LINZIE - 5

1963 Words
Sejak pembicaraanku bersama Mas Roy dua hari lalu, tak ada bahasan lagi mengenai hal itu antara aku dan dirinya. Interaksi kami kembali seperti sedia kala, sebatas urusan pekerjaan yang terkadang diselingi canda tawa. Aku pun juga tak berani menanyakan kembali perihal tawaran pernikahan itu. Cukup satu kali aku mempermalukan diriku sendiri di hadapannya. Sungguh, itu seperti bukan aku saja yang melakukannya. Kak Bie, sejak malam itu hingga detik ini aku tak lagi melihatnya sama sekali di rumah. Pernah aku bertanya sekali pada Mama. Info yang aku terima dari Mama, Kak Bie sedang pergi ke luar kota. Ada pekerjaan yang memang sengaja Papa serahkan pada kakak lelakiku itu. Sedikit merasa tenang karena hari-hariku tidak terusik dengan tingkah Kak Bie. Tapi di lubuk hatiku yang terdalam, sejujurnya ada rasa kasihan pada Kak Bie. Pasti kakakku itu sangat tersiksa karena perasaan tak biasa yang harus dia rasa. Aku pun tidak pernah menyalahkan Kak Bie, karena aku tahu jika perasaan suka dan cinta itu tumbuh karena terbiasa. Aku tidak pernah memungkiri akan hal itu. Hanya saja Kak Bie yang tidak bisa membentengi dirinya sendiri untuk tidak menaruh cinta yang begitu besar untukku. Aku teringat bagaimana Kak Bie yang selalu melindungiku sejak aku kecil. Kak Bie yang penuh cinta dan kasih sayang kepadaku. Hingga terkadang aku sangat bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan seorang pelindung sebaik Kak Bie. "Zie!" aku tersentak dari lamunan. Mas Roy berdiri menjulang di depan meja kerjaku. Aku mendongak menatap padanya, lalu bertanya. "Kenapa, Mas?" "Malam nanti kau ada acara tidak?" "Malam nanti ... eum sepertinya tidak ada," jawabku karena memang malam ini usai pulang kerja aku tak ada acara apa pun, juga tak berencana pergi ke mana-mana. "Papa dan Mamamu ada di rumah tidak?" Aku mengernyit lagi, tumben Mas Roy bertanya tentang Papa dan mamaku. "Eum, sepertinya ada. Karena Mama dan Papa juga tidak memberitahu apa pun padaku jika mereka ingin pergi atau ada acara," jawabku. Mas Roy tersenyum. "Oke, baiklah kalau seperti itu." "Memangnya ada apa, Mas?" Mas Roy tak menjawabku dan hanya mengedikkan bahu keluar dari ruangan. Aku hanya bisa menatap punggung kokohnya dari belakang. Tak berselang lama Fia masuk ke dalam ruangan dan kulihat dia sempat berpapasan dengan Mas Roy di depan pintu. "Fi!" panggilku. Wanita cantik yang sudah menjadi sahabatku sejak dulu saat kami masih sama-sama berstatus mahasiswa, mendekat kepadaku dan berdiri di depan meja kerjaku. "Kau sudah datang, Zie. Ada apa?" "Kau merasa tidak, jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Mas Roy?" tanyaku pada Fia, karena memang aku merasa sedikit aneh dengan kelakuan Mas Roy dua hari ini. Lelaki itu lebih banyak tak peduli kepadaku dan seolah mendiamkanku. Aku sempat berpikir apakah karena pembicaraanku dengannya tempo hari hingga berakhir Mas Roy yang menjauhiku. Oleh karenanya kenapa aku bertanya pada Fia. Aku ingin tahu apakah Mas Roy juga memperlakukan Fia sama dengan Mas Roy memperlakukanku. "Memang ada apa dengan Mas Roy?" Fia justru balik bertanya kepadaku. "Sepertinya dia sedikit pendiam. Itu sih menurutku, tapi enggak tahu juga sih jika denganmu dia begitu juga atau tidak." Fia tampak berpikir dan dia menggeleng lemah, "Aku rasa tidak ada yang berbeda dengan Mas Roy. Masih sama seperti biasanya." Fia kembali menatapku, membuatku menghela napas dalam. "Ya, sudahlah. Lupakan. Mungkin aku saja yang terlalu sensi akhir-akhir ini." Kusandarkan punggungku, mendongak menatap Fia yang masih juga tak beranjak. "Zie, kau itu terlalu banyak pikiran. Apa ... Kak Bie masih saja berulah?" tanyanya penasaran. Aku dan Fia tidak pernah menyembunyikan rahasia dan dengannya pula aku percaya menceritakan apapun juga. Aku menggeleng. "Entahlah, sudah dua hari ini aku tak bertemu dengannya. Sejak___" Aku diam tak jadi melanjutkan. Ragu untuk bercerita padanya. Memang aku belum menceritakan pada Fia, tentang pengakuan Kak Bie pada Papa dan Mama tempo hari. "Sejak apa?" Benar kan, Fia pasti tidak akan puas dan terus mendesak hingga aku bercerita kepadanya. "Sejak pengakuanya pada Papa dan Mama." "Pengakuan? Jangan bilang ... Oh, tidak ... tidak ...." Fia menggelengkan kepalanya dengan wajah seolah tak percaya. Kuhela napasku. "Ya, Kak Bie mengatakan pada Papa dan Mama jika ingin menikahiku." "Sudah gilaa memang kakakmu itu. Ck." Fia berdecak. "Entahlah Fi, aku pun tak tahu apa yang ada dalam pikiran Kak Bie." "Lalu ... bagaimana reaksi Papa dan Mama setelah mengetahui hal itu?" "Tentu saja marah. Kau tahu, Fi, aku telah dibesarkan oleh mereka sejak kecil. Ya, meski pun Kak Bie kala itu sudah beranjak remaja, tetap saja kan aku hidup bersama dia sejak aku masih kecil. Dan Papa juga Mama tidak pernah menganggap aku sebagai anak angkat. Meski pun kenyataannya aku bukanlah anak kandung mereka." Kupejamkan mataku. Fia mengelus pundakku berusaha menenangkanku. "Dan ... apa keputusan yang keluargamu buat setelah mengetahui semuanya?" Pertanyaan Fia membuatku terdiam. Aku belum siap mengatakan jika aku sudah memutuskan untuk mencari lelaki yang mau menikahiku. Apalagi tentang tawaran Mas Roy. Aku belum ingin menceritakan apa pun pada Fia mengenai hal itu. Karena aku pun tak tahu apakah Mas Roy benar-benar mau membantuku atau tidak. **** Malam ini aku sedang berada di dalam kamar ketika pintu kamarku diketuk. Seperti biasa aku tengah bersantai membaca n****+ roman dengan berbaring tengkurap di atas kasur. "Zie! Buka pintunya, Sayang." Itu suara Mama yang sedang berada di luar kamarku. "Sebentar, Ma!" jawabku, kuletakkan n****+ yang sebelumnya sudah kupasang pembatas kertas agar aku tak lupa sudah sampai mana membacanya. Lalu aku turun dari atas ranjang, berjalan menuju pintu. Setelah membuka kuncinya, kuputar hendel pintu, hingga saat pintu terbuka, wajah Mama yang masih saja terlihat cantik meski usianya tak lagi muda, tampak tersenyum sumringah menatapku. "Zie, ada tamu di luar. Ayo ganti bajumu." Mama sedikit menarik kaos kebesaran yang kukenakan. Lalu melirik celana pendek yang memang selalu kupakai di saat malam menjelang tidur seperti ini. "Memang siapa tamunya, Ma? Kenapa Zie harus ganti baju segala?" tanyaku pada Mama karena jujur aku penasaran. Ini sudah lewat jam tujuh malam dan tak biasanya ada tamu yang mencariku di malam hari seperti ini. Kecuali memang jika aku sedang ada janji dengan Fia. Tapi kali ini aku sedang tidak ada janji dengan siapa-siapa. "Sudah, jangan banyak tanya. Cepat ganti bajumu dan segera ke ruang tamu. Tak enak jika mereka harus berlama-lama menunggumu." "Mereka? Mereka siapa?" tanyaku kembali, akan tetapi Mama enggan menjawab dan justru pergi meninggalkanku. Kugaruk rambutku, antara rasa bingung dan penasaran dengan siapa tamu yang datang. Bergegas aku membuka lemari dan mengambil baju yang layak untuk aku pakai. *** Dengan ragu aku berjalan menuju di mana ruang tamu berada. Samar aku mendengar pembicaraan mereka, aku kembali mengernyit lalu menggelengkan kepala. Saat tubuhku sudah berdiri tepat di ambang ruang tamu, mataku membulat sempurna. "Mas Roy," gumamku. Aku masih mematung di tempat saat Mama memanggil namaku. "Zie, ayo ke marilah!" Aku masih tak mengerti dengan keberadaan Mas Roy dengan beberapa orang yang sudah memenuhi ruang tamu rumah ini. Mas Roy menatapku dengan senyuman tersungging di bibirnya. Pada akhirnya aku pun menurut dan duduk di samping Mama. Kutatap Papa yang juga sedang menatapku. "Zie, jangan bingung seperti itu. Eum ... jadi maksud kedatangan tamu kita malam ini ... maksud Papa adalah Roy beserta keluarganya, adalah ingin melamarmu," ucap Papa membuatku terhenyak. Melamar! Jadi, benarkah Mas Roy melamarku. Aku mendongak menatap lelaki yang malam ini terlihat lebih tampan dari biasanya. Baju batik yang melekat di tubuh atletisnya sungguh membuatnya tampak semakin mempesona. Aku menelan ludah susah payah, tak tahu harus berkata apalagi. "Linzie, benar apa yang tadi disampaikan Pak Hadinata. Kedatangan kami ke mari adalah ingin melamarmu untuk menjadi istri anak kami, Roy." Kali ini lelaki paruh baya yang juga seumuran Papa mengatakan hal yang sama seperti yang disampaikan oleh papaku. Pak Hadinata yang beliau maksud adalah nama Papa angkat yang sudah kuanggap sebagai Papa kandungku sendiri. Aku terdiam dengan masih memandang lelaki yang kutebak adalah papa Mas Roy. Baru kali ini aku menjumpai keluarga Mas Roy. Di sebelah lelaki itu ada seorang wanita berjilbab yang pasti adalah Mama Mas Roy. Wanita itu juga tampak sumringah menatapku. Aku belum bisa mengatakan apa-apa, sangat bingung karena tak ada persiapan apa pun tentang lamaran mendadak kali ini. Mas Roy juga kenapa harus membuatku tampak bodohh di depan keluarganya. Seharusnya dia mengatakan padaku jika keluarganya akan datang untuk melamarku malam ini, sehingga aku ada persiapan atau setidaknya menyiapkan jawaban. Aku tahu ini semua karena permintaanku pada Mas Roy yang menginginkannya untuk menikahiku, dengan tujuan agar aku terbebas dari Kak Bie. Tapi aku sungguh tak menyangka jika acara lamaran Mas Roy kali ini terkesan formal hingga aku pun ternganga dibuatnya. "Zie, bagaimana? Linzie terima, kan, lamarannya Roy?" kembali papa Mas Roy bertanya padaku. Aku menatap Mama lalu menatap Papa. Dan terakhir aku menatap Mas Roy. Lelaki tampan itu mengangguk dan aku tahu apa artinya. Mas Roy ingin aku menjawab 'Ya'. Memang sudah seharusnya aku menerima lamaran ini. Karena inilah yang aku inginkan. Namun, apakah harus secepat ini aku memutuskan menikah. Tak ada cara lain lagi untukku agar bisa terhindar dari Kak Bie. Dan dengan sekali tarikan napas, aku menatap semua yang tengah berkumpul di ruang tamu. "Ya, Zizie terima lamaran Mas Roy." "Alhamdulillah." Mereka semua yang berada di dalam ruang tamu ini mengucap syukur secara bersamaan. Sementara aku, antara lega dan juga bimbang setelah memberikan jawaban itu. *** "Thanks, Zie," ucap Mas Roy tiba-tiba. Aku menoleh ke samping. Saat ini aku dan Mas Roy sedang duduk berdua di teras belakang. Mencari angin segar sembari menunggu makan malam disiapkan. Kedua orang tua kami masih melanjutkan pembahasan seputar pernikahanku dengan Mas Roy. Sungguh, mereka begitu antusias mengenai hubunganku dengan Mas Roy. Aku tak tahu apa jadinya jikalau sampai mereka mengetahui yang sebenarnya. Iya, hubungan sebenarnya antara aku dan Mas Roy. "Thanks buat apa, Mas?" tanyaku. "Karena kamu mau menerima lamaranku," ucapnya. Aku mengernyit, tak mengerti dengan apa yang dikatakan Mas Roy. Kenapa harus dia yang berterima kasih kepadaku. Seharusnya aku yang diuntungkan dalam hal ini, karena semua ini tak lepas dari keinginanku yang berusaha menghindari Kak Bie. Namun, aku kembali berfikir, sedikit tanya singgah di pikiranku. Kenapa juga Mas Roy mau membantuku. Padahal menikah itu menyangkut masa depan dan hidupnya. Penasaran aku memberanikan diri bertanya padanya. "Eum ... Mas. Boleh aku bertanya sesuatu?" "Apa itu?" jawab Mas Roy dengan tatapan menyelidik. "Kenapa Mas Roy mau membantuku dan mau menikah denganku. Padahal kan ... ini menyangkut masa depan dan hidupmu, Mas. Aku jadi heran, kenapa Mas Roy juga berterima kasih padaku. Bukankah seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu, Mas. Berkat bantuanmu aku jadi bisa terlepas dari Kak Bie," ucapku. Mas Roy membuang pandangannya, dan menatap lurus ke depan. "Zie, kau tahu jika usiaku ini sudah tak muda lagi. Dan seharusnya, lelaki seumuranku ini sudah saatnya berumah tangga. Tentunya kau sudah paham, kan, apa maksudku?" Hei kenapa dia berbicara tak jelas. Aku sedikit berpikir untuk mencerna ucapan Mas Roy. "Kedua orangtuaku sudah memaksa agar aku segera menikah. Dan ... hanya dengan cara ini, setidaknya aku terbebas dari cercaan mereka," jelasnya kemudian. Aku jadi paham, intinya dengan pernikahan ini aku dan Mas Roy sama-sama diuntungkan. "Aku paham sekarang. Jadi, dengan pernikahan ini, sama-sama akan membawa keuntungan buat kita. Mas Roy terbebas dari tuntutan pernikahan dan aku bisa terlepas dari Kak Bie." "Gadis pintar," ucapnya lalu terkekeh. "Tapi tunggu dulu, Mas. Memangnya kenapa Mas Roy tidak juga menikah hingga di usia ini? Tidak mungkin juga lelaki seperti Mas Roy ini tidak memiliki kekasih." Hening, tak ada jawaban yang terlontar dari mulut lelaki di sebelahku ini. Kuberanikan diri untuk menoleh ke samping, menatap Mas Roy yang kini justru sudah berdiri dari duduknya. Dia tak berniat menjawab pertanyaanku. "Ayo kita masuk!" Setelah mengatakan itu Mas Roy masuk ke dalam rumah dan meninggalkanku yang masih duduk di teras. Meninggalkan banyak tanya dalam benakku. Kugelengkan kepala demi mengusir pemikiran buruk yang bercokop di dalam otakku. Tidak mungkin juga lelaki tampan dan mapan seperti Mas Roy tidak memiliki kekasih. Atau jangan-jangan dia adalah ___ Oh, tidak. Itu tidak mungkin. Segera aku beranjak berdiri. Menyusul Mas Roy masuk ke dalam rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD