21 - Seperti Kisah Disney

1937 Words
(Note : Jiwa mereka masih tertukar) Happy, reading, guys! ======================================= "Gue nyerah!" Devan menjatuhkan tubuhnya ke kursi taman yang kini sudah mulai sepi dari pengunjung. Hari sudah memasuki malam, sinar matahari baru saja menghilang digantikan oleh bulan purnama yang menampakkan keindahan pesonanya pada penduduk bumi. Alena menghela napas. Ia juga lelah berpikir. Cewek yang masih terjebak dalam tubuh cowok itu telah mengeluarkan berbagai macam spekulasi dan pendapat dari tadi siang, tetapi tidak ada satupun yang bisa menjelaskan, masuk akal atau bisa diterima oleh akal sehat. Bahkan rumus kimia dan matematika pun tidak bisa membantunya memecahkan masalah ini. "Kayaknya kita beneran harus pergi ke pusat penelitian negara. Siapa tahu para ilmuwan bisa membantu kita," tukas Alena. Ia masih berdiri dengan memeluk tubuhnya, menatap sosok cewek yang sebenarnya adalah Devan. Entah berapa kalipun rasanya masih aneh melihat diri sendiri di depan mata. Sementara Devan yang ada dalam tubuhnya sudah kehilangan minta untuk membahas hal ini lebih jauh. "Lo aja yang pergi, gue mah ogah!" tukas Devan. Ia bangun dari tiduran karena merasa kursi taman yang terbuat dari besi sama sekali tidak nyaman di gunakan untuk berbaring. "Lo pikir aja, mereka 'kan ilmuwan. Begitu mereka tau kasus kita entah apa yang akan mereka lakuin sama tubuh kita. Mungkin dalam sehari kita bakal disuntik sama puluhan serum yang gue bahkan nggak yakin bakal aman buat tubuh kita." "Tapi-" "Kalau mereka berhasil, mereka pun nggak akan membiarkan kita pergi dengan mudah, hidup kita akan terus dipantau demi kepentingan riset mereka. Dan gue adalah orang yang paling nggak suka dimata-matai." Melalui mata Alena, Devan menatap serius mata cowok di depannya. "Dan kalau mereka gagal, kita akan terus jadi kelinci percobaan mereka entah sampai kapan. Mungkin sampai kita mati. Emang lo mau hidup sebagai bahan percobaan mereka?" "Mereka nggak-" "Mungkin aja! Lo hanya nggak tau betapa gilanya seorang ilmuwan! Beberapa dari mereka bahkan sampai jadi gila atau jadi psikopat karena terobsesi sama suatu hal yang sedang mereka teliti. Jadi cups, gue tau lo pinter pelajaran sekolah, tapi jangan jadi pintar-pintar amat. Ngeri!" "Gue nggak akan jadi psikopat!" sanggah Alena. "Masa depan siapa yang tau?" Devan mengindikkan bahu. Ia berdiri, lalu melangkah meninggalkan taman. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti karena sebuah tangan mencegahnya. Devan berbalik, mengangkat sebelah alis. "Kenapa?" tanyanya heran. "Kamu mau ke mana?" "Makan lah!" jawab Devan dengan nada judes membuat Alena berdecak kecil. "Oke, kita makan dulu." "Apa maksud lo sama kita makan dulu?" "Maksudnya nanti kita lanjutin lagi diskusi kita! Kita harus segera mencari solusi bagaimana mengembalikan jiwa ke tubuh masing-masing." Devan berdecih. "Mau sampai kapan kita diskusi? Gue udah capek mikir. Gue mau pulang dan tidur." "Devan, kamu bisa nggak sih serius soal masalah ini?" "Alena, gue udah serius tapi udah cukup ya buat hari ini. Bye!" "Devan!" Devan tetap abai memanggil teriakan cowok itu. Kaki pendeknya melangkah cepat sebab perutnya sudah lapar minta diisi. "Kenapa lo ada di sini juga?" Devan berkata saat ia sudah duduk di sebuah restoran cepat saji dekat taman yang tadi mereka kunjungi. Ia menatap Alena tajam yang duduk di seberang mejanya, sedang yang ditatap hanya membalas dengan tatapan sinis. Mereka pun memesan makanan masing-masing dan makan tanpa sepatah kata pun bicara. Memang sejak siang tadi mereka lupa makan karena membahas masalah jiwa mereka. Dan berada di restoran membuat mereka sadar jika mereka benar-benar butuh mengisi perut. Kenyang mengisi perut, Devan segera bangkit dari kursi. Cowok itu melangkah pergi dengan PD nya tanpa pergi ke kasir untuk membayar makanan, yang mengakibatkan ia dicegat oleh salah seorang karyawan di sana. "Maaf, Mbak. Kasirnya sebelah sana. Tolong di bayar dulu ya makanannya," ucap karyawan ramah. *** (Seperti biasa, ketika ada pihak ketiga yang terlibat, maka aku akan merubah identitas mereka agar menghindari kebingungan dalam mengetik. Terimakasih :) ) "Maaf, Mbak. Kasirnya sebelah sana. Tolong di bayar dulu ya makanannya," ucap karyawan ramah. "Dia yang bayar!" ucap Alena menunjuk pada Devan yang berjalan mengikutinya. Cowok yang ditunjuk jadi gelagapan sendiri. Ia merogoh-rogoh saku depan dan belakang celananya namun tidak mendapatkan apapun. "Aku nggak bawa dompet!" bisik Devan, saat matanya menangkap tatapan penuh curiga dari si karyawan dia tersenyum seolah mengatakan jika tidak ada masalah apa-apa. "Nggak bawa dompet gimana? Terus tadi lo ke taman naik taksi bayar pakai apa?" "Aku naik bis," jawab Devan cepat. Ia mengeluarkan selembar uang kertas berwarna merah keunguan dari saku celananya. "Tinggal ini, hanya cukup untuk naik bis pulang." Alena mendengus tak percaya. Padahal cowok itu tinggal di rumahnya dengan segala fasilitas yang ada. Dan jika ia ingat-ingat, bahkan dompetnya yang berisi beberapa ATM, kartu kredit dan beberapa lembar uang tunai pun tertinggal di sana. Sungguh keterlaluan cowok ini datang minta bertemu padanya hari ini dan tidak membawa uang lebih banyak. Atau setidaknya membawakan dompet miliknya. "Lo tuh ya, dasar cewek nyusahin!" Alena mengangkat tangan seperti orang yang ingin menggeplak kepala Devan. Lalu berbalik dan menuju meja kasir. Sedangkan sosok karyawan yang mencuri dengar perdebatan mereka tadi memiringkan kepala dan berpikir keras. DIam-diam mengamati Devan dari atas ke bawah, ke atas lagi dan ke bawah lagi. 'Alamak, gue kira dia cowok. Baru aja gue mau minta nomor HP nya, Jarang-jarang ada pengunjung secakep ini,' ucapnya dalam hati. 'Tapi kalau dia cewek, kenapa bisa dia kelihatan kayak cowok tulen ya?' Alena kembali tak lama kemudian. Beruntung ia selalu membawa ponsel kemana-mana dan mempunyai sebuah aplikasi bayar melalui scan kode, jadi cewek itu tinggal menyerahkan ponselnya ke kasir dan memasukkan tagihannya ke kartu kredit. "Gue pulang dulu! Bye!" Alena berjalan melewati Devan dan karyawan yang masih mengagumi wajah tampan Devan sekaligus bertanya-tanya dalam hati tentang kebenaran jender Devan. Rasanya ia tidak percaya jika makhluk keren dan tampan itu adalah cewek. Mungkin tadi ia salah dengar. "Aish, cowok nyebelin! Devan, tungguin!" Karyawan itu tersentak, menatap kepergian Devan penuh kebingungan. 'Cowok katanya? Jadi, cowok itu cewek tapi cewek itu adalah cowok?' Karyawan tersebut menggelengkan kepala saat mulai memikirkan hal-hal tentang transgender yang akhir-akhir ini jadi pembicaraan hangat di internet. * * * "Aish, cowok nyebelin! Devan, tungguin!"   Alena berlari mengejar Devan. Dan entah untuk ke berapa kali ia berterima kasih pada kaki jenjang milik Devan sehingga ia bisa menyusul cowok itu cepat. "Udah pulang sana! Gue mau balik." "Tapi pembicaraan kita belum selesai!" Devan menghentikan langkah. Ia menoleh ke samping, sedikit mendongak hanya untuk melihat wajah yang seharusnya adalah miliknya jika saja jiwanya kembali ke tubuhnya. "Omong-omong, gue penasaran." Mata cewek itu menyipit, menatap serius Alena melalui matanya sendiri. Alena mengerjab. "Soal apa?" tanyanya penasaran. "Ikut gue!" Devan menggandeng tangan Alena menyeberang jalan raya. Mereka kembali ke taman yang sudah sepi sama sekali, berdua menyusuri jalan paving dan berhenti di tengah taman dekat sebuah bangku. Setelah melepaskan tangan Alena dan berbalik hingga mereka berdiri berhadapan, Devan mendongak, menatap serius pada Alena. "Lo tau kisah-kisah cerita disney?" Alena menatap Devan dengan wajah cengo. Dan entah untuk ke berapa kali Devan memuji diri sendiri karena meskipun Alena sering membuat wajahnya mengeluarkan banyak ekspresi bosoh, tetapi tetap saja ia terlihat tampan luar biasa. Memang tidak salah barisan para mantannya yang jatuh sejatuh-jatuhnya pada sosok dirinya. Lihat saja pada rambut hitam yang teracak tertiup angin, alis tebal, bulu mata panjang, manik mata hitam, hidung mancung dan bibir merah alami itu. Melihat wajahnya sendiri menjadi seperti ia melihat seorang artis penyanyi boyband yang belakangan ini sedang populer di seluruh dunia. "Cerita Disney seperti Rapunzel?" Devan mengangguk. "Yaaaa, Rapunzel, Cinderella, Putri Salju, Mermaid maupun cerita-cerita Barbie." "Astaga Devan, ternyata kamu suka sama cerita-cerita kayak gitu," ucap Alena dengan nada geli, membuat Devan salah tingkah. "Gue nggak suka! Gue hanya pernah dengar cerita-cerita itu waktu gue masih kecil!" tukasnya. Mukanya memerah, membuat Alena tau jika cowok itu sedang malu. Mudah saja bagi cewek itu tau hal tersebut sebab ia yang paling mengenal dan mengetahui bagaimana tubuhnya berekspresi. "Cieee...," Devan mendesis, lalu segara berkata untuk mengalihkan pembicaraan yang bisa berujung pada ALena yang terus mengoloknya. "Intinya cups, lo tau kisah pangeran tampan yang dikutuk jadi katak?" Alena mengangguk, tetapi matanya masih mengerling geli. Dan sebelum gadis itu kembali menyorakinya, Devan segera melanjutkan. "Pikir aja, dari semua cerita itu, apa yang lo dapet?" Oke, diberi pertanyaan mendadak membuat mau tak mau ALena berpikir, melupakan sama sekali soal kenyataan jika cowok playboy tak tau malu itu ternyata tau semua tentang dongeng anak kecil. "Mereka ... semuanya adalah pangeran dan putri!" tebak Alena. Devan mendengus. "Bukan itu b**o!" umpat Devan. "Terus?" Devan menghela napas. "Gini, sebelum kisah mereka selesai.... mereka pasti melalui sebuah bagian yang menjadi penutup dari cerita," jelas Devan. Menunggu reaksi Alena. Harapannya tersambut dengan baik. Seperti ada sebuah lampu yang tiba-tiba menyala, Alena mengangguk mengerti. "Oh! Mereka akhirnya saling mencintai dan hidup bahagia! Tetapi sebelum itu ada seroang pangeran yang ...." Kedua bola mata Alena membulat menangkap maksud Devan sebenarnya. Refleks dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, menatap Devan waspada. Merasa puas dengan Alena yang sudah mengetahui jalan pikirannya, Devan tersenyum. Namun kedua sudut bibirnya langsung kembali turun ke bawah saat Alena mengambil beberapa langkah mundur. "Stop di situ!" perintah Devan tajam. Alena menggeleng tanda menolak. "Heh! Nggak usah sok suci! Tinggal ciuman apa susahnya sih?" tanya Devan tak habis pikir. Alena terus menggeleng dan menutup bibirnya. Ia menatap Devan tajam, membuat cowok itu menyadari satu hal. "Jangan bilang lo nggak pernah ciuman! Ya Ampun Siti Maimunah, lo hidup di jaman batu?" pekik Devan tak percaya. Mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal karena kecupuan cewek itu. "Jangan ketawain aku!" desis Alena. Butuh satu menit hingga Devan akhirnya berhenti tertawa, ia mengusap kedua ujung matanya yang berair. "Oke, jadi ini bakal jadi ciuman pertama lo," ucapnya dengan nada geli. "Jangan ngimpi! Aku nggak akan pernah mau di cium sama kamu! Buang pikiran kamu jauh-jauh dasar cowok playboy m***m!" Devan mengusap tengkuk belakangnya. "Heh, bibir lo itu adalah bibir gue. Tubuh lo juga tubuh gue! Nggak usah alay!" "Aku nggak peduli! Pokoknya nggak!" Alena kembali menutupi bibirnya dengan telapak tangan, menolak dengan tegas permintaan Devan. Devan jadi menghela napas. "Okelah kalau gitu, maka jiwa kita nggak akan kembali ke tubuh kita se-la -ma nya! Karena cerita dalam dunia Disney juga tidak akan berakhir jika sang Putri menolak pangeran. Cinderella akan terus jadi babu keluarga tirinya, Putri Salju akan terus tidur sampai jadi tengkorak karena nggak makan bertahun-tahun, Pangeran kodok juga akan tetap jadi kodok selama-lamanya sampai menghasilkan anak-anak kecebong dan ..." "Oke!" seru Alena memotong penjelasan panjang lebar dari Devan. Dipikir-pikir, memang lebih baik ia menuruti saran Devan yang terdengar lebih masuk akal dari pada rumus senyawa kimia yang sedang ia pikirkan dalam otak demi mengembalikan jiwa mereka ke tubuh masing-masing. Kejadian ini saja sudah tidak masuk akal, jadi mungkin dengan melakukan apa yang terjadi dalam kisah-kisah dongeng anak kecil malah akan membantu mereka. "Oke!" tegas Alena lebih kepada diri sendiri. Berusaha meyakinkan jika perbuatannya tidak salah dan atau merugikan orang lain. Lagipila benar kata Devan, tubuhnya ini milik Devan, dan tubuh yang saat ini Devan tempati adalah tubuh miliknya, jadi anggap saja ia sedang mencium diri sendiri. ALena mengangguk menyetujui teori yang ia susun sendiri dalam otak. Kini mereka kembali berhadapan. Diam-diam, Devan menikmati ekspresi Alena yang tampak tegang. Dengan tangan kecilnya, ia menyentuh wajah sosok cowok di depannya. "Jangan tegang, cupu. Gue yakinkan ini bakalan jadi ciuman pertama terindah dan tak terlupakan di hidup lo!" PLAK! Bukannya termakan rayuan gombal Devan, Alena justru merangkum seluruh wajah sosok cewek di depannya dan mendorongnya menjauh. "Syaratnya, Devan, adalah aku yang akan cium kamu," kata Alena. Menarik kembali tangannya dari wajah cowok itu. "Sekarang, tutup mata kamu!" Devan mendengus. Tapi demi agar masalah ini cepat selesai ia pun menurut. Ia memejamkan mata. Dan sungguh, jantung Alena sedang bertabuh kencang saat ini. Haruskah ia melakukannya sekarang? Ciuman pertamanya yang berharga, kenapa harus dengan cowok playboy ini? jeritnya dalam hati.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD