22 - Ciuman Pertama, Berhasil!

1893 Words
Perempuan itu sudah menutup mata, menunggu. Dengan debaran jantung yang sama sekali normal. Pantas saja, sebab ia sudah beberapa puluh kali pacaran. Dan ciuman bukanlah hal yang asing bagi dia. Tak terhitung lagi pula berapa bibir yang sudah ia cecap dan rasakan. Awal-awal dia melakukan ciuman itu, mungkin ia merasa berdebar hebat dan berkeringat dingin tetapi lama kelama menjadi sebuah hal yang biasa. Seperti rutinitas yang menjemukan. Hal-hal yang sering kita lakukan sehari-hari pun akan terasa seperti itu cepat atau lambat. Rasanya Devan sudah memejamkan mata dan menunggu cukup lama, tetapi tak ada apapun yang ia rasakan menempel di bibirnya. Dia menghela napas jengah. Sungguh, menunggu adalah salah satu hal yang dia benci. Menyebalkan! "Heh, cupu! Buruan! Lo masih di sana, kan?!" serunya tetapi masih dengan mata terpejam sempurna. Lalu sebuah jawaban dengan suara yang sedikit bergetar terdengar. "Iya ...," Devan tidak tau jika saat ini kedua telapak tangan Alena berkeringat dingin. Cewek yang berada di tubuh cowok itu memilin kedua tangannya, menarik napas dalam berkali-kali demi menenangkan debaran jantung yang saat ini menggila. 'Ayolah, Alena! Itu bukan Devan! Itu tubuh kamu, badan kamu, jadi kamu nggak perlu tegang! Kamu cuma bakal nyium bibir kamu sendiri, bukan bibir Devan!' manteranya dalam hati. Sementara hatinya masih berusaha bernegosiasi dengan tubuh agar tidak tegang lagi. "Lo lagi ngapain, sih? Pipis di semak-semak?!" tanya Devan ngegas karena sudah tidak sabar lagi untuk menunggu lebih lama. Ajaibnya, ia masih menutup mata sampai saat ini. "Bu-bukan gitu...," sahut Alena. Ingin sekali menabok bibir Devan. "Beri aku waktu sebentar!" "Gue nggak suka nunggu! Dalam hitungan ketiga kalau lo belum --" "Devan, aku grogi tau!" sela Alena cepat. Wajahnya memanas karena malu. Devan terdiam sejenak. "Oh," ucapnya paham. Ia membuka mata lalu netranya langsung menangkap sosok pria yang sedang menunduk dan menggigit bibir. Ia membuang muka, menatap ke arah mana saja demi agar tidak melihat wajah orang di depannya. "Kalau lo grogi, lo aja yang tutup mata! Biar gue yang cium lo!" tukas Devan ringan. Namun Alena menggeleng cepat. "Nggak! Ini ... Ini ciuman per.. Ini ciuman pertam..." Alena menghela napas, tidak bisa melanjutkan perkataan yang menurutnya sangat memalukan. Devan menatap Alena lama yang masih salah tingkah, lalu menghela napas kasar. "Jangan menampakkan ekspresi memalukan kayak gitu saat lo ada di tubuh gue! Gue nggak pernah bertingkah kayak banci!" "Kalau kamu lupa, Devan, aku ini cewek," decak Alena, kegugupannya mendadak hilang karena terpancing ucapan Devan yang ngajak tawuran. Devan mendesis. "Ya udah! Buruan merem!" Alena menggeleng. "Kamu aja yang tutup mata." Oke, kesabaran Devan sudah habis. Ia membuang napas kasar lalu berbalik. "Udahlah lupain aja! Itu hanya sebuah teori konyol dari gue. Besok kita bicara lagi. Gue pulang sekarang, selamat malam." Alena terbelalak lalu dengan gerakan refleks, dia menarik tangan Devan hingga tubuhnya berbalik. Tepat saat itu, di momen yang sama sekali tidak Devan sangka, saat itulah Alena menempelkan bibirnya. Nol koma nol nol nol sembilan detik. Tidak ada satu detik bibir itu saling menempel. Alena sudah menjauhkan tubuh. Matanya masih terpejam rapat karena tadi saat ia melakukan ciuman pertamanya, gadis itu memejamkan mata. Mukanya memerah. Devan mengerjab. Hah? Apaan tadi? batinnya masih mencerna. Dan terdiam lama karenanya. Setelah bebapa detik atau menit kemudian, barulah Alena berani membuka mata. Dan pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah .... tubuhnya. Masih ada di sana, berdiri, dengan angkuh, dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. Alena menghela napas, lalu mengacak rambut frustasi. Ternyata sebuah ciuman tidak dapat mengembalikan jiwa mereka ke tubuh asli mereka. Alih-alih merespon Alena yang tampak kacau dan kecewa karena teori yang ia sampaikan tidak berhasil. Devan justru berkata. "Lo bau." Alena menatap Devan heran. Apa maksudnya? Dengan tubuh ALena, Devan mencondongkan tubuh ke depan. Membuat Alena refleks melakukan hal yang sebaliknya. Devan yang kini tinggi badannya lebih pendek dari Alena, mengendus-endus badan Alena seperti seekor chihuahua. "Udah berapa hari lo nggak mandi?" Alena mengerjab. Bernapas lega karena Devan sudah menegakkan badan. Cowok itu menatap Alena dalam. "Jangan bilang lo belum mandi sama sekali sejak kemarin? Dua ... Nggak, tiga hari!" tukas Devan, mata nya memicing. "I-itu ..." Alena jadi salah tingkah, karena terkesan ia sangat ... "Jorok! Dasar cewek jorok!" desis Devan jijik. Ia maju, membuat Alena mundur. Terus maju dan Alena terus mundur ke belakang. Hingga akhirnya tubuh cowok itu membentur sebuah pohon besar hingga mau tak mau, Alena harus berhenti. Dan Devan juga berhenti beberapa senti darinya. Cewek itu mendaratkan sebelah tangannya tepat di batang pohon, memenjarakan tubuh cowok itu dalam kungkungannya. Devan mendongak, menatap mata Alena serius. "Lo! Kalau sampai gara-gara lo gue punya penyakit panu, k***s atau kurap, gue bakal bikin lo menyesal!" Alena tidak bisa berkata apa-apa. Ia memiliki alasan yang kuat kenapa ia tidak mandi. Bahkan membayangkannya saja ia tidak mau. Meskipun dia sudah buang air kecil, tetapi sungguh, bahkan ia melakukannya sambil merem dan tidak menyentuh apapun! SUmpah! Menggeleng, ALena mencoba mengusir bayangan-bayangan yang membuatnya geli setengah mati. Nggak, Alena! Nggak! Otak polos kamu nggak boleh ternodai sebelum berusia tiga puluh tahun! Eh! Mendadak Alena memikirkan sesuatu. Kenapa ia  baru memikirkan hal ini? Cewek yang tadi terintimidasi sekarang jadi balik menatap Devan, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu ia terkesiap. Nggak mungkin, jangan bilang kalau dia ... "Kamu mandi sama tubuh aku?!" Alena tidak pernah menyangka jika cowok itu akan memberikan jawaban sesantai ini. Ia melipat kedua tangannya ke depan d**a lalu mengangguk. "Tentu! Gue bukan cewek jorok kayak lo! Jadi, bisa dipastikan kalau tubuh lo ini bersih dan ..." Devan tidak melanjutkan ucapannya, karena mendadak ia merasakan hawa membunuh di depannya. Dan alarm tanda bahaya langsung berbunyi. Dengan cepat ia berbalik lalu berlari. Alena ada di sana, dengan langkah panjang dan murka mengejar Devan karena ingin mencekik leher cowok itu. "Berhenti! Aku bakal bunuh kamu! Devaaaannnn!!" Alena terus mengejar Devan sementara Devan lari sekuat tenaga. Ia masih ingin hidup dan selamat. Entah sudah berapa lama mereka berlari yang hanya berputar di dalam taman, tubuh mereka mulai kelelahan. Keringat mengucur deras, membasahi pakaian mereka masing-masing. Padahal udara malam cukup dingin karena banyak pepohonan di sana tetapi olah raga di malam hari ternyata menguras banyak tenaga. Dengan napas tersengal-sengal dan tidak kuat berlari lagi, Devan akhirnya berhenti. Ia mengangkat tangan ke atas tanda menyerah, lalu menunduk dengan menyangga tubuh pada kedua tangan menumpu lutut. Tak jauh sama seperti Devan, kondisi Alena pun sama. Cewek itu berhenti tepat selangkah di belakang Devan. "Heh hhh hhh, cowok hhh hhhh .... cowok ... hhh... hhh... mesum... playboy hhh... hhh k*****t!" umpat ALena di sela-sela napasnya yang masih tinggal separoh.  Devan mengabaikan, sungguh, berada dalam tubuh cewek sama sekali tidak memberikan dia banyak keuntungan. Kaki Alena jelas jauh lebih pendek dari pada kaki aslinya, dan tenaganya pun berubah jadi seperti tenaga cewek. Devan akhirnya duduk di rerumputan hijau yang sudah setengah basah. Lalu tanpa takut kotor, ia membaringkan tubuh. Ia masih berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdebar gila-gilaan karena dipacu berlari dan juga menormalkan napasnya kembali. Melihatnya, membuat Alena juga melakukan hal yang sama. Ia butuh istirahat. "Denger ya, cupu! Lo serius harus mandi! Nggak peduli gimana pun keadaannya, lo harus mandi. Gue benar-benar nggak suka kotor." ucap Devan di sela napasnya yang mulai kembali normal. Alena menggeleng keras kepala. "Nggak. Aku cewek baik-baik, dan aku nggak akan mandi seberapa lama pun aku akan ada di tubuh kamu." Devan mendengus setengah kesal setengah geli. Cewek itu benar-benar keras kepala. "Lagipula Alena. lo nggak mungkin tahan untuk nggak mandi selamanya kan?" Diam-diam Alena menyetujui. Ia bahkan sudah sangat ingin mandi sejak kemarin malam setelah Devan dan ketiga kakaknya pulang ke rumah. Tubuhnya terasa sangat gerah dan berkeringat, tetapi karena egonya, ia bisa mengendalikan keinginannya. Cewek itu tertidur, tetapi bangun tengah malam. Ia ingin buang air kecil tetapi tidak mau. Ia sudah berusaha mati-matian menahannya tetapi ia tidak mampu. Setelah masuk ke kamar mandi dan mengabaikan betapa besar dan mengagumkan kamar mandi milik cowok itu, melihat betapa segarnya air mengalir dari dalam toilet duduk juga sebuah jacuzzi mewah lengkap dengan wewangian sabun dan sampo, tubuhnya berteriak-teriak ingin masuk ke dalam sana. Namun lagi-lagi, Alena menekan hasratnya. Berteriak balik pada tubuhnya seperti orang gila. "Nggak! Kalian nggak boleh mandi! Nggak, sampai pemilik asli tubuh kalian balik ke ke kalian!" Hal itu berakibat pada dirinya yang tidak bisa kembali tidur. Alena terjaga sepanjang malam hingga subuh. Lalu demi sekali lagi menahan godaan untuk kembali ke kamar mandi, ia menuju dapur dan memasak. Ia juga bertemu dengan Dewa, pria keren penuh wibawa yang Alena tau sebagai Ayah Devan. "Maaf soal kehilangan Mama kamu." Entah kenapa Alena tiba-tiba mengucapkan kalimat itu. Ia terkejut saat Dewa mengatakan bahwa Mama Devan sudah meninggal. Devan terkejut dengan ucapan mendadak Alena tentang mamanya, namun ia tetap bungkam. Cowok itu juga baru mengetahui sebuah fakta lain yang mengejutkan selain Aldi yang ternyata adalah kakak kandung Alena, yaitu kedua orang tua Alena yang sudah lama meninggal.  Suasana malam itu mendadak berubah menjadi mendung. Pikiran Alena sudah jauh berkelana pada masa lalu, saat kedua orang tuanya masih hidup. Kala itu semua terasa sempurna. Ayah, Ibu, Kak Alka, Kak Alvian, Kak Aldi dan dirinya. "Itu bukan ciuman," ucap Devan yang justru menolak pikiran untuk kembali ke masa lalu padahal dalam hati kecilnya ia ingin mengingat. Cewek itu bangkit duduk, lalu menoleh pada Alena yang sudah menatapnya tidak paham. "Yang lo lakuin tadi, itu bukan ciuman. Itu namanya kecupan," terang Devan. Ia berdiri, lalu menepuk bagian belakangnya yang sedikit kotor. Alena mengikuti, tetapi masih dengan posisi duduk. "Ayo kita coba sekali lagi!" Devan menjulurkan tangan kanannya untuk membantu sosok cowok itu berdiri. Sejenak, Alena menatap uluran tangan Devan, lalu menerimanya. "Percuma, teori kamu nggak akan berhasil," tukas Alena setelah kedua kakinya menejak ke tanah. Ia mendongak, menatap sang bulan yang sinarnya mulai pudar karena tertutup lapisan awan gelap. Sepertinya sebentar lagi hujan. "Seenggaknya, kita harus nyoba sekali lagi," yakin Devan. Kini ia sudah berdiri tepat di depan Alena dan menatap serius. Mengerjab, lagi-lagi jantungnya berulah. Alena berdehem demi menutupi kegugupannya. "Tapi-" "Tutup mata lo," sela Devan. Dan kali ini Alena tidak membantah. Ia menutup mata, jantungnya berdebar keras. Devan tersenyum miring, lalu ia mengalungkan tangannya ke leher Alena yang memejamkan mata semakin erat. "Lo harus tau beda antara kecupan dan ciuman. Dan ini, lo harus inget baik-baik, adalah sebuah ciuman." Tepat setelah ia berkata demikian, Devan menempelkan bibirnya ke bibir Alena. Kedua mata bocah remaja itu terpejam, yang satu karena takut dan tegang sebab ini baru pertama kali baginya, sedang yang lain tampak lebih santai. Devan membuka mulut, menggoda mulut sang lawan yang terasa kaku. Hingga bibir sang lawan mulai memberi respon tak berarti, membuat Devan mengerang dan semakin memperdalam ciumannya. Rasanya seperti kapas, manis dan ringan. Dan titik-titik hujan pun mulai turun, membasahi dua insan yang sedang lupa pada dunia dan saling mencecap rasa satu sama lain. Mereka bahkan mengabaikan rasa sakit di leher mereka masing-masing. Tidak menyadari jika sebuah tato kecil berbentuk kupu-kupu telah hilang sama sekali dari sana. Hujan semakin deras, dua remaja berbeda kehidupan itu melepaskan ciumannya. Perlahan membuka mata masing-masing. Berkedip, mereka sama -sama terpana pada wajah masing-masing, menyerap betapa indah makhluk di depan mereka saat ini. Dan sebuah kenyataan lain yang menyentak mereka. Keduanya mundur selangkah, lalu menunduk, mengamati tangan dan tubuh mereka yang sudah basah. Lalu dengan sebuah senyuman lebar keduanya tertawa dan berteriak bersama. "Kita berhasil! Tubuh kita sudah kembali!" Melompat-lompat seperti anak kecil di tengah guyuran hujan, keduanya menari seperti orang gila. Melepaskan semua hal yang membuat mereka cukup stress tiga hari terakhir. Hal paling tidak masuk akal yang pernah terjadi di muka bumi. Keduanya sama-sama bersorak gembira. Dan langit pun seolah sedang tersenyum ikut berbahagia. Tidak tau saja jika senyuman itu terkadang bisa berubah menjadi sebuah seringaian. Sosok itu menatap dari jauh, di salah satu susut lampu taman yang sudah mati sama sekali. Air hujan tidak mengenai tubuhnya. Dan ia pun berbisik pelan... "Tidak semudah itu, Fergusoooo..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD