panggil Brenda buat mandiin atau mijitin Om, oke?” Brenda menghilang dari pandangan Jonathan setelah ia mengedipkan matanya.
“Julio sering dijemput wanita berumur 40-an.” Jonathan mengulang ucapan Brenda. “Siapa yang menjemputnya? Apakah w************n itu?”