15 - Demi Tuhan!

1543 Words
Tepat saat panggilan telepon diputus sepihak oleh adik perempuan mereka, baik Alka, Alvian dan Aldi segera beranjak dari duduk mereka. Dengan cepat menuju ke pintu loker mereka masing-masing untuk mengemas atau mengambil barang-barang pribadi mereka. Di sana memang tersedia sebuah ruangan loker. Tujuannya adalah untuk para karyawan yang bekerja di tempat itu, tetapi saat ini loker tersebut beralih fungsi menjadi milik pribadi mereka. Ada lima buah loker tepatnya. Hingga masing-masing dari keempat saudara kandung itu mendapatkan satu. Alka pernah mempekerjakan beberapa pegawai dulu. Saat adik-adiknya masih harus fokus untuk sekolah. Tapi semenjak Alena menginjak kelas tiga SMP, Aldi yang sudah kelas satu SMA dan Alvian yang sudah masuk bangku kuliah meminta Alka untuk tidak mengambil karyawan lagi. Alasannya cukup simple, yaitu mereka sudah cukup besar untuk membantu pekerjaan Alka. Mereka bisa menjadi karyawan di restoran mereka sendiri. Selain itu, alasan lebih praktis dan hemat dalam manajemen keuangan keluarga mereka juga menjadi bahan pertimbangan. Terbukti, saat ini mereka sudah memiliki tabungan keluarga yang lebih dari cukup. “Aldi, bilang sama pelanggan yang masih makan untuk segera pergi. Bilang sama  mereka kalau kita akan menutup restoran kita sekarang juga. Jangan lupa untuk minta maaf. Mereka juga tidak perlu membayar makanan mereka.” Alka mulai memberi perintah, sedangkan Aldi mengangguk dan langsung melesat ke depan. “Alvian, segera siapin mobil.” Alka melempar sebuah kunci mobil yang ditangkap gesit oleh Alvian. Tanpa banyak protes atau tanya, Alvian pun sudah menjalankan perintah dari kakaknya. Setelah memakai jaketnya, Alka menutup pintu loker. Ia menuju ruang penyimpanan bahan makanan dan peralatan. Setelah memastikan semua bahan di tempat aman dan tidak ada alat berbahaya yang tergeletak di sembarang tempat, Alka mengunci ruangan tersebut. Pria itu lalu bergegas menuju pantries. Mengecek kompor satu per satu. Setelah yakin semua dalam keadaan mati, barulah ia menuju pintu keluar menyusul kedua adik lelakinya. Alka masih sempat menjumpai Aldi yang membungkuk ramah meminta maaf dengan penuh penyesalan pada pelanggan saat ia keluar. Lalu tak lama kemudian, sebuah mobil Toyota hitam melaju pelan dan berhenti tepat di depan pintu utama masuk restoran. “Ayo, buruan, brothers! Kita jemput Alena kita sekarang juga!” Alvian berseru dari dalam mobil. Pintu kaca jendela ia buka dan melambai pada Aldi untuk segera masuk dalam kendaraan. “Cepat, cepat!” serunya. Aldi berlari kecil lalu masuk ke bagian penumpang mobil. Sedangkan Alka, setelah memastikan pintu restoran terkunci, ia pun menyusul Aldi. Pria itu duduk di bangku depan sebelah Alvian yang mengemudi. Mereka bertiga benar-benar cemas luar biasa. Ada yang aneh dengan adik mereka tadi saat berbicara di telepon. Gaya bahasa yang dipakai Alena terlalu kasar. Seumur-umur tinggal satu rumah, Alena adalah adik perempuan paling polos dan baik hati yang dimiliki oleh mereka. Ketiga kakak berbeda karakter itu selalu memastikan Alena tetap seperti itu. Sama sekali tidak keberatan untuk memperlakukan Alena dengan penuh kasing sayang bak bocah berusia lima tahun yang masih suka diberi permen. Aldi menarik napas panjang. Ia mengambil ponsel di saku celananya lalu menekan nomor Alena. Nihil. Tidak ada jawaban. Justru nada seorang operatorlah yang terdengar di telinganya. “Kamu coba hubungin Alena dong, Al!” “Aku udah coba, Kak! Tapi nomornya nggak aktif,” jawab Aldi pada Alvian. Sekali lagi mencoba menekan nomor Alena. “Coba lagi sampai tersambung. Sampai perut kamu mencret pun aku nggak peduli. Adik kita... Alena... dia pasti sedang sakit.” Aldi mengangguk. Alka meremas kedua tangannya yang sudah dingin. Sementara Alvian menambah kecepatan laju mobilnya. Alena memang benar, ketiga kakak lelakinya sangat over protektif terhadap dirinya. Sudah panggilan ke tujuh ponsel Alena masih belum bisa di hubungi. Aldi merasa frustasi.  Saat ia akan menekan nomor Alena lagi, sebuah notifikasi random dari ponselnya menarik perhatian Aldi. Mengandalkan insting untuk membuka notifikasi tersebut, Aldi menekan dan memasuki sebuah aplikasi berwarna merah jambu. Sebuah akun dengan nama @lambedhowerSMATN mengepos sebuah foto yang membuat kedua bola mata Aldi hendak meloncat keluar. Di sana ada Alena yang sedang menggandeng tangan Devan. Aldi memegang kepalanya yang mendadak merasa pening. Bagaimana mungkin adiknya bisa bersama cowok playboy cap kolor ijo itu? Sepertinya Alena benar-benar sakit. Menggelengkan kepala agar otaknya kembali berpikir jernih, Aldi mengusap layarnya ke bawah, membaca komentar-komentar yang sembilan puluh sembilan persen berisi nyinyiran pada adik kesayangan satu-satunya itu. Ingin rasanya Aldi mengirim santet online pada mereka semua. Dilihat bagaimanapun, seharusnya yang mendapat nyinyiran itu adalah si songong belagu Devan, bukan Alenanya. Lalu, sebuah komentar baru yang muncul yang disusul dengan komentar-komentar lain menyita perhatian Aldi. @mawarcantikjelita : iya sist, gue lihat dengan mata kepala gue sendiri kalau mereka pulang duluan bawa mobil. Sumpah ya sist, entah pakai santet apa itu cewek cupu tapi besok hari Senin gue bakal nanya ke dia. Siapa tau Iqbal Ramadhan juga bakal kepincut sama gue!” Dari satu kalimat tersebut, Aldi bisa mengambil kesimpulan dengan cepat.  Cowok itu memeriksa kapan postingan itu di unggah dan mendapati sudah sekitar tiga jam yang lalu. Dan itu berarti Alena saat ini memang bersama dengan Devan. Tanpa pikir panjang, Aldi pun langsung menyebutkan sebuah alamat rumah di area yang terkenal cukup elit di daerah Jakarta pada Alvian agar Alvian mengemudi ke sana. Jaraknya kini pun sudah lumayan dekat dengan perumahan yang disebut Aldi. Alvian sempat bertanya kenapa dan Aldi menjelaskan singkat jika Alena sudah berada di Jakarta dan kemungkinan berada di alamat tersebut. Karena sempat tidak percaya, Aldi pun memperlihatkan sebuah gambar postingan yang ia lihat di i********: miliknya , menyebabkan Alvian hampir kehilangan kendali pada mobil yang ia kendarai. "Siapa dia?" Kali ini Alka bersuara. Menatap serius pada Aldi. Aldi membalas tatapan Alka tak kalah serius. "Devan. Cowok yang paling harus dihindari oleh Alena." "Ap-apa maksud kamu? Kenapa dia cowok yang harus dihindari sama Alena?" tanya Alvian, sesekali melirik ke belakang. Jantungnya masih berdebar kencang adrenalin karena tadi saat ia kehilangan kendali beberapa detik, ia hampir menabrak sebuah pohon. "Karena, Kak. Devan ini penjahat kelamin. Cowok yang barangkali sudah menghamili seperempat siswi di sekolahku!" Jawaban Aldi membuat Alka dan Alvian serempak terkesiap, menahan napas dalam-dalam. Dan seolah mewakili suara hati Alka yang paling dalam, ALvian sudah berteriak. "Nggaaaakkk!!! Alenaaa kesayangankuuuuuu... Jangaaaan!!!" Cowok itu pun lagi-lagi mempercepat laju mobilnya seperti orang kesetanan. Menuju tempat di mana cowok bernama Devan itu tinggal. *** “Kamu mau ke mana?!” Alena berteriak, bertanya pada Devan yang sudah menaiki tangga. “Mandi!” Alena menghela napas, menghempaskan tubuh ke sofa. Ia memijit pelipis. Harusnya sekarang ia dan Devan duduk di sini dan mulai membicarakan tentang bagaimana hidup mereka ke depan. Harusnya mereka berdua ada di sini untuk bersama-sama mengupas misteri kenapa jiwa mereka bisa tertukar. Atau bagaimana cara agar jiwa mereka bisa kembali ke tubuh asli mereka. Bukankah ini semua sangat mustahil? Bahkan jika Alena pikir-pikir semua yang terjadi padanya dan Devan sangat tidak masuk akal dan di luar akal sehat manusia saat ini. Haruskah ia mendatangi pusat penelitian pemerintah untuk sekedar berkonsultasi atau mengecek apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya? Atau mungkinkah ini semua hanya imajinasi dan mimpinya belaka? Mungkin saja ia sudah gila dan tidak waras gara-gara tersesat semalaman di hutan. Benar! Hal itulah yang mungkin terjadi. Alena mengangguk optimis. Oke, sepertinya ia perlu mengecek sekali lagi. Dengan cepat, ia pun meraih ponselnya yang tergeletak di atas karpet. Hal tersebut membuat ia semakin yakin jika yang terjadi hanyalah imajinasi yang mengakibatkan khayalan-khayalan belaka sebab Alena tidak akan pernah melemparkan ponsel kesayangan yang ia beli sendiri dari hasil uang saku yang telah mati-matian ia kumpulkan selama setengah tahun lebih. “Apa ini?” Alena mengetuk-ngetuk dan mengguncangkan ponselnya yang sudah mati sama sekali. Lalu menekan tombol power untuk menghidupkan benda persegi panjang tersebut, berharap ponsel itu masih bisa menyala meski hanya beberapa detik. Ia perlu mengecek sesuatu melalui kamera. Sia-sia. Ponselnya tetap tidak menyala. Alena menghela napas. Tak lama kemudian, ia teringat jika ponsel yang sudah mati sekalipun masih bisa dipakai untuk bercermin. Meskipun tidak akan memiliki fungsi yang sama persis seperti sebuah cermin asli tetapi itu tidak penting. Yang Alena butuhkan adalah sebuah konfirmasi bahwa ia memang sedang berimajinasi. Kini, Alena sudah menatap pantulan dirinya di layar ponsel. Dan lagi-lagi ia shock, menatap tidak percaya pada sosok tersebut. Tangannya naik, meraba wajah dan rambutnya. Alena menghela napas, lalu mengacak rambutnya kesal. “Aaaargggh!!” serunya frustasi. Kedua kakinya menjejak lantai menyadari jika ia benar-benar berada dalam tubuh Devan. “Aish, harusnya cowok nyebelin itu ada di sini buat mikirin solusi! Bukannya malah mandi dan ...” Tunggu dulu! Mandi? Kedua bola mata Alena membulat sempurna. Ia menatap ke lantai dua yang sama sekali sudah tidak ada tanda-tanda keberadaan Devan. Jika Devan mandi berarti cowok itu bakal... Alena menarik napas. Demi Tuhan!!! “Ngggaaaakkkk!!!” Seiring dengan teriakan horornya, dengan langkah lebar dan panjang seorang cowok, Alena berlari menaiki tangga. Sesampainya di lantai dua, Alena menoleh ke kanan dan kiri. Ia panik sepanik-paniknya. Di manakah kamar Devan berada? Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah kanan. Ia menemukan sebuah ruangan yang yang penuh dengan alat-alat olah raga. Ia meneruskan langkah hingga menemukan sebuah kamar dengan pintu bercat putih. Ia pun membuka pintu tersebut dan nihil. Kamar itu sama sekali kosong. Tidak ada tanda-tanda seorang pun di sana. Menutup pintu, Alena berbalik dan berlari menuju arah yang berlawanan dengan yang tadi ia ambil. Ia sempat melewati sebuah ruangan yang penuh dengan buku-buku. Sepertinya itu adalah sebuah perpusatakaan. Jika saja Alena tidak dalam keadaan panik, ia pasti akan masuk ke dalam sana dan menikmati ruangan tersebut seperti berada di surga. Namun ia tidak punya banyak waktu. Ia menutup kembali pintu perpustakaan, menemukan sebuah kamar kosong lagi hingga akhirnya hanya tersisa sebuah pintu terakhir yang terletak di paling ujung. Lagi, Alena berlari. Berharap ia tidak terlambat. BRAK!! Alena membuka pintu lebar-lebar tidak sabar. Dan lagi-lagi ia berteriak histeris saat melihat Devan hendak melepas kaus yang ia pakai. “Nggaaakkk!!” teriak Alena histeris. Ia tidak bisa membayangkan tubuh telanjangnya dilihat oleh seorang cowok. Sekarang apa yang harus ia lakukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD