"Kamu sih ... ngapain coba bilang aku hamil segala. Mas Roy jadi salah faham gimana?" Aku menggerutu pada Fia.
"Ya, sorry. Lagian kamu ini buat aku penasaran sedari tadi," belanya.
Semoga saja Mas Roy tidak berpikir yang macam-macam karena perkataan Fia tadi. Bukan salah Fia juga sebenarnya, karena Mas Roy yang tiba-tiba saja sudah masuk ke dalam pantry.
"Siapa yang hamil?" Lelaki itu kembali bertanya.
Aku dan Fia saling pandang, tidak menyangka dengan kedatangan lelaki itu.
"Mas Roy apaan, sih! Suka banget ngedengerin orang ngegosip," protes Fia.
"Maaf. Lagian aku juga nggak sengaja dengar tadi."
"Mas Roy ngapain ke sini?" Kembali Fia bertanya pada Mas Roy.
"Cari Zie. Ternyata bener ada di sini. Eh Zie, jangan lupa sejam lagi ikut meeting denganku. Presentasinya sudah siap, kan?"
"Sudah, Mas." Aku mengangguk.
"Ya, sudah. Silahkan kalian lanjutkan bergosipnya."
Mas Roy melemparkan seulas senyum padaku sebelum keluar dari pantry.
"Zie...!"
"Aduh!" Aku meringis. Lenganku sedikit panas karena pukulan ringan tangan Fia.
"Kenapa kamu memukulku?" gerutuku pada Fia karena seenaknya saja dia memukul lenganku. Mana sakit lagi.
"Kamu dari tadi aku tanya malah bengong, sibuk melamun. Tenang Zie. Mas Roy tak akan kemana-mana, kok." Fia mengedipkan sebelah matanya genit.
"Apaan sih, Fi. Lagian siapa juga yang melamun."
Fia hanya mencebik lalu menyesap kembali tehnya.
"Kamu tadi mau cerita apaan? Suka sekali buat aku penasaran. Bisa-bisanya nikah sama Mas Roy? Dan aku tak tahu sedikit pun tentang hubungan kalian selama ini. Ck." Fia berdecak.
"Bukan seperti itu, Fi. Kamu lupa? Bukanka kamu yang mengatakan padaku nuntuk cari pacar, atau jika perlu calon suami sekalian. Agar Kak Bie tidak memaksaku menikah dengannya."
Mendengar jawaban yang terlontar dari mulutku, ekspresi Fia sungguh tak terbaca. Antara kaget juga tak percaya.
Aku berdiri dari dudukku dan menenggak habis sisa kopiku. Setelahnya kubawa cangkir kosong ke wastafel. Mulai menyalakan keran air dan mencuci cangkir kotor bekas kopi.
"Buruan habiskan minumanmu. Sebelum Mas Roy nyamperin kita lagi ke sini."
Aku berkata sambil menoleh ke belakang melewati bahu. Fia masih tak bergeming di tempatnya.
"Fia!" Panggilku dengan sedikit keras
"Iya ... Iya ...."
Aku terkekeh melihat Fia dengan muka cemberut, lalu bangun dari duduknya. Menghampiriku yang sedang mengelap cangkir.
"Aku sungguh tidak mengerti dengan dirimu, Zie."
"Jangan terlalu dibawa perasan, Fi. Yang jelas, Mas Roy sudah mau membantuku keluar dari masalah Kak Bie yang menjeratku."
Kami berdua terdiam, larut dengan pemikiran masing-masing.
"Ah ya, satu lagi, Fi. Eum ... di kantor ini, hanya kamu yang tahu tentang hubunganku dengan Mas Roy. Dan hanya kamu saja yang aku undang di acara pernikahanku dengan Mas Roy nanti. Itu kenapa tadi aku memintamu agar tak berisik. Karena aku tidak ingin yang lain mendengarnya."
"Kenapa begitu?" wajah Fia menatapku penuh tanya.
"Kamu tahu kan Fi, masa kerjaku di sini belum ada dua tahun. Itu artinya aku masih belum boleh menikah. Itu menurut perjanjian kerja yang sudah aku sign dulu. Aku tahu sih ini menyalahi aturan. Tapi aku sudah tidak ada jalan keluar lagi. Kecuali menikah dan tidak lagi tinggal serumah dengan Kak Bie. Aku tak ingin menyiksa Kak Bie terlalu dalam, Fia."
Fia memeluk tubuhku. Kami berdua saling berpelukan di dalam pantry. Fia menepuk pelan punggungku seolah memberi kekuatan padaku.
"Yang sabar, Zie. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan aku pasti akan selalu ada untukmu."
"Thanks, Fi."
Pelukan tubuh kami terlepas. Fia menatapku dalam.
"Aku janji akan merahasiakan pernikahanmu dengan Mas Roy."
Aku mengangguk. "Kamu memang sahabat terbaik ku, Fi. Lagi pula, Mas Roy sekarang sedang berada di puncak karir. Jika perusahaan tahu aku dan Mas Roy menikah, maka salah satu diantara kami pasti dipaksa harus mengundurkan diri," ucapku kemudian.
"Iya, sih. Kan memang sudah peraturannya seperti itu. Dilarang menikah dengan sesama karyawan." Fia menimpali.
"Aku juga masih belum siap resign. Masih butuh duit juga untuk hidup."
"Tapi kan, kalau kamu menikah otomatis biaya hidupmu akan ditanggung Mas Roy."
"Itu kalau aku dan Mas Roy menikah karena cinta. Ini beda Fi, Mas Roy hanya membantuku agar terlepas dari jeratan Kak Bie. Sudah ditolong saja aku sangat bersyukur, tak kan lah aku juga minta dibiayai hidup."
"Lalu sampai kapan kamu akan merahasikan semua ini?"
"Enggak tahu. Setidaknya sampai aku dapat pekerjaan baru. Lagi pula aku juga nggak tahu Fi, hubunganku dengan Mas Roy nanti akan seperti apa."
"Entahlah, Zie. Kenapa aku jadi bingung sendiri. Bagiku ini terlalu rumit."
"Memang. Tapi nggak perlu dipikirin. Yuk balik ruangan. Nanti Mas Roy nyariin lagi."
"Yang dicariin Mas Roy palingan juga kamu."
"Apaan, sih."
Aku dan Fia meninggalkan pantry, "Ingat, ya, Fi. Hanya kamu yang tahu. Please!"
"Iya. Aku janji akan merahasiakan semuanya."
"Thanks, Fi."
"You are welcome."
Baru juga aku dan Fia sampai di kubikel kami masing-masing, Mas Roy sudah datang menemuiku kembali.
"Zie! Bahan untuk meeting mana? Boleh aku lihat dulu."
"Ehem ...." deheman Fia membuatku menoleh ke kubikelnya. Mataku melotot padanya tapi Fia justru terkikik.
Aku jadi tak enak hati dengan Mas Roy. Kelihatan sekali jika Fia sedang menggoda kami.
Segera kualihkan pandanganku dari Fia dan menatap Mas Roy sekilas.
"Sebentar Mas, aku ambilkan."
Kubuka laciku lalu mengeluarkan sebuah flashdisk.
"Ini Mas." Kuulurkan pada Mas Roy, dan lelaki itu menerimanya.
"Zie!"
"Ya." Refleks aku mendongak menatap wajah Mas Roy.
"Fia sudah kamu bagi undangannya?"
Hei, kenapa Mas Roy justru membahas hal pribadi di kantor. Tak ayal juga aku pun mengangguk. "Sudah, Mas."
"Owh ... baiklah. Eum ... kamu yakin hanya akan mengundang Fia saja. Tidak ingin mengundang yang lainnya juga?"
Aku mendengus, "Yakin Mas. Bukankah kita sudah membicarakan hal ini. Dan Mas Roy juga sudah menyetujuinya."
"Baiklah kalau begitu. Aku hanya ingin tahu, kamu berubah pikiran atau tidak."
Selanjutnya Mas Roy melenggang pergi meninggalkan kubikelku.
Kenapa Mas Roy harus membahas hal ini lagi. Apa sebenarnya Mas Roy keberatan dengan permintaanku?
Kugelengkan kepalaku beberapa kali. Berusaha mengenyahkan tanya dari benakku.
***
Acara pernikahan kurang dari satu minggu. Semakin mendekati hari H, semakin perasaanku tidak enak saja. Entahlah, mungkin hawa-hawa pengantin melingkupiku.
Meski menjadi calon pengantin, nyatanya aku tak sesibuk seperti calon pengantin pada umumnya. Semua rencana pernikahan sudah di handel oleh kedua pihak keluarga. Aku hanya mengikuti saja apa yang mereka atur sedemikian rupa. Yang penting semua beres dan tak ada kendala.
Hubunganku dengan Mas Roy juga masih seperti biasa. Tak ada perubahan yang berarti. Di kantor masih sebagai rekan kerja. Hampir tidak ada hal pribadi yang kita bahas jika sedang berada di kantor. Namun, jika ada hal penting terkait rencana pernikahan yang mengharuskan kedatanganku juga Mas Roy, maka tak ada pilihan lagi. Aku dan Mas Roy harus bersikap selayaknya pasangan yang siap menikah. Tanpa mereka sadari jika semua sandiwara ini terlalu baik aku dan Mas Roy perankan.
Rasa bersalah terkadang melingkupi hatiku setiap kali menatap kebahagiaan yang terpancar di wajah Mama. Aku merasa bersalah karena telah mempermainkan perasaan mereka. Semoga kelak jika sandiwara ini terbongkar, baik Mama dan Papa tak akan marah padaku juga kecewa akan sikapku.
"Zie... Kamu mendengar apa yang Mama ucapkan?"
"Hah!" aku tergagap. Terlalu banyak melamun membuatku lupa akan keberadaan Mama.
Saat ini aku dan Mama sedang berada di salon kecantikan. Membahas kembali mengenai semua yang terkait dengan urusan per Make-up an.
"Iya. Mama tadi bicara apa? Maaf, Zie tak mendengar."
Aku nyengir merasa bersalah pada Mama. Lihatlah bagaimana Mama yang menghela napas sembari menggelengkan kepala.
"Calon pengantin jangan banyak melamun. Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Tidak ada, Ma. Zie hanya tak menyangka saja jika sebentar lagi akan menikah. Rasanya... Gugup sekali." Bohongku.
Mama mengusap pelan pundakku. "Memang seperti inilah orang yang akan menikah. Ribet sekali karena banyak yang harus di jalani."
Mama menyerahkan sebuah lembaran kertas padaku.
"Apa ini, Ma?"
"Jadwal perawatan selama satu minggu sebelum hari pernikahan tiba."
Mengerutkan kedua alisku membaca ritual demi ritual yang harus aku jalani dengan salon ini. Mulai dari perawatan wajah, perawatan badan seperti lulur dan segala macamnya. Ya, Tuhan. Kenapa ribet sekali. Kuusap wajahku berkali-kali. Sangat tidak sepadan antara ribetnya menjelang perkawinan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya pasca pernikahan.
***
Malam ini, seperti malam sebelumnya. Kak Bie menjadi lelaki yang pendiam dan tidak banyak bicara. Mungkinkah semua ini karenaku? Tanya dalam benak yang tak kutemukan jawabannya. Haruskah aku menemui Kak Bie, untuk sekedar bertanya atau meminta maaf padanya misal.
Ya, aku putuskan setelah makan malam akan berbicara dengan Kak Bie. Sebelum pernikahanku dengan Mas Roy, urusan Kak Bie harus aku selesaikan.
Benar saja. Begitu piring di hadapan Kak Bie tandas tak bersisa, kakakku itu segera beranjak berdiri meninggalkan meja makan dengan diiringi tatapan Papa dan Mama. Lalu, helaan napas panjang aku dengar keluar dari sela bibir papa. Namun, tak ada kata yang Papa dan Mama bahas seputar sikap dingin dan pendiam Kak Bie beberapa hari ini.
Selanjutnya, aku pun pamit pada Papa dan Mama karena makanku pun juga sudah habis. Tanpa menaruh curiga, papa dan Mama membiarkan aku pergi.
Bukannya masuk ke dalam kamarku, melainkan aku berdiri di depan kamar Kak Bie.
"Cari mati saja kau ini, Zie!" batin ini berteriak menyalahkan kebodohanku. Hanya saja aku memang harus segera menyelesaikan semua ini agar tak semakin runyam saja.
Kuketuk pintunya dua kali. Dan begitu pintu terbuka, wajah Kak Bie kaget melihatku berdiri di depan pintu.
"Zie! Ada apa kau di sini?" tanyanya dengan nada dingin.
Takut aku menundukkan kepala. "Maafkan aku, Kak. Aku merasa beberapa hari ini Kakak menjadi sangat pendiam. Maaf karena aku telah banyak menyakiti hati Kakak. Kak ... Aku merindukan Kak Bie yang dulu. Aku___"
"Cukup, Zie. Kakak mohon jangan lagi bersikap baik pada Kakak. Karena semua ini akan semakin membuatku tersiksa. Biarkan aku membunuh rasa ini dengan caraku sendiri. Aku sudah berjanji padamu untuk melepaskanmu. Agar kamu bisa menikah dengan Roy. Jadi ... Jangan pedulikan aku lagi."
BLAM
Pintu kamar ditutup oleh Kak Bie di depan wajahku. Kuletakkan tangan di depan dadaa merasakan betapa nyeri rasanya. Haruskah hubungan persaudaraan berakhir menyakitkan seperti ini karena rasa cinta yang tidak tahu tempatnya.
Ah, sudahlah. Sebaiknya aku memberikan ruang bagi Kak Bie menyendiri dan jauh dari jangkauanku. Mungkin dengan begitu akan memudahkan Kak Bie membuang rasa cintanya untukku.
Aku kembali ke kamarku. Menjelang hari pernikahan, aku harus banyak istirahat agar wajahku nanti tak terlihat lelah. Memutuskan untuk segera pergi tidur meski terasa sulit mata ini memejam. Jika banyak pikiran maka aku akan kesulitan tidur malam. Entahlah, aku masih harus berusaha menenangkan hatiku dengan mengabaikan sementara keberadaan juga sikap Kak Bie padaku.
"Maafkan aku, Kak. Aku sudah terlalu jahat pada kakak," ucapku pada diri sendiri berharap Kak Bie mendengarnya.