LINZIE - 12

2020 Words
Inilah hari itu, hari yang begitu mendebarkan bagiku, pada akhirnya datang juga. Hari di mana Mas Roy akan mengikrarkan diri untuk mengikatku sebagai pasangan hidupnya. Sejak pagi semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Tak terkecuali Papa dan Mama. Hari ini adalah hari buat mereka, karena dalam acara pernikahanku ini, baik aku juga Mas Roy tidak mengundang teman kerja kami berdua. Ya, hanya Fia saja yang kami undang. Itupun karena Fia adalah sahabat baikku. Aku tak akan mungkin menyembunyikan pernikahanku darinya. Selebihnya hanya Papa dan Mamaku serta Papa dan Mama Mas Roy lah yang mengundang banyak tamu. Khususnya para rekan bisnis serta kolega mereka. Suasana hatiku sudah gugup sedari tadi. Beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik Fia yang mau mendampingiku. Bahkan Fia sudah menginap di rumah sejak semalam. Semua karena permintaanku. Acara pernikahanku akan dilakukan pagi hari dan setelahnya akan langsung berlanjut dengan sebuah resepsi yang bisa kukatakan bukanlah acara biasa saja. Maklumlah, Papa dan Mamaku juga memiliki banyak relasi bisnis juga termasuk salah satu keluarga besar, yang jumlah sanak saudaranya tidak bisa dibilang sedikit. Begitupun dengan kedua orangtua Mas Roy. Dan ini merupakan acara besar bagi kedua orangtuaku untuk yang pertama kalinya. "Fi, aku kenapa jadi gugup begini." "Wajarlah, namanya juga jadi pengantin. Pastilah gugup." Fia terkikik. Dia seperti pernah saja menjadi pengantin. "Mas Roy sudah datang belum, sih." "Sabar kenapa. Paling sebentar lagi Mas Roy datang." Aku memang sedang menunggu kedatangan Mas Roy beserta keluarganya. Kami sedang berada di tempat acara dan setengah jam lagi seharusnya acara sudah harus dimulai. "Itu dia, Mas Roy datang," celetuk Fia. Membuatku menoleh menatap lelaki tampan dengan langkah tegapnya yang berjalan memasuki ruangan dengan diikuti beberapa orang yang kutahu adalah keluarga besarnya Mas Roy. Rasanya sungguh luar biasa lega. Mataku masih mengawasi Mas Roy dan saat lelaki itu mendongak, tatapan mata kami bertemu. Mas Roy tersenyum kepadaku dan aku pun membalasnya. Memberikan senyum termanisku kepadanya. Jika orang lain yang melihatnya, seolah aku dan Mas Roy ini adalah sepasang pengantin yang penuh dengan cinta. Padahal kenyataannya, pernikahan ini hanyalah settingan belaka, yang aku dan Mas Roy buat. ***** Semua prosesi acara berjalan lancar. Banyak sekali tamu undangan yang datang dan rata-rata diantara mereka adalah tamu dari kedua orang tua kami serta keluarga besarku juga keluarga besar Mas Roy. Meskipun ada beberapa yang merupakan teman dekat Mas Roy yang juga ikut diundang di acara ini. Aku tidak keberatan Mas Roy mengundang temannya, asalkan bukan teman kantor kita berdua. Aku belum siap mendapat cercaan, lalu dipecat dan diminta ganti rugi. Oh tidak, kenapa pikiranku jadi melayang kemana-mana. "Zie! Are you okay?" tanya Mas Roy lirih di samping telingaku. Aku terkejut lalu menoleh ke samping sambil menggelengkan kepalaku. "Kamu lapar? Mau makan?" tanya Mas Roy selanjutnya. Sebenarnya perutku memang sudah terasa lapar karena tadi pagi pun aku hanya makan satu lembar roti tawar. Dan ini sudah siang, seharusnya perutku sudah kuberi makan. "Tapi masih ada tamu, Mas?" "Kalau nunggu tamunya habis, kamu kapan makannya? Kalau lapar, sebaiknya kita turun sebentar. Makan. Ayo!" Mas Roy sudah memaksaku, menarik lembut tanganku untuk turun dari atas pelaminan. Aku pun menurut dan mengikutinya. Berada sedekat ini dengannya, ditambah suasana syahdu yang mengiringi pesta pernikahan ini, membuat jantungku terus saja berdetak kencang. Apalagi perlakuan Mas Roy yang cukup manis kepadaku, semakin membuatku terbawa perasaan. Kuhampiri Fia yang sedang duduk bersama salah satu saudaraku. Sementara Mas Roy, lelaki yang telah sah menyandang gelar sebagai suamiku, sedang menuju meja prasmanan untuk mengambilkan aku makanan. "Zie." "Kenapa, Fi." "Kenapa aku tidak melihat Kak Bie, ya, sejak semalam?" Deg Pertanyaan Fia membuatku harus mengingat memori dua hari lalu. Iya, Kak Bie memang benar tidak ada di sini. Kak Bie tidak ingin menghadiri atau pun melihat acara pernikahanku dengan Mas Roy. Dua hari lalu Kak Bie pamit pada Papa dan Mama. Tak sengaja aku melihatnya yang membawa sebuah koper besar. Kak Bie mengatakan jika dia akan pergi keluar kota untuk beberapa hari. "Zie, kakak minta maaf tidak dapat menghadiri acara pernikahanmu." "Kak Bie mau ke mana? Kenapa bawa koper segala?" tanyaku. "Kakak ada pekerjaan di luar kota. Ya, sudah kakak pergi dulu. Semoga acara pernikahanmu berjalan lancar." Aku hanya bisa menatap punggungnya yang telah menghilang keluar dari rumah. Begitupun dengan papa juga mama tak ada yang berniat menghalangi kepergian Kak Bie. Aku tahu jika Kak Bie sengaja menghindariku. "Maafkan Zie, kak." gumamku lirih di dalam hati. "Zie!" kembali Fia memanggilku. Kali ini dengan sedikit memukul lenganku. "Ya, Fia!" Fia hanya menatapku dengan mata melotot. Aku tahu dia kesal padaku karena pertanyaannya tak kunjung aku jawab. "Kak Bie ... dia tidak bisa hadir di acara ini." Huft ... kutatap Fia yang kini menghela napas. "Kasihan juga, ya, Kak Bie. Pasti dia sedang patah hati. Oleh sebab itulah kenapa Kak Bie tidak ingin menghadiri acara pernikahanmu. Mungkin saja dia takut khilaf dan membawamu lari." " Fi .... " aku melotot padanya. Fia ini terkadang memang seperti itu. Bisa berbicara apa adanya tanpa di filter. Meskipun apa yang Fia ucapkan memang benar seusai kenyataan yang ada. Aku memang sudah meyakini jika Kak Bie pasti tak ingin melihatku menikah dengan Mas Roy. Tidak mudah melihat orang yang dicintai justru harus bersanding dengan pria lain. Namun, hanya inilah jalan satu-satunya yang harus kupilih. Meski kutahu hal ini akan menyakiti Kak Bie dan membuat Kak Bie patah hati. "Maafkan aku, Kak." Kembali aku meminta maaf dalam hati. Merasa sangat bersalah pada Kak Bie. Aku tersadar dari kesedihan kala Mas Roy datang dengan membawa makanan. "Makanlah. Mukamu pucat. Kamu pasti capek, kan?" Aku mengangguk. Mas Roy sudah meletakan sebuah piring di hadapanku. "Mau aku suapin?" tawarnya "Tidak perlu, Mas. Aku bisa makan sendiri." "Ehem ...." deheman Fia tak ditanggapi oleh Mas Roy. Aku menoleh kearah Fia, mendelik padanya dan Fia justru tertawa menggoda. **** "Mas, sebaiknya kita pulang saja, ya," ajakku. "Pulang?" "Iya." Aku mengangguk. "Aku nggak bisa tidur di sini." "Nggak bisa tidur di sini karena ada aku?" Kembali aku mengangguk ragu. "Aku tak terbiasa sekamar berdua dengan orang lain. Apalagi ... seorang lelaki," ucapku kemudian . "Aku bukan orang lain, Zie. Aku suamimu kalau kamu lupa." "Aku tahu mas tapi___ " "Kamu pasti merasa tidak nyaman, kan?" "Iya." "Tapi ... kita tidak bisa pulang begitu saja. Apa kata papa dan mama nanti jika tahu tiba-tiba kita berdua pulang ke rumah." "Terus?" "Ya, sudah, begini saja. Bagaimana kalau kita keluar." "Keluar?" "Ya. Keluar dari hotel. Kita bisa jalan-jalan, cari makan di luar, atau mau nonton sekalian." Sepertinya itu memang ide yang bagus. "Eum ... bolehlah, Mas. Kalau begitu ayo kita keluar." Malam ini memang aku harus menetap dan menginap di hotel yang merupakan satu paket dengan gedung untuk acara resepsi tadi siang. Semua keluargaku juga keluarga Mas Roy sudah pulang ke rumah sejak sore tadi, setelah acara resepsi selesai. Dan aku ditinggal hanya berdua bersama Mas Roy. Akan tetapi suasana canggung menyelimuti karena mungkin aku tak terbiasa berduaan dengan Mas Roy, sekalipun Mas Roy adalah suamiku. Semua butuh proses dan aku butuh menyesuaikan diri. Mas Roy menggandeng tanganku keluar dari kamar hotel . Berjalan berdua dalam kebisuan menuju lift. Hingga di dalam lift pun tak ada kata yang terlontar baik dari mulutku juga dari mulut Mas Roy. Ting Pintu lift terbuka, Mas Roy kembali meraih jemariku, digenggamnya erat dan membawaku keluar dari dalam lift. Aku hanya mengikutinya yang kini justru masuk ke dalam resto hotel. "Kita makan malam dulu di sini tidak apa, kan?" tanyanya dan aku mengangguk meng-iyakan. Aku yang memang sedikit lapar hanya menurut saja. Berdiri dan mengamati beberapa makanan yang telah tersaji. Mas Roy sudah mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi, sayur juga lauk. Aku pun melakukan hal yang sama. Mengisi piringku dengan beberapa jenis makanan yang telah dihidangkan. "Mau duduk di mana?" tanyanya kemudian. Kuedarkan pandangan keseluruh penjuru resto yang hampir semua kursinya sudah berpenghuni. "Di sana saja!" tunjukku ke sebuah kursi yang berada di bagian pojok. Entahlah, kenapa aku suka sekali duduk di pojokan. Menurutku lebih nyaman, lebih privasi dan tidak menjadi pusat perhatian, hingga aku bisa fokus menikmati makanan. Mas Roy mengangguk, "Baiklah." Lalu melangkah ke tempat yang tadi aku tunjuk. Aku pun mengikuti di belakangnya. Kita berdua makan dalam diam. Sebenarnya terasa canggung tanpa diselingi obrolan, hanya saja aku bingung mau membuka obrolan tentang apa. "Habiskan makananmu. Kamu harus banyak makan. Aku nggak mau ya, jika setelah menikah badanmu tambah kurus." Aku hanya mencebik mendengar celetukan yang meluncur dari bibir Mas Roy. "Setelah ini kamu mau ke mana?" tanyanya lagi. "Terserah Mas Roy saja." "Kamu tidak capek?" Sebenarnya aku merasa capek dan lelah setelah satu hari ini menghabiskan waktu dengan segala macam prosesi acara pernikahan. "Ya, capek, Mas. Memang Mas Roy enggak capek apa?" "Ya, capek, lah. Mana seharian harus berdiri terus-terusan." "Ya sudah, kalau begitu kita kembali ke kamar saja. Tidur," ucapku. "Yakin, kita balik kamar?" tanya Mas Roy memastikan apa yang aku katakan barusan. Aku mengangguk. "Yakin bisa tidur?" "Nggak tahu. Tapi setidaknya kita bisa istirahat di dalam kamar." "Tadi siapa yang ngajakin pulang?" Aku mengerucutkan bibirku. Memang aku yang tadi rewel dan ingin pulang ke rumah. **** Setelah menghabiskan makan malam di resto hotel, Mas Roy pada akhirnya membawaku kembali ke dalam kamar. Entahlah, rasa capek yang kurasakan membuatku hanya pasrah dan menurut ke mana Mas Roy membawaku. Begitu kamar terbuka, mataku langsung berbinar melihat kasur yang membentang. Ingin segera aku merebahkan tubuhku di atas sana. Namun, tiba-tiba tubuhku menegang mengurungkan niat masuk ke dalam kamar dan keinginan segera merebahkan badan. Aku teringat beberapa jam lalu saat pertama kali masuk ke dalam kamar ini. Hanya mengingatnya saja pipiku kembali bersemu merah. Bagaimana aku tidak malu jika saat pertama kali aku masuk ke dalam kamar ini, tadi sore setelah selesai acara resepsi lebih tepatnya. Kondisi kamar ini sudah di desain sedemikian rupa sebagai kamar pengantin kami. Kasur putih yang terbentang luas dengan taburan bunga mawar merah serta sepasang angsa yang berada di tengahnya. Aku yang melihat hanya bisa menganga tak percaya. Lebih memilih membersihkan riasanku dan tak menghiraukan suasana romantis kamar ini. "Zie, kamu mau tidur di atas mawar merah ini?" celetuk Mas Roy tanpa memperhatikanku dan fokus menatap takjub ranjang pengantin kami. Aku mengernyit, tapi kemudian menggeleng. Mas Roy masih menatap ranjang yang memang terlihat sangat cantik. Lalu kedua tangannya menyapu bersih mawar yang bertebaran di atas kasur. Menyingkirkan sang angsa lalu merebahkan dirinya di atas sana. Aku hanya meliriknya melalui cermin yang ada di hadapanku. Melepas satu persatu aksesori yang menempel di kepalaku hingga semua terlepas dan aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku tersentak kaget dari lamunan saat tangan Mas Roy menarikku masuk ke dalam kamar. Membuyarkan bayanganku tentang kondisi kamar ini yang sudah jauh lebih bersih dari saat pertama kali aku masuk ke sini tadi. "Kenapa bengong saja dari tadi?" tanyanya. Aku menggeleng. "Nggak papa, Mas." Mas Roy membawaku duduk di atas ranjang. Kami berdua duduk saling bersisihan. Oh Tuhan, jantungku sudah berdegub tak karuan. Hanya berdua bersama Mas Roy di dalam kamar hotel dengan status baru yaitu sepasang suami istri. Jujur aku takut. Entahlah, rasanya seperti tidak siap saja menyerahkan diri ini sepenuhnya pada Mas Roy. Meskipun dia sudah sah menjadi suamiku, tapi rasanya untuk memulai keintimaan diantara kami masih terasa kaku. "Zie...." Tangan Mas Roy menggenggam erat tanganku. Kuberanikan diri mendongak untuk menatapnya. Pancaran mata Mas Roy yang begitu sejuk membuatku terpesona. "Aku tidak akan memaksakan apapun padamu selagi kamu tak menginginkannya. Jadi, jangan takut berduaan denganku. Karena aku tak akan pernah berani menyentuhmu, tanpa seizinmu. Aku janji akan menjagamu. Karena mulai saat ini, kamu adalah istriku." Aku ternganga mendengar penuturannya. Aku tak tahu harus menjawab apa. Tapi yang jelas melihat Mas Roy yang tersenyum kepadaku, ditambah tangannya yang kini terulur mengusap poniku membuatku memejamkan mata seketika. Menikmati momen di mana ada seorang lelaki yang memperlakukanku selembut ini. Entahlah, akupun tak tahu apa yang dirasakan Mas Roy saat ini. Aku juga tak akan berani bertanya apapun kepadanya. "Tidurlah. Aku tahu kamu pasti capek." Kubuka mataku, Mas Roy melepaskan genggaman tangannya lalu berdiri. Merapikan bantalku dan apa yang dilakukan setelahnya sungguh membuatku tak bisa berkutik lagi. Diangkat kedua kakiku, dinaikkan ke atas ranjang. Lalu direbahkan tubuhku dan menarik selimut hingga batas dadaa. Aku hanya menurut dengan apa yang dilakukannya. Detik selanjutnya, Mas Roy meninggalkanku masuk ke dalam kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD