Devan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Saat itu pula ia menghela napas lega karena merasakan kenyamanan luar biasa dari benda empuk tersebut. Rasanya, Devan ingin mengirimkan banyak sekali kartu ucapan terimakasih beserta ribuan bunga mawar pada orang yang telah menciptakan springbad.
“Ah, nyaman banget...,” desah Devan. Kedua matanya terpejam, bibirnya membentuk sebuah senyum tipis dan kedua tangannya bergerak ke atas ke bawah seperti seekor kupu-kupu yang sedang terbang, mengelus kelembutan bad covernya.
Ingin rasanya Devan melupakan tujuan utamanya untuk mandi dan memilih tidur saja. Badannya benar-benar terasa pegal setelah semalaman tidur di hutan tanpa alas empuk lalu tadi ia harus menyetir mobil selama tiga jam. Ia benar-benar butuh istirahat.
Namun apa mau dikata? Orang-orang boleh mengatakan jika ia adalah cowok playboy luar biasa dan tidak punya sopan santun, namun Devan adalah tipe cowok yang cinta kebersihan. Ia bahkan tidak suka jika ada setitik debu pun di kamar.
Devan membuka mata, rasa lengket di tubuhnya benar-benar membuat ia tidak nyaman. Beringsut bangun, Devan pun berdiri. Ia baru saja akan melepaskan kaus yang kebesaran di tubuhnya saat sebuah suara pintu terbuka membuat ia menoleh.
BRAK!!
Di sana ada cowok itu. Atau cewek? Bukankah itu adalah tubuhnya sedangkan jiwa yang ada di dalam sana adalah seorang cewek? Oke, Devan jadi pusing sendiri jika memikirkan tentang gender mereka saat ini.
Memilih untuk mengabaikan, ia pun memutuskan untuk melanjutkan melepaskan kaus, tetapi tiba-tiba saja cowok itu menginterupsi kegiatannya. Alena memegang erat-erat tangan Devan, mencegah cowok itu untuk menanggalkan kaus dari tubuhnya.
“Kamu nggak boleh lepas baju ini!” seru Alena. “Nggak usah mandi!”
Devan berdecak, menatap Alena tidak suka. Ia mendorong Alena hingga terdorong jatuh ke atas kasur.
“Badan gue lengket rasanya! Lo nggak inget kita kemarin nggak mandi?” todong Devan. “Lo bisa mandi habis gue! Atau mandi aja di kamar tamu!”
Lagi, Devan baru menyentuh ujung kaus dan hendak melepaskannya tetapi Alena bergerak cepat. Sepertinya berada dalam tubuh Devan membuat gerakannya jadi jauh lebih cepat.
Cewek yang terjebak dalam tubuh Devan itu lagi-lagi mencegah tangan Devan. Menggenggamnya kuat-kuat untuk tidak melanjutkan kegiatannya.
“Nggak boleh! Kamu nggak boleh mandi! Berpikir untuk mandi aja nggak boleh!” cegah Alena.
“Lepasin tangan lo dari tubuh gue! Gue keringetan dan butuh mandi!” Devan mencoba mendorong lagi tubuh Alena namun kali ini Alena lebih siap. Tenaga cewek Devan memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tenaga cowok Alena saat ini.
“Nggak mau! Pokoknya kamu nggak boleh mandi!”
“Apa sih masalah lo sama gue? Minggir nggak?!”
“Nggak!”
“Minggir!”
“Nggak mau! Nggak pernah mau dan nggak akan mau! Ini badan aku, Devan! Dan kamu nggak bisa seenaknya aja buka baju aku!”
Seolah baru sadar denga keadaan, gerakan Devan terhenti begitu saja. Ia manatap Alena lama, melihat dengan teliti wajah yang seharusnya menjadi miliknya dalam keadaan normal.
“Lo benar,” desah Devan sedikit lirih. Membuat Alena akhirnya bernapas lega. Ia berpikir jika masalah kali ini sudah selesai. Tapi siapa sangka jika itu hanya pikirannya saja, karena saat ia lengah dan melepaskan cekalannya dari tangan Devan, cowok yang berada di tubuhnya itu dengan cepat melepas kaus bagian luar dan melemparnya jauh dari mereka. Menyisakan sebuah tanktop berwarna putih di tubuhnya.
Alena menjerit histeris, lalu dengan cepat tangannya kembali mencekal tangan Devan yang sudah siap untuk melepas tanktop putihnya.
“Devan!”
“Apa?!” teriak Devan tidak mau kalah.
“Kamu gila, hah?! Aku bilang kamu nggak boleh mandi! Ini tubuh aku, Devan!”
“Lepasin! Gue gerah dan udah nggak tahan lagi. Gue mau mandi, k*****t!” tegas Devan.
“Nggak akan! Pokoknya selama kamu ada di tubuh aku, kamu nggak boleh mandi! Apapun yang terjadi pokoknya kamu nggak boleh mandi!”
“Cewek jorok! Kita udah hampir dua hari nggak mandi, Siti!”
“Bodo amet, Bambang! Aku bilang nggak ya nggak!”
Mereka berdua terus berdebat. Yang satu memaksa untuk melepas tanktop tersebut dan yang satu lagi berusaha untuk mempertahankan tanktop tersebut agar tetap ada di tubuh itu.
Berkali-kali Devan mencoba mendorong Alena tetapi sia-sia. Berada dalam tubuh seorang cewek memang sangat tidak menguntungkan bagi dirinya.
“Minggir, dasar cewek nyebelin!”
“Nggak mau!”
“Minggir!”
“Nggak!”
“Minggir!”
“Nggak akan!”
Perdebatan dua remaja yang tertukar jiwa tersebut terus berlanjut. Sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Hingga pada satu titik di mana Alena berhasil menarik lepas tangan Devan dari ujung tanktopnya.
Alena sama sekali tidak mengantisipasi akibat dari perbuatannya. Mereka berdua menjadi kehilangan keseimbangan. Bersama-sama mereka memekik terkejut dan ambruk ke atas kasur. Mengingatkan pada kejadian beberapa waktu lalu di sofa.
Bedanya, jika tadi tubuh Alena lah yang berada di atas tubuh Devan, kali ini tubuh Devanlah yang menimpa tubuh mungil Alena. Dengan napas yang sudah tidak lagi beraturan karena perdebatan sengit tadi, mereka berdua kini saling tatap.
“WHAT THE f**k! APA-APAAN INI?!”
* * *
Alvian memasuki sebuah rumah mewah berlantai dua dengan kecepatan yang masih terbilang penuh. Setelah tadi mereka sempat dicegat oleh seorang satpam yang berjaga di gerbang, Aldi yang pernah beberapa kali mampir ke rumah Devan bersama anggota tim basket yang lain menjelaskan pada satpam tersebut bahwa ia datang untuk menjemput adik perempuannya.
Karena sudah kenal, pak satpam pun dengan mudah memberikan akses untuk masuk.
"Ayo, cepet turun!" Alvian berkata buru-buru. Mereka bertiga melepaskan sabuk pengaman secepat mungkin dan turun dari mobil.
Aldi memencet bel rumah Devan tidak sabar. Namun ketidak sabaran Alvian lebih parah daripada Aldi. Cowok itu mendorong tubuh Aldi ke samping dan memencet bel berulang kali secara terus menerus. Berharap jika pintu besar rumah segera dibukakan.
"Sudah cukup memencet belnya. Kita ada di rumah orang, perhatikan sopan santun kalian!" tegur Alka. Meski ia juga cemas namun sikap dewasanya tetaplah mengambil alih. Alka memang selalu bisa bersikap bijak dan tenang dalam keadaan apapun.
Aldi dan Alvian siap membantah namun urung karena pintu sudah dibuka.
"Maaf, kalian semua cari sia.."
Belum selesai Bi Yana berkata, Aldi sudah maju dan menyela. Ia membungkukkan badan sedikit sebagai rasa hormat pada pembantu rumah tangga paruh baya tersebut lalu tersenyum ramah.
"Halo, Bi Yana... Saya Aldi. Ingat saya, kan?"
Bi Yana menyipitkan mata, berusaha mengingat-ingat siapa sosok pria tampan tersebut.
"Oh, Den Aldi yang teman main basketnya Den Devan ya?" tukas Bi Yana. Aldi tersenyum lega.
"Iya, Bi," jawab Aldi sedikit tergesa. Matanya melirik ke dalam rumah yang tampak sepi. Seingat Aldi rumah Devan memang selalu sepi. Ia tidak pernah bertanya ke mana kedua orang tua Devan karena ia memang tidak pernah seakrab itu dengan Devan.
"Cari Den Devan?" tanya Bi Yana peka. "Ada di dalam, baru pulang sekitar setengah jam yang lalu." Bi Yana membuka pintu rumah lebar-lebar. "Den Aldi sama teman-temannya masuk aja, nanti Bibi panggilin."
"Eum, itu, Bi. Sebenarnya kami ke sini mau jemput adik perempuan kami. Dan dua cowok ini kakak saya," koreksi Devan dengan menyertai alasan kedatangannya. "Tadi Devan pulang sama cewek nggak? Kira-kira tingginya segini." Aldi memposisikan tangannya sejajar dengan dagunya. "Rambutnya dikuncir dua, pakai kacamata terus kulitnya putih."
Bi Yana mengernyit mengingat-ingat cewek yang tadi masuk rumah tanpa sopan santun. "Kalau cewek rambut dikuncir dua pakai kacamata Bibi nggak tau, Den. Tapi kalau cewek yang namanya Alena, dia ada di sini."
"Nah, iya, itu Bi! Itu adik saya!" tukas Aldi cepat. "Di mana dia, Bi?"
"Masuk aja, Den. Tadi sih di ruang tengah nonton TV sama Den Devan."
"Makasih, Bi." Aldi tersenyum, diikuti Alvian dan Alka. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah mewah dan besar tersebut sementara Bi Yana menutup pintu.
Alvian dan Alka mengekor pada Aldi yang sudah tau letak ruang tengah. Sesampainya di sana, mereka hanya mendapati dua tas ransel dan sebuah ponsel yang tergeletak di sofa.
"Mana... Alena nggak ada di sini," suara Alvian.
Aldi terdiam. Ia memutar kepala. Bi Yana tidak menyusul mereka jadi kemungkinan wanita paruh baya itu menuju dapur. Aldi mendongak ke lantai dua.
"Mungkin mereka ada di kamar," gumam Aldi tanpa sadar, namun cukup didengar oleh Alvian dan Alka.
"Kamar?!" pekik Alvian. "Ya udah ayo langsung ke sana, tunggu apa lagi??? Alena kita nggak boleh ternodaii!"
Benar juga! Batin Aldi. Ia pun berlari naik ke lantai dua. Lagi-lagi ALvian dan ALka hanya bisa mengekor dari belakang.
Mereka sempat melewati beberapa ruang sebelum suara perdebatan samar antara cowok dan cewek terdengar. Mereka bertiga pun segera mempercepat langkah karena yakin suara cewek yang mereka dengar adalah suara adik mereka.
Nahas, saat mereka sampai di depan pintu, justru pemandangan merusak mata lah yang mereka tangkap. Alena sedang ditindih oleh seorang cowok di atas kasur.
Alka terbelalak, sementara Alvian sudah memekik dan menganga lebar.
“WHAT THE f**k! APA-APAAN INI?!” teriak Alvian murka.
Umpatan dari pintu membuat baik Devan dan Alena menyentakkan kepala ke arah asal suara.
Aldi, yang berada paling depan maju beberapa langkah, siap menerjang tubuh cowok yang menindih tubuh Alena.
“HEH, COWOK b******k s****n b******n b*****t! SEGERA ENYAH DARI TUBUH ADIK POLOS KESAYANGAN GUE!!”
Kedua bola mata Alena membulat sempurna, sedangkan Devan mengernyit tipis, menatap pada tiga sosok pria asing yang tengah berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
Siapa mereka?