14 - Perdebatan

2082 Words
Perjalanan dari tempat camping menuju kota Jakarta memerlukan waktu selama tiga jam. Dan selama itu pula tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Baik Devan maupun Alena diam membisu. Devan mencoba tetap fokus menyetir dan Alena membuang muka, melihat jalanan yang ia lalui dengan mobil milik Devan melalui kaca jendela. Devan memang pergi ke acara kamping membawa mobil pribadi. Dengan mengekor bis sekolah ke arah tujuan bersama Maudi, ia malas jika harus berada dalam satu bis dengan siswa-siswi kelasnya. Ia lebih nyaman mengendarai mobil sendiri. Beruntung, wali kelasnya memberikan ijin pada Devan dengan alasan kehadiran cowok itu bisa memicu kehebohan, keramaian dan ketidak damaian para siswi di dalam bis. Reputasi Devan memang tidak main-main. Semua guru tau tentang cowok itu. Ke-playboy-annya, mantan-mantannya, sifatnya yang suka sekali gonta-ganti pacar setiap berapa minggu sekali... Beberapa guru memang tetap memperlakukan Devan seperti siswa lainnya karena merasa cowok itu tidak memiliki hak spesial dari pada murid-murid yang lain, namun beberapa guru mengambil langkah yang lain. Ada yang memperlakukan dengan sangat baik karena Devan benar-benar tampan hingga membuatnya tidak tega hanya untuk sekedar berteriak atau memberi hukuman, ada pula yang hanya akan menuruti apa yang diminta Devan dengan alasan-alasan seperti yang wali kelas Devan punya. Tak jarang pula, Devan merasa sangat beruntung dikaruniai wajah setampan ini hingga membuat ia bisa berlaku seenak jidatnya. Tapi apa yang harus ia lakukan sekarang? Di saat statusnya kini menjadi Alena, si cewek cupu yang paling tidak kasat mata di sekolah? Devan menghela napas. Ia menghentikan mobil tepat di depan sebuah rumah mewah bertingkat dua. Ada sebuah taman kecil lengkap dengan air mancur di tengah halaman, juga sebuah patung berbentuk pria yang membawa sebuah kendi. Mengacuhkan tampang melongo dari cowok di sebelahnya, Devan membuka pintu setelah mematikan mesin mobil. Ia berjalan menaiki undakan menuju pintu masuk rumahnya. Menyadari hal tersebut, Alena langsung mengikuti turun dari mobil. Ia berlari-lari kecil menyusul Devan di belakang. Devan menoleh sejenak sebelum membuka pintu rumah yang lebih mirip sebuah mansion itu, lalu berdecak kecil. Alena sungguh terlihat norak. "Heh, jangan kayak orang norak, deh!" Devan menyuarakan pikirannya. "Tampang ganteng gue jadi kelihatan b**o kalau lo berekspresi kayak gitu!" lanjutnya. Alena mendesis, ingin sekali mencakar wajah cowok itu. Tapi mana mungkin ia tega mencakar wajah yang notabene adalah wajahnya sendiri? Devan membuka pintu rumahnya lebar, ia berjalan masuk dengan langkah mantap. "Maaf, Non ini siapa ya?" Devan berhenti, ia menoleh dan mendapati Bi Yana tersenyum sembari sedikit membungkuk kepadanya. Mata wanita paruh baya itu bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba ada seorang cewek masuk ke dalam rumah orang dan bertingkah seolah itu adalah rumahnya sendiri? Devan mengerjab, bibirnya baru saja hendak terbuka untuk menjawab namun Alena sudah berjalan dan menyela. "O-oh, ini teman saya, Bi. Namanya Alena." Alena tersenyum kaku pada sosok wanita dengan rambut yang sudah banyak warna putihnya. Ia menatap Devan, berharap sebutan 'Bi' yang ia pakai tadi memang tepat. Namun, justru Bi Yana menatapnya dengan heran. Pasalnya, bahasa Devan terdengar terlalu formal baginya, dan terdengar seperti ia menyapa orang asing. Bi Yana mengangguk tak lama kemudian lalu tersenyum pada Devan. "Den Devan mau Bibi siapin makan malam?" Alena melirik Devan asli yang tampak acuh. Cowok itu justru sudah melangkahkan kaki lebih dalam ke dalam rumah dan duduk dengan santainya di atas sebuah sofa ruang keluarga. Alena jadi gemas sendiri. Bagaimanapun Devan telah secara tidak langsung mencemarkan nama baiknya sebagai seorang cewek. Di mana tata krama dan sopan santunnya? "Dia..." "Maafin teman saya, ya, Bi... Dia sedang capek jadi..." Alena menggigit bibir lalu meringis, sementara Bi Yana justru melongo. Ada apa dengan Devan anak majikannya?  Alena berdehem, tidak tau bagaimana seharusnya ia bersikap. Bagaimanapun ia tidak mengenal dan mengetahui secara pasti bagaimana sikap Devan pada sosok paruh baya di depannya. "B-bibi siapin makan malam aja. Saya lapar!" Alena tertawa garing, lalu secepatnya menyingkir dari hadapan Bi Yana. Bi Yana hanya menggelengkan kepala aneh tetapi langsung menuju dapur. * * * Devan baru saja membaringkan tubuh ke atas sofa dan memejamkan mata, mencari posisi senyaman mungkin untuk beristirahat saat merasakan sebuah pandangan menusuk dari seseorang. "Cowok gila! Dasar nggak tau sopan santun!" Devan mengumpat kecil saat kakinya dipaksa menyingkir dari sofa, sedang Alena langsung duduk di sana. Gagal sudah keinginannya untuk sejenak mengistirahatkan badan yang sudah tiga jam menyetir tadi. "Apa-apaan sih lo? Ganggu orang aja!" Devan menatap Alena tajam. "Minggir lo! Duduk di sana kan bisa?!" perintah Devan. Acuh saja, Alena justru malah sudah menyandarkan tubuh di sofa, menegaskan jika ia tidak mau mengalah. Salah sendiri tadi ia membuatnya kesal. "Cupu!" seru Devan. "Minggir nggak?!" "Nggak mau!" tolak Alena, menatap Devan tanpa rasa takut. "Inget, ya! Saat ini aku itu kamu dan kamu itu adalah aku! Aku tuan rumah di sini!" Devan menatap Alena kesal. "Cewek s***p! Heh, meskipun jiwa kita ini tertukar, ya, Siti, gue ya gue. Gue masih tetap Devan!" "Nggak akan ada yang percaya tuh!" ejek Alena, menjulurkan lidah pada Devan. "Lo ngajak berantem? Ayo, siapa takut!" "Aku juga nggak takut!" Mereka saling menyingsingkan baju sampai siku, yang satu hendak bersiap untuk melakukan adu jotos, yang satu lagi bersiap untuk mencakar atau menjambak rambut lawan dan menggigit jarinya jika perlu. Namun gerakan mereka terhenti akibat sebuah deringan ponsel dari ransel milik Alena. Masih menatap Devan tajam, Alena berdecak lalu segera mengambil ransel yang ada di belakang tubuhnya. 'Kak Alvian memanggil ...' Astagaaa, batin Alena. Bagaimana mungkin ia lupa mengabari ketiga kakaknya tentang keadaannya saat ini setelah kemarin menghilang selama seharian. Pasti mereka semua cemas saat ini karena ponselnya memang tidak dapat dihubungi selama ia tersesat di hutan. Menarik napas panjang, Alena pun menggeser tombol hijau di layar. "Halo, Kak!" Tidak ada jawaban dari seberang. Alena menjauhkan ponselnya demi melihat apakah panggilan itu masih tersambung atau tidak. "Halo ..." ulang Alena lagi. "Siapa lo?" jawab Alvian dari seberang. Suaranya terdengar tidak ramah sekaligus curiga. "Ini nomor adik gue Alena, kan? Siapa lo? Mana Alena?" lanjutnya tidak santai. Alena menepuk jidat, baru ingat jika saat ini ia ada di tubuh Devan. Maka dengan cepat, ia menyerahkan ponselnya pada Devan yang kini sudah menyalakan televisi. Benar-benar cowok menyebalkan! "Apa?" tanya Devan saat tiba-tiba Alena menyodorkan sebuah ponsel padanya. "I-ni ka-kak ku," ucap Alena tanpa suara. Bukannya menyambut, Devan justru menepis tangan Alena menjauh. Ia kembali memencet-mencet tombol remote televisi, mencari-cari channel yang bagus untuk ditonton. "Devaaaannn ..." gemas Alena. Ia berkata sedikit berbisik sembari menutup ponsel agar suaranya tidak terdengar oleh Alvian karena panggilan masih berlangsung. "Jawab dulu ini... Kakakku mau ngomong," lanjut Alena. Devan tetap tidak peduli, menganggap ia tidak pernah mendengar apapun. Ia justru menaikkan volume televisi agar jadi lebih keras. Kesal, Alena pun mematikan sambungan ponselnya. Setelah menaruh benda itu di atas meja, tangannya meraih tangan Devan dan berusaha merebut remote yang ada di tangan cowok itu. Atau cewek? Berhubung Devan kini ada dalam tubuhnya? "Ish, apaan sih lo? Rese banget jadi cewek! Siniin nggak?" Devan menarik kembali remote tersebut. "Nggak! Kamu ngomong dulu sama Kakak aku!" balas Alena tidak mau kalah, menarik ujung remote dari tangan Devan. "Itu Kakak lo kenapa mesti gue yang ngomong? Lo ngomong sendiri lah!" "Tapi sekarang aku ada di tubuh kamu, Bambanggggg...! Mereka nggak akan percaya!" "Bodo amat! Bukan urusan gue! Lepasin nggak ini remote?!" "Nggak mau! Kamu ngomong dulu sama mereka!" "Nggak mau!" "Devan! Bentar aja!" "Ogah!" Mereka terus menerus saling memperebutkan remote tersebut hingga akhirnya Alena hilang kesabaran. Ia menarik tangan Devan yang ajaibnya bisa ia tarik dengan mudah. Mungkin berada di tubuh cowok membuat kekuatannya bertambah. Tapi justru hal tersebut membuat posisi mereka kini tampak sangat awkward. Bagaimana tidak jika setelah menarik tangan Devan, tubuh Alena malah terjengkang ke belakang karena tidak bisa menyeimbangkan badan hingga otomatis Devan kini berada tepat di atas tubuhnya? Mereka terkejut, lalu kedua mata mereka saling bertatapan.... Tsaaaa.... Kedua makhluk beda jenis kelamin yang berada tidak pada tubuh mereka sendiri merasakan perasaan gelayar aneh sekilas. Hanya sekilas dalam artian satu detik, tidak lebih tidak kurang karena tiba-tiba terdengar suara deheman dari samping. Mereka berdua menoleh, mendapati Bi Yana tengah berdiri malu-malu di sana. Alena dengan cepat menyadari situasi dan segera mendorong tubuh Devan agar kembali ke posisi duduk. Sedangkan remote yang sudah berhasil ia rebut, ia sembunyikan di belakang tubuhnya. "A-anu ... Bibi nganterin minuman buat kalian," jelas Bi Yana. Ia menatap  Devan yang aslinya adalah Alena dengan kerlingan geli menggoda. Bi Yana jelas sedang berusaha keras untuk menyembunyikan senyumannya. "Kalau begitu, Bibi permisi dulu, Den... Non..." pamit Bi Yana. Perempuan yang memakai daster bunga-bunga itu melangkah ringan ke arah dapur, melanjutkan kegiatannya untuk memasak makan malam. Sepertinya ia harus menyiapkan makanan yang benar-benar sepsial untuk perempuan yang Devan sebut sebagai teman saat ini.  * * * Sepeninggal Bi Yana, Devan menatap Alena kembali. Ia menengadahkan tangan tepat di depan Alena lalu berkata, "Mana remote-nya?" Alena tidak menjawab. Alih-alih memberikan remote itu, ia justru meraih ponselnya yang tergeletak di meja. "Ngomong dulu ke Kakakku!" ucap Alena, meletakkan ponsel itu ke tangan Devan. "Isssh... Keras kepala amet sih jadi cewek?! Lo kan bisa kirim pesan!" tolak Devan, memberikan kembali ponsel tersebut ke tangan Alena. "Kamu yang keras kepala! Apa susahnya, sih, ngomong doang ke mereka?" Alena kembali mendorong ponsel itu pada Devan. "Dan gue bilang gue nggak mau! Mereka bukan kakak gue!" "Devan! Bentar doang!" "Ogah!" Lagi, mereka saling berdebat. Bedanya, jika tadi mereka saling tarik menarik, kini mereka saling memberikan. Dua remaja tersebut membuat cicak-cicak yang ada di dinding diam-diam merayap menjadi geleng-geleng kepala. Gerakan mereka terhenti saat ponsel Alena berdering. 'Kak Alka memanggil...' Alena meneguk salivanya kasar. Oke, jika sudah ke Kak Alka, masalah bisa lebih besar lagi. Kemungkinan justru kakak pertamanya akan melapor ke kantor polisi dan membuat kehebohan yang sia-sia di sana. Maka dengan cepat, Alena menggeser tombol hijau di layar ponsel dan segera menyerahkan ponsel tersebut ke tangan Devan. Alena menatap Devan tajam seolah mengatakan jika ia siap membunuh Devan jika tidak mau berbicara pada kakaknya saat ini. Terpaksa, Devan berdecak. Ia pun mengalah karena sudah lelah berdebat dengan cewek keras kepala di sampingnya. Ia mengambil ponsel tersebut dan mendekatkannya ke telinga. "Hal..." Belum selesai satu kata itu terucap, Devan sudah mendengar rentetan pertanyaan dari seberang. "Alena! Kamu ada di mana sekarang? Kakak khawatir banget sama kamu! Kenapa kamu nggak balas satu pun pesan yang Kakak kirim ke kamu, hah? Kenapa juga kemarin kamu tidak bisa di hubungi? Kami bertiga cemas sama kamu, berpikir jika terjadi apa-apa sama kamu!" Devan diam mendengarkan, sementara Alena yang tidak bisa mendengar apa-apa menatap Devan cemas. "Bilang aja aku baik-baik aja," bisik Alena. Devan memutar bola mata. Lalu menjawab pada siapapun yang sedang menelpon. "Yo, Kak! Gue nggak papa. Gue masih hidup dan baik-baik aja. Lo nggak usah khawatir sama gue karena gue udah tujuh belas tahun dan bisa jaga diri gue sendiri. Kekhawatiran lo itu terlalu berlebihan. Lo pikir gue bocah, hah?!" Tuuuut.... Devan mengernyit, menjauhkan ponsel yang ternyata sudah mati. "Baterai lo habis!" Devan melempar ponsel tersebut ke arah Alena yang langsung ditangkap dengan sempurna. "Nah, jadi sekarang berhenti ganggu gue dan ..." Devan tidak tau apa kesalahannya. Namun Alena tiba-tiba sudah menimpuknya dengan sebuah bantal sofa. Ia memukul-mukul tubuh Devan tanpa ampun sementara Devan mati-matian menangkis serangan dadakan dari cewek yang berada di tubuhnya itu. "Lo gila, hah? Mau mati, hah? Sini kamu, dasar cowok nyebelin!!!" Alena terus memukul Devan dengan bantal sofa, sama sekali tidak menghiraukan rintihan kesakitan Devan. Bagaimanapun saat ini Devan berada di tubuh Alena, dan yang yang memukulnya adalah Alena yang ada di tubuhnya. Hal itu membuat pukulan itu terasa menyakitkan bagi Devan. "Aaargh! Gue kan udah bantu lo! Kenapa lo malah mukul gue, Siti!" teriak Devan, masih berusaha menepis pukulan-pukulan membabi buta Alena dengan bantal sofa. "Heh, Bambang! Bukannya membantu kamu itu malah membuat masalah tambah runyam!" balas Alena. "Woi, stop dulu! Aduh, sakit woi!" Pada menit ke lima, Alena menghentikan pukulannya. Tenaganya terkuras habis. Rasanya ia lapar. Jika ingat, terakhir yang ia makan sejak kemarin adalah roti Bahkan tadi pagi saat teman-temannya menemukannya pun ia hanya makan roti. Dan sejak perjalanan pulang menuju Jakarta, Devan sama sekali tidak mengajaknya singgah ke warung makan atau minimarket hanya untuk sekedar menikmati mi cup instan. "Kamuhh ... hhh.. bener-beneerh ... hhh... nyebelin!" seru Alena dengan napas sedikit ngos-ngosan. "Lo lebih nyebelin!" balas Devan tak mau kalah. Ia mengelus-elus badannya. Untung tadi Alena memukulnya dengan bantal sofa yang empuk. Meskipun sedikit menyakitkan tetapi tidak meninggalkan luka serius apapun. Merasa lama-lama mengesalkan bersama cewek itu, Devan pun berdiri. Ia mengambil ranselnya lalu melangkahkan kaki meninggalkan sofa. "Kamu mau ke mana?!" seru Alena. Devan mengabaikan ia mulai naik ke tangga. "Devan!" Menoleh, Devan pun menjawab singkat. "Gue mau mandi!" *** Tiga orang lelaki itu saling berpandangan satu sama lain. Menatap satu-satunya ponsel yang baru saja diputus sambungan teleponnya secara sepihak. Tadi Alka memang sengaja men-speaker panggilan teleponnya pada Alena agar Alvian dan Aldi yang sama-sama sangat mencemaskan adik perempuannya itu bisa menjadi lebih tenang, namun apa yang baru saja mereka dengar justru membuat mereka blank. "Kak ... Apa itu tadi?" Alvian lah yang berkata lebih dulu, menatap penuh tanya pada Alka. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Alka karena ia pun bingung. Alka menatap Aldi dan mereka bertiga saling bertatapan satu sama lain. "AAAARRRGGGHH!!!" Dengan kompak mereka bertiga berteriak. Ada yang aneh dengan adik perempuan mereka! Dan mereka harus segera menjemput sang adik kesayangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD