Entah mimpi apa yang tadi malam di alami oleh tiga orang lelaki dengan umur yang berbeda itu. Kemarin, adik mereka Alena, menunjukkan sikap yang sama sekali terasa asing dan aneh. Mereka bertiga bahkan sempat merundingkan tentang perubahan tingkah laku Alena semalaman di restoran sembari menunggu hujan deras yang mengguyur ibu kota reda.
Namun sekarang coba lihat! Di kala mereka bertiga berlomba-lomba untuk bangun paling pagi demi membuat sarapan kesukaan sang adik perempuan, Alena justru sudah berada di sana. Gadis yang kini memakai bandana merah jambu sebagai pengikat rambut itu bergerak dengan gesit ke sana ke mari, di tangan kanannya bergantian menjangkau pisau untuk memotong buah-buahan dan spatula yang kini ia gunakan untuk menggoreng bakwan jagung.
Alena sudah memakai seragam putih abu-abu. Sebuah celemek hello kitty terpasang sempurna di tubuhnya, sementara sebuah senandung kecil keluar dari bibir mungilnya.
Baik Aldi, Alvian dan Alka saling menatap, dahi mereka sama-sama berkerut dalam. Mereka mempunyai suara hati yang sama. Apakah yang kemarin itu hanya mimpi belaka?
Menyadari ada yang memperhatikan, Alena menoleh, lalu sebuah senyuman manis mengembang sempurna mengangkat kedua sudut bibirnya.
"Kak Alka, Kak Alvian, Kak Aldi!" serunya riang. Ia meletakkan spatulanya di atas wajan yang masih menyala lalu segera berlari menuju mereka. Dengan perasaan bahagia yang tidak terkira, gadis itu memeluk mereka bertiga bergantian dengan erat. "Alena kangeeeennn..." ucapnya saat memeluk Aldi.
Aldi tersenyum, memeluk balik Alena. Cowok itu mengusap punggung adik perempuannya dengan sayang lalu membenamkan wajahnya dalam-dalam pada leher Alena. "Aku juga kangen sama kamu, Alena."
Entah kenapa momen yang biasanya terlihat normal bagi Alka dan Alvian itu terasa berbeda. Mereka berdua saling menatap satu sama lain, lalu dengan kekuatan telepati antar saudara lelaki, keduanya serempak maju dan memisahkan pelukan Alena dan Aldi. Alvian menarik tubuh Alena dan Alka menarik tubuh Aldi agar menjauh.
Hal tersebut membuat Alena mengerjab tidak mengerti. Ia baru akan membuka mulut bertanya tetapi Alvian dengan cepat sudah berkata. "Alena, kayaknya masakan kamu gosong deh!"
Kedua bola mata Alena membulat. Hampir saja ia lupa jika ia masih memasak. Sakin kangennya ia pada tiga saudara lelakinya sampai-sampai ia terbawa suasana. Alena pun segera bergegas kembali menuju dapur dan melanjutkan menyiapkan sarapan pagi seperti yang ia lakukan.
Sepeninggal Alena, Alka menarik Aldi menjauh dari dapur. Bersama Alvian, mereka bertiga menuju ruang keluarga. Aldi yang diseret begitu saja menjadi kebingungan.
"Apa? Ada apa???" tanyanya, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menyelidik dengan sempurna pada dua kakak lelakinya. Alih-alih mendapatkan jawaban, yang ia jumpai malah tatapan menyelidik dan curiga balik. Alka dan Alvian menatapnya serius.
"Aldi," ucap Alvian, tangan kirinya terjulur menepuk keras pundak Aldi. "Jujur saja sama kami... kalau kamu ... kamu dan Alena benar kan tidak pernah mempunyai hubungan lebih seperti pacar mungkin?"
"Apua? Kak Alvian pikir aku ini Kakak macam apa?! Aku ini Aldi, kakak laki-laki terbaik Alena ..." tepat saat ia menyebutkan kata terakhir, matanya jatuh pada Alka. Dengan cepat, cowok itu pun menambahkan. " ... setelah Kak Alka. Ya, aku adalah kakak laki-laki terbaik kedua yang Alena punya!"
Aldi melipat kedua tangannya di depan d**a dengan angkuh. "Kalian berdua ini pasti udah nggak waras! Bisa-bisanya aku yang paling unyu dan tampan di sini di fitnah! Aku nggak terima!"
"Aish ... banyak cingcong!" Alvian menjitak kepala Aldi, dengan cepat ia memiting adik lelaki yang terpaut empat tahun dengannya itu. Membuat Aldi berteriak-teriak. "Aduh, aduh! Lepasin b**o! Sakit iniiii!"
Alvian mengabaikan. Ia terus memiting kepala adiknya dan tertawa keras. Entah kenapa melihat adik lelakinya menderita membuat hatinya bahagia.
Alka menghela napas. Melihat kedua cowok yang saat ini bertingkah seperti anak kecil. Ia menggelengkan kepala, lalu segera pergi ke dapur menyusul Alena.
"Hmmm ... baunya enak," senyum Alka. Ia mengambil sebuah pisau dan telenan kotor di meja pantries dan membawanya ke tempat cuci piring. Setelah melipat lengan baju sampai siku, Alka mencuci benda-benda kotor yang ada di sana.
"Kak Alka duduk aja di meja makan, Itu biar nanti Alena sendiri yang beresin!" tegur Alena.
"Nggak apa-apa dong sekali-sekali Kakak bantu kamu," jawab Alka. Dengan gesit tangannya bergerak mengusapkan sabun pada sebuah mangkuk kotor.
Alena tersenyum saja, lalu kembali fokus memasak. Tak lama kemudian, ia sudah beres menyiapkan sarapan. Gadis itu menatanya di meja makan dan puas dengan hasil karyanya. Sarapan empat sehat lima sempurna ala chef Alena, hihi...
Alena baru saja melepas celemek saat Alka bertanya. "Kamu benar-benar nggak apa-apa? Maksudku ... akhir-akhir ini nggak ada apapun yang mengganggumu kan?" Alka menatap dalam mata Alena.
Mengerjab, Alena tersenyum lembut. Sebuah senyum yang hanya ia berikan pada keluarganya. "Alena nggak apa-apa, Kak! Kak Alka nggak usah khawatir! Alena ini udah tujuh belas tahun dan Alena bisa jaga diri!"
Alka tersenyum mendengar kalimat yang akhir-akhir ini sering ia dengar dari adik perempuannya. Dan entah kenapa kalimat itu membuat hati Alka yang sejak kemarin cemas menjadi lega luar biasa. Setidaknya kalimat itu memberi tahu dia bahwa Alena memang baik-baik saja. Alena nya sudah kembali.
“Nah, ayo, Kak, kita sarapan. Alena sudah lapar!”
Alka mengangguk, lalu memanggil dua adik lelakinya yang masih berdebat kecil. Namun segera berlari berebutan kursi yang paling dekat dengan Alena. Alka menggelengkan kepala, sepertinya yang harus lebih ia khawatirkan adalah dua remaja cowok ini.
* * *
Devan semakin mengeratkan selimut pada tubuhnya saat Bi Yana datang ke kamar dan mulai meneriaki namanya untuk segera bangun.
“Den Devan, ayo bangun buruaannn... Ini sudah siang lho! Nanti ke sekolah terlambat!” seru Bi Yana sembari mondar-mandir memunguti pakaian-pakaian kotor Devan yang tergeletak di mana-mana. Ini memang sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari.
Bukannya menurut, Devan justru meraih sebuah bantal dan menutup kepala dengan benda itu. Hafal dengan kelakuan Devan, Bi Yana menggelengkan kepala. Wanita paruh baya itu menuju jendela dan membuka gorden lebar-lebar. Tangan gemuknya meraih jam weker di atas nakas lalu menyetel alarm sebelum meletakkannya kembali di tempat semula. Lalu ia pergi dari sana sembari membawa ranjang kotor.
Tak lama setelah kepergian Bi Yana, jam weker itu berbunyi nyaring. Saking kerasnya sampai-sampai bantal yang ia gunakan menutup telinga untuk menghalau suara apapun tidak mempan. Devan mengumpat, lalu dengan gerakan kasar, cowok itu beringsut bangun.
“Apa, sih! Berisik banget k*****t!!” teriaknya kesal. Matanya masih menyipit menahan kantuk, tetapi suara nyaring tersebut tidak berhenti.
Devan menoleh lalu mengacak rambut. Jam weker s****n! Umpatnya. Ia meraih jam tersebut lalu segera membantingnya ke atas kasur. Jika ia tidak ingat siapa yang memberikan jam weker itu, sudah ia hancurkan jadi debu dan jual benda itu sedari lama. Serius, mempunyainya seperti sebuah kutukan bagi Devan!
“Diam!” tunjuk Devan. Matanya melotot tanda ia benar-benar marah. Tapi jam weker berbentuk kodok itu terus bergetar dan berbunyi. Menunjukkan tanda sekarat karena low battery pun tidak.
Akhirnya, Devan meraih benda tersebut. Bibirnya cemberut menatap jam kodok berwarna hijau. “Iya, iya, bawel! Udah, sekarang kamu diam, ok? Aku sudah bangun nih!” ucapnya sembari menekan tombol off. Jam itu pun diam, hanya detak jarum panjang yang masih berputar.
Devan tersenyum tipis, meletakkan kembali jam weker tersebut di atas nakas. Selain kalung milik Mama yang sekarang masih menggantung di lehernya, jam weker itu adalah pemberian berharga dari seorang bocah cengeng dan ingusan saat ia masih TK dulu.
‘Hei, kamu! Apa kamu masih ingat aku?Aku masih menyimpan kodok jelek kamu ini, tau! Tapi kamu sekarang ada di mana? Dan apa kamu masih cengeng kayak dulu?’ tanyanya menerawang jauh ke kejadian beberapa tahun silam.
-Flashback on-
Saat itu langit sudah senja. Matahari akan pulang ke rumahnya demi bergantian shift dengan Bulan. Devan ada di sebuah taman bermain. Tidak ada seorang pun ada di sana karena sejak sepuluh menit yang lalu, anak-anak yang bermain di taman tersebut sudah di jempul oleh orang tua mereka.
Devan menatap kepergian mereka sedih. Tau jika tidak akan ada yang datang untuk menjemputnya. Biasanya, Mama yang akan melakukannya, tetapi kini Mama sudah tidak ada.
Berbalik, Devan menghela napas panjang, berusaha menahan rasa sesak di d**a. Bocah enam tahun itu. memutuskan akan bermain sebentar lagi saja, dan ia akan pulang saat matahari sudah benar-benar menghilang. Lagipula ia memang butuh sendirian. Seperti biasa.
Lalu....
“DEN DEVAN CEPAT MANDI!! SEKOLAH DEN!!” teriakan Bi Yana tepat di depan pintu kamarnya mengejutkan lamunan Devan. Cowok itu mengerjab. Gagal sudah flashback tentang pertemuan dirinya dengan bocah itu. Dasar Bi Yana! Suka sekali mengagalkan momen-momen nostalgia Devan.
“DEN DEVAN, BURUAN! MASAKAN BIBI GOSONG! SUDAH YA BIBI TINGGAL!” Lagi-lagi Bibi berteriak. Dengan tangan yang masih memegang spatula, ia berjalan cepat menuruni tangga untuk kembali menuju dapur.
Devan meneriakkan kata agar Bi Yana hati-hati. Selalu seperti itu. Devan menyayangi Bi Yana dan tidak ingin wanita itu celaka. Umur Bi Yana sudah tidak semuda dulu, dan diam-diam Devan suka khawatir karena wanita paruh baya itu masih melakukan hal tersebut setiap pagi. Naik turun tangga hanya untuk memastikan ia sudah bangun dan siap-siap berangkat ke sekolah.
Beberapa menit kemudian, Devan sudah rapi. Ia mengamati penampilannya dari atas ke bawah. Seragam putih abu-abu tanpa dasi sudah melekat sempurna. Rambut hitamnya ia beri gel dan tubuhnya sudah wangi dan segar beraroma maskulin.
“Heh, lo! Lo emang kelihatan tampan di cermin ini tapi ketahuilah, kalau elo lebih tampan aslinya!” ucap Devan pada pantulan dirinya, mengingat-ingat kembali bagaimana ia terlihat di mata Alena, hari di mana ia menjadi Alena dan bisa melihat dirinya sendiri.
Devan tersenyum miring. Ia meraih jaket levis dan tas ransel hitam yang di dalamnya hanya berisi satu buku tulis dan satu bolpoin. Ia tidak peduli apakah ia memiliki tugas atau tidak. Hukuman adalah nama tengahnya. Dan ia memiliki sebuah moto keren; ‘cowok itu nggak takut dihukum!’
Menuruni tangga dengan cepat, Devan melirik arloji di tangannya. Kakinya melangkah cepat menuju ruang meja makan dan mendapati seorang wanita paruh baya sedang menata risoles, ca kangkung, nugget dan ayam goreng. Perut Devan pun langsung berbunyi minta makan.
“Hmmm... Masakan Bibi emang yang paling TOP!” puji Devan. Ia duduk di salah satu kursi.
“Den Devan bisa aja! Bibi ini justru nggak pernah nyangka kalau masakan Den Devan bisa enak banget! Kemarin si Sari sampai nambah tiga piring, Den!” sahut Bi Yana sembari menyiapkan piring untuk Devan dan mengisinya dengan nasi putih beserta lauk-pauknya.
Devan mengerjab tidak mengerti. Ia baru akan menyanggah jika ia tidak pernah dan tidak akan mau memasak tetapi aroma lezat yang masuk ke indera penciumannya menjadikan ia lupa. Cowok itu mengambil sendok dan garpu lalu segera menyantap sarapannya.
“Omong-omong, Den Devan belajar masak dari mana?” BI Yana yang penasaran masih saja bertanya. Sebuah senyuman tulus pun tidak lepas dari bibir nya.
Mengernyit, Devan berusaha menelan sarapan paginya. “Maksud Bibi apa sih? Devan nggak pernah—“
Ucapan Devan terhenti saat suara sepatu terdengar mendekat. Devan dan Bi Yana menoleh ke arah asal suara. Berbeda dengan Bi Yana yang menyambut sang majikan utama, Devan justru mengedipkan mata tak percaya. Kenapa pria itu ada di sini?
“Selamat pagi, Tuan Dewa! Mau sarapan juga?”
Dewa mengangguk cepat, ia menoleh lalu menatap lurus ke arah Devan. Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir Dewa.
“Selamat pagi, Devan,” ucapnya dengan suara berat. Dan saat itu juga Devan langsung tersedak hebat.