LINZIE - 10

1702 Words
Ini sudah dua minggu berlalu, tepatnya sejak perdebatanku dengan Kak Bie malam itu. Sejak saat itu juga Kak Bie masih saja tak mau menerima kenyataan dan masih berusaha merecokiku. Dia semakin berani saja meskipun mama akan sering menegur jika kedapatan Kak Bie yang memaksaku untuk mengantar pergi ke kantor. Atau saat makan bersama di mana tatapan mata Kak Bie yang tak pernah lepas memperhatikanku. Tentu saja aku semakin risih dibuatnya, oleh sebab itulah kenapa aku selalu saja bad mood dan selalu pergi ke kantor di pagi buta demi untuk menghindari Kak Bie. Agar aku tak perlu bertegur sapa dengannya. Hanya ketika makan malam saja biasanya kami akan bertemu di satu meja yang sama. Dan kadang kala aku yang sengaja menghindar seringkali memilih makan di dalam kamar. Beruntung baik Mama juga Papa tidak mempermasalahkan hal itu karena tahu bagaimana masalah pelik yang sedang aku dan Kak Bie hadapi. Malam ini Mas Roy janji padaku akan datang ke rumah. Mengantarkan undangan pernikahan kami berdua yang sudah jadi dari percetakan. Dan siapa sangka jika tiba-tiba saja lelaki itu menelepon memberitahu jika sudah berada di luar. Tergesa aku keluar dari dalam kamar ingin menemui Mas Roy di depan rumah. "Zie, mau ke mana?" tanya Kak Bie yang melihatku berjalan tergesa menuju pintu depan. "Menemui Mas Roy di depan." Kutinggalkan begitu saja Kak Bie yang menatapku penuh tanya. Bukan aku tidak sopan meninggalkan dia begitu saja. Namun, jika aku meladeninya yang ada berujung perdebatan nantinya. Begitu pintu aku buka, Mas Roy tengah tersenyum menatapku. Pria itu berdiri di samping mobilnya. Seharusnya dia bisa saja langsung mengetuk pintu, akan tetapi tak dia lakukan dan memilih menelepon sekalipun keberadaannya sudah di depan rumah. Tampan. Satu kata yang menggambarkan rupa Mas Roy malam ini. Hanya celana jins juga kaos berwarna hitam yang membalut tubuhnya. Penampilan kasual yang terkesan mempesona di mataku. Ya, Tuhan Zie! Apa yang kau pikirkan. Buru-buru menghalau pemikiran yang bukan-bukan karena takut jika aku jatuh cinta padanya. "Masuklah, Mas. Kenapa hanya berdiri di sana?" Mas Roy melangkah mendekat dengan tangan menenteng sehuah tas. "Apa kedatanganku mengganggumu, Zie?" tanyanya begitu saja. Padahal sebelumnya dia sudah memberitahu jika akan datang, tapi masih juga bertanya apa dia menggangguku atau tidak. "Tentu saja tidak." Mas Roy melepas alas kaki sebelum melangkah masuk mengikutiku. Kami berdua duduk di atas sofa yang berada di dalam ruang tamu. "Mama mana? Aku membawa undangan pernikahan kita. Siapa tahu saja kamu atau Mama ada yang tidak berkenan dengan hasil cetaknya." "Aku akan memanggil Mama di dalam. Tunggu sebentar." Gegas beranjak masuk mencari Mama yang berada di dalam kamar. Tak lagi kujumpai keberadaan Kak Bie. Entah sedang di mana kakakku itu berada saat ini. Kutemui Mama di dalam kamar dan meminta pada beliau agar menemaniku menemui Mas Roy di ruang tamu. Kami sibuk mengecek undangan yang tadi dibawa oleh Mas Roy. Semua kurasa tak ada yang perlu di perbaiki lagi. Perfect. Mas Roy bisa kuandalkan dalam hal ini. Setelah pembicaraan panjang lebar kami bertiga, Mas Roy pun pamit karena waktu sudah menunjukan hampir pukul sepuluh malam. Aku ikuti Mas Roy sanpai depan. "Aku pulang dulu," pamit pria itu padaku sebelum memasuki mobilnya. "Hati-hati di jalan." "Sampai bertemu besok di kantor. Have a nice dreame." Tangan kekar itu terulur mengusap pucuk kepalaku. Aku tersipu dibuatnya. Mas Roy meninggalkanku dan masuk ke dalam mobil. Sebelum menjalankan kuda besinya, pria itu menyempatkan diri untuk membunyikan klakson satu kali. Tangannya melambai padaku dan kubalas dengan lambaian juga. Netraku masih mengikuti mobil yang kini mulai menjauh meninggalkan halaman rumah. Sampai tak terlihat lagi barulah aku masuk ke halaman rumah berniat melangkah ke dalam ruang tamu. Belum juga aku mencapai pintu masuk, samar aku mendengar percakapan dua orang yang tak lain adalah Mama dengan Kak Bie. Kuurungkan niat dan memilih berdiri dalam diam di luar pintu. Kupertajam pendengaran ini agar dapat menangkap apa saja yang sedang Mama dan Kak Bie debatkan di dalam sana. "Ikhlaskan Zie menjadi istri Roy. Kamu tahu Bie, jika kita tulus mencintai seseorang, maka kita akan bahagia jika melihat orang yang kita sayang hidup bahagia. Buat apa kamu memaksa Zie untuk menikah denganmu jika kelak Zie merasa tak bahagia hidup bersamamu. Kebahagiaan Zie adalah Roy. Tolong sadari itu." Itu suara Mama. Kurasa mama kembali memberikan pengertian pada Kak Bie. Tak aku dengar suara Kak Bie yang biasanya akan membantah atau menjawab apa yang Mama katakan. Lagi-lagi Mama terdengar berucap. "Sudah berapa kali Mama katakan padamu, Bie. Jika kelakuanmu terus saja seperti ini, Zie akan semakin tak nyaman berada di dekatmu. Setiap hari Zie akan terus menghindarimu. Apa kamu suka dengan situasi seperti ini? Coba jawab Mama?" Deg Mama sampai sekeras itu memberikan pengertian pada kakakku. Kuberanikan diri sedikit mengintip apa yang sedang terjadi di dalam ruang tamu. Kulihat Kak Bie menggelengkan kepalanya sembari menatap undangan pernikahanku yang masih berserakan di atas meja ruang tamu karena tadi kami membongkarnya dan belum sempat merapikannya kembali. "Ma, Bie akan mencoba mengikhlaskan Zie untuk menikah dengan Roy. Asalkan Zie bahagia." Lirih kata yang terlontar dari mulut Kak Bie. Mama menepuk pelan punggung Kak Bie, kemudian berlalu masuk ke dalam meninggalkan kakakku seorang diri. Mereka tidak menyadari jika aku menguping di depan pintu yang terbuka dan mendengar semua pembicaraan mereka. Hingga setelah tak ada Mama, kuputuskan untuk masuk menghampiri Kak Bie yang masih berdiri mematung di ruang tamu. "Kak ...!" panggilku membuat Kak Bie mendongak menatapku. "Zie, Kakak minta maaf. Semoga kamu hidup bahagia bersama Roy. Kakak ... ah, kakak janji jika sekali saja Roy berani menyakitimu, maka kakak tidak akan segan-segan untuk mengambilmu kembali darinya." "Terima kasih, Kak. Kakak jangan khawatir, Mas Roy pasti akan menjagaku dan membahagiakanku." Kak Bie tersenyum, lalu pergi meninggalkanku. Kuhela napasku. Raut kesedihan nampak di wajah Kak Bie. Mungkin dia berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Entahlah aku tak tahu. Segera membereskan undangan yang tercecer di atas meja lalu aku membawanya masuk ke dalam kamarku. *** Pagi ini untuk pertama kalinya aku bisa datang ke kantor dengan perasaan sedikit lega. Tidak biasanya yang hampir setiap pagi aku selalu bad mood atau terkadang seperti orang yang takut ketahuan mencuri, mengendap-endap keluar dari rumah pagi-pagi sekali hanya untuk menghindari Kak Bie. Kuembuskan napas lega saat aku berhasil menginjakkan kaki di lobi kantor. Suasana kantor sudah tampak ramai karena kedatangan beberapa karyawan. Namun, suasana hatiku msih saja mendung. Beban pikiran membuat hidupku tidak nyaman. Kugelengkan kepalaku demi mengusir bayang-bayang wajah murung Kak Bie semalam. Sebenarnya aku trenyuh melihatnya. Tidak tega melihat kesedihan tampak di wajahnya. Namun, ini adalah jalan satu-satunya agar aku dan Kak Bie tetap menjadi saudara. Aku terus melangkah menuju di mana ruanganku berada. Meski percakapan mama dengan Kak Bie tadi malam, masih saja terlintas di benakku. Kembali aku menghela nafas, kilasan kejadian semalam terus memenuhi pikiranku. Aku masuk ke dalam ruanganku yang sudah tampak ramai. Bahkan Fia pun juga sudah duduk manis di singgasananya. Perempuan itu menatapku keheranan, "Tumben baru datang. Biasanya juga datang bareng OB ke kantor." Aku tertawa mendapat sindiran darinya. Kudekati meja kerja Fia, kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri. Di ruang divisi technical ini ada sekitar sepuluh orang, dan kesemuanya saling sibuk dengan kegiatan masing-masing tanpa mau peduli dengan kebisingan atau aktifitas orang lain. Kuambil sesuatu dari dalam tas kerjaku, sekali lagi kutolehkan kepala ke samping memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan interaksiku dengan Fia. Kuulurkan sebuah undangan tepat di hadapan Fia. Sahabatku itu mengernyit lalu mendongak. "Ini apa?" tanyanya. "Undangan," jawabku singkat. Fia yang terlihat penasaran dengan undangan yang kuberikan, segera meraihnya. Lalu matanya terbelalak dan kembali menatapku. "Ini ... undangan pernikahan? Kamu mau menikah?" tanyanya dengan suara keras karena terkejut tentunya. Betapa Fia tidak kaget jika tahu-tahu aku memberinya undangan pernikahan. Bahkan tak ada angin atau hujan. Aku yang selama ini tak menunjukkan tanda-tanda menikah, begitu saja memberikan sebuah undangan pernikahan. "Hust ... jangan keras-keras ngomongnya." Fia lalu memperhatikan undangan itu dengan cermat, mungkin dia sedikit bingung karena nama yang tertera di cover depan adalah Roy dan Zie. Dengan terburu-buru, Fia membukanya. "Zie!" Aku segera membekap mulut Fia yang kini justru berbicara semakin keras bahkan sedikit berteriak. "Aku sudah katakan padamu, Fi! Jangan keras-keras ngomongnya." Anggukan kepala Fia membuatku melepas bekapan tanganku. Fia mengambil napas dalam lalu dia embuskan kasar. "Zie ... ini ... ini ... maksudnya apa? Sumpah aku nggak ngerti. Kenapa ... ini nama Mas Roy?" "Aku akan jelaskan. Tapi please! tenangkan dirimu, Fia." "Ya, habisnya kamu ini ... aku shock tau! Sekarang coba jelaskan apa maksud semua ini?" Fia mengacungkan undangan yang ada di tangannya. Segera aku merebut undangan tersebut dan menyembunyikannya di sela tumpukam kertas kerja Fia. Dan Fia, hanya menatapku dengan muka cengo-nya. Kutarik lengan Fia hingga gadis itu berdiri dan aku menyeretnya menuju pantry. Fia tidak memprotesku sama sekali dan hanya menurut padaku. Kutarik salah satu kursi dan mendudukkan Fia di atasnya. "Mau teh atau kopi?" tawarku. "Teh tawar hangat dengan madu," jawabnya mantap. "Oke." Kubuka lemari kabinet dan mengambil dua cangkir, kopi sachet instan, teh hijau celup serta satu sachet madurasa. Aku mulai meracik kopi untukku sendiri serta teh hangat madu untuk Fia. Kulirik melalui ekor mataku, Fia masih mengawasiku dalam diam. Dua cangkir minuman aku bawa di kedua tanganku lalu kuletakkan di atas meja. Kutarik kursi yang ada di sebelah Fia dan menjatuhkan pantatku di sana. Kusesap kopi yang masih mengepulkan asap panasnya. Aroma harum yang menguar di indera penciumanku mampu membuat pikiranku sedikit rileks. Kulirik Fia yang juga melakukan hal yang sama denganku. Menyesap teh hangatnya. "Enak juga teh buatanmu. Besok-besok bolehlah aku dibuatin lagi," celetuk Fia membuatku langsung menoleh ke arahnya. "Enak saja. Kamu pikir aku office boy apa?" Kami berdua tergelak. Fia menghentikan tawanya, menoleh ke arahku. Tatapan matanya menuntut sebuah penjelasan kepadaku. "Kamu jadi cerita nggak sih, Zie? Lagian kenapa juga harus membawaku ke sini. Tinggal cerita aja harus sembunyi-sembunyi segala." Kuhela napasku. "Karena ini rahasia. Cukup kamu saja yang tahu. Maka dari itu aku membawamu ke sini. Agar yang lain tidak ada yang mendengar." Reaksi Fia justru membuatku terheran-heran. Gadis itu menelisik wajahku, menatap perutku lalu menatap intens wajahku. "Zie ... kamu ... nggak lagi hamil, kan?" "Apa?" Mataku sudah melotot mendengar celetukan tak terduga dari Fia. Dan saat itulah kedatangan Mas Roy membuatku juga Fia menegang lalu kami berdua saling pandang. Mas Roy yang tiba-tiba saja masuk ke dalam pantry lalu bertanya , "Siapa yang hamil?" membuatku dan Fia gelagapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD