LINZIE - 4

1578 Words
Baru juga mobil yang aku kendarai berhenti di depan halaman rumah, perasaanku sudah tidak enak. Seperti merasa akan ada sesuatu yang terjadi. Kulihat mobil Papa ada di dalam garasi bersebelahan dengan mobil Kak Bie. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Belum juga jam tujuh malam, tapi sepertinya seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di rumah. Baru melangkahkan kaki di teras, suara-suara dari dalam rumah membuatku terpaku di tempat. "Kamu ini jangan macam-macam, Habibie!" Itu suara Papa, tidak biasanya aku mendengar suara Papa dengan nada tinggi seperti itu. "Pa, Habibie serius. Habibie tidak ada bercanda sedikit pun. Habibie sudah dewasa, Pa! Sudah bisa menentukan masa depan. Habibie tau apa yang bisa membuat Habibie bahagia. Dan Linzie ... Dia lah sumber kebahagiaan Habibie." Deg kurasa jantungku berhenti berdetak saat ini juga. Itu suara Kak Bie. Dan apa yang telah Kak Bie katakan? Oh tidak. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin Kak Bie mengaku di depan Papa dan Mama tentang perasaannya padaku. Aku harus bagaimana sekarang. "Habibie! Linzie itu adikmu. Kamu tidak boleh seperti ini." "Tapi, Ma! Kita berdua hanyalah saudara angkat. Tidak ada ikatan darah diantara aku dengan Linzie. Jadi, tidak ada yang salah jika aku menikahi Linzie." "Astaga, Habibie! Mama tidak tahu lagi harus berkata apa. Kamu dan Zie sudah Mama besarkan bersama. Meski Zie bukanlah anak yang lahir dari rahim Mama, tapi Mama sudah menganggap Zie seperti anak kandung Mama sendiri. " "Mama! Sekali pun aku menikahi Linzie, toh Linzie masih juga jadi anak Mama, kan?" "Tapi, Bie .... " "Sudah cukup! Habibie. Pikirkan baik-baik apa yang baru saja kamu katakan. Papa sayang sama kamu dan Zie. Papa berharap agar kamu dan Zie tetap menjadi saudara, sekarang dan selamanya," ucapan tegas Papa yang masih kudengar. Aku tidak bisa membiarkan mereka terus berdebat hanya karenaku. Berpikir sejenak, memang aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan ini. Setidaknya untuk menghentikan niat Kak Bie yang ingin menikahiku. Bukan aku tidak suka dengan Kak Bie. Aku sayang degan Kak Bie, tapi tidak lebih rasa sayang adik pada kakak lelakinya. Selama ini Kak Bie lah tempatku bersandar dan bersama Kak Bie aku merasa nyaman. Kumantapkan hati melangkah memasuki rumah, dan begitu aku berdiri diantara mereka, tatapan Papa, Mama juga Kak Bie langsung tertuju ke arahku. "Zie!" panggil Mama dengan suara lirih. "Kamu sudah pulang? Kapan sampai, kenapa Mama tidak mendengar suara mobilmu." "Oh, itu Ma. Mobilnya Zie parkir di depan pagar. Jadi Mama mungkin tak mendengar." "Zie! Kebetulan kamu datang. Ada yang ingin kakak bicarakan padamu." Kak Bie menatapku dengan tatapan penuh kelembutan, seperti yang biasa dia lakukan padaku. "Duduklah, Zie!" titah Papa. Aku mengangguk dan duduk disamping Mama. Mama mengelus pelan lenganku masih dengan menatapku sayu. Aku tahu jika Mama pasti merasa dilema dengan perkataan Kak Bie tadi. Dilain sisi, Mama juga sangat menyayangi Kak Bie dan aku pun tak memungkiri jika Mama juga sangat menyayangiku. Selama aku menjadi anak angkat mereka, tak sekali pun mereka membedakan cara pengasuhan antara aku dengan Kak Bie. Mama dan Papa menganggapku seperti anak kandung mereka sendiri. "Zie ...." panggil Kak Bie, membuatku mengalihkan perhatian kepadanya. "Aku sudah bicara pada Papa dan Mama perihal perasaanku padamu. Aku tak mampu menahannya lagi. Dan aku juga tidak akan membohongi diriku sendiri jika aku benar-benar tulus menyayangimu. Aku mencintaimu Zie, dan aku ingin menikahimu." Aku terperanjat, dengan gamblangnya Kak Bie berbicara seperti itu. Seolah tanpa beban. Padahal Papa sudah menghela napas berat mendengar penuturan Kak Bie barusan. "Kak Bie, maafkan Zie. Tapi ... Zie tidak bisa. Zie tidak bisa menikah dengan Kak Bie karena__" sungguh berat aku mengatakan ini. Haruskah aku berbohong pada mereka. "Karena apa, Zie?" tanya Kak Bie tidak sabar. "Karena ... karena Zie mau ... mau menikah." Setelah mengatakan itu segera kupejamkan mataku. Jangan ditanya bagaimana gugupnya aku. Sebuah keterpaksaan yang mengharuskanku berbohong pada mereka. Hanya itu jalan satu-satu jika aku tidak ingin Kak Bie terus mendesakku dengan ide pernikahan konyolnya. "Apa? Kamu mau menikah?" Kak Bie tertawa sumbang. "Benarkah kamu ingin menikah, Zie?" tanya Papa tak percaya. Aku mengangguk lemah."Iya, Pa. Ada lelaki yang sudah melamar Zie." "Katakan padaku, Zie. Siapa laki-laki yang telah berani melamarmu?" "Nanti Kak Bie juga akan tahu siapa lelaki itu." "Omong kosong! Jangan mencari-cari alasan, Zie. Aku tahu kamu berbohong. Jangan pernah mempermainkanku." "Kak Bie, Zizie tidak pernah sekalipun mempermainkan kakak. Dan apa yang Zie katakan tadi memang benar adanya. Tidak lama lagi mereka akan datang ke rumah ini untuk melamar Zie secara resmi. Maafkan aku, Kak." Kulihat wajah Kak Bie yang mengeras. Aku tahu kak Bie marah. Yang bisa kulakukan hanya menunduk. Mama masih merangkul pundakku memberi kekuatan padaku. "Zie!" panggil Papa, aku mendongak menatapnya. "Bawa calon suamimu ke rumah ini. Secepatnya." "Baik, Pa." aku yakin jika suaraku sudah bergetar karena sedari tadi debaran jantungku tak kunjung mereda. Bagaimana mungkin aku mengiyakan saja permintaan papa. Haruskah aku menerima tawaran mas Roy? Tapi, memang hanya itu jalan satu-satunya yang kupunya. "Papa, Mama, Zie masuk ke dalam dulu. Zie capek. Selamat malam." Aku beranjak berdiri meninggalkan mereka yang masih menatap punggungku. Ingin segera mengurung diriku didalam kamar agar terbebas dari semua. *** Dengan perasaan gundah gulana aku melanglahkan kaki memasuki lobi kantor. Setelah kejadian semalam, aku belum lagi menjumpai Kak Bie. Bahkan saat sarapan, Kak Bie juga tak terlihat di ruang makan. Entah kemana perginya, karena aku pun tak berani bertanya pada Mama juga Papa. Setelah memasukkan tas kerja ke dalam laci, aku kembali meninggalkan ruangan di mana meja kerjaku berada. Tujuanku adalah pantry, membuat secangkir kopi sepertinya mampu membuat suasana hatiku sedikit membaik. Tepat di ambang pintu ruangan, aku terkejut hingga sedikit melangkah mundur ke belakang karena hampir saja aku bertabrakan dengan Mas Roy. "Astaga, Mas! bikin kaget saja," protesku mencoba menenangkan diri karena rasa keget yang baru saja menderaku. "Mau ke mana?" bukan menjawab perkataanku, kini justru Mas Roy bertanya kepadaku. "Pantry," jawabku singkat. Mas Roy hanya ber ‘oh’ saja mendengar jawaban yang keluar dari mulutku, selanjutnya dia melewati sisi tubuhku dan menuju di mana meja kerjanya berada. Seolah teringat sesuatu, aku membalikkan badan. Melihat punggung kokoh Mas Roy dari belakang. "Mas Roy!" panggilku. Si pemilik nama menoleh kearahku. "Kau memanggilku, Zie? Ada apa?" Ya, Tuhan! Aku bingung harus berkata apa pada Mas Roy. Rasanya susah sekali hanya ingin mengutarakan maksud hatiku. "Zie!" panggil Mas Roy. Aku tergagap, dengan ragu aku berkata, "Eum ... Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Apa Mas Roy ada waktu? Mungkin saat lunch nanti." Tampak Mas Roy menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia sedang bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan sesuatu yang akan kusampaikan kepadanya. "Apa yang ingin kau bicarakan, Zie? Apa ada hal pribadi atau mengenai pekerjaan." "Hal pribadi." Mas Roy mengangguk. "Okay. Nanti kita lunch bareng." Aku tersenyum mendengar jawabannya. Lalu aku bergegas keluar ruangan. Aku tidak lupa akan tujuan utamaku tadi. Yaitu membuat kopi. *** Seperti janjiku pada Mas Roy tadi, saat jam istirahat kantor Mas Roy membawaku ke luar. Mendapat tatapan aneh dari Fia, tapi aku tak peduli. Andai saja Fia tak ada janji dengan klien, mungkin sahabatku itu sudah mengikutiku kala mengetahui aku pergi lunch berdua bersama Mas Roy. Restoran sunda yang tak jauh dari kantor menjadi pilihan Mas Roy dan tentunya atas persetujuanku juga. Setelah memesan makanan yang didominasi dengan menu aneka persambalan, Mas Roy menatapku. Aku yang pada awalnya masih sibuk menekuri ponsel, mendongak merasa ada yang sedang memperhatikanku. Tatapan mata kami beradu. Aku sedikit salah tingkah karena tak biasanya Mas Roy menatapku sedemikian rupa. Mata elangnya yang tajam menghunus tepat ke dalam bola mataku. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan," Mas Roy kembali bertanya. Dan untuk kesekian kalinya, tiba-tiba aku merasa gugup. "Apa tawaran Mas Roy tempo hari masih berlaku?" tanyaku lirih. Mas Roy semakin menajamkan penglihatannya. Menatapku dalam diam dan sekali lagi keningnya tampak berkerut dalam. "Tawaran?" Rasanya aku ingin menenggelamkan diriku ke dasar samudra. Kenapa Mas Roy balik bertanya. Apakah dia sudah lupa dengan penawaran yang dia sampaikan kepadaku tempo hari. Ya, Tuhan! Malunya aku. Merutuki kebodohanku sendiri karena menganggap Mas Roy serius dengan perkataannya tempo hari. Nyatanya, apa yang pernah dia sampaikan itu hanyalah bualan semata. Atau jangan-jangan, Mas Roy menganggap apa yang aku ceritakan padanya itu hanya mengada-ada. Aku masih terdiam, merutuki kebodohanku sendiri. "Kalau yang kau maksud tawaran untuk menikah__" Mas Roy menggantung ucapannya. Aku mendongak menatapnya. Jadi? Mas Roy tidak main-main dengan tawaran menikah yang pernah dia bicarakan padaku. "Itu masih berlaku," ucapnya lagi. Sedikit kelegaan hinggap di hatiku. Ternyata tawarannya masih berlaku. Dan seolah aku menemukan solusi atas semua beban masalahku. "Mas!” cicitku. Kuhela napasku, "Aku ... aku ... ah, bolehkah aku menerima tawaran itu?" Sungguh aku malu mengungkapkan hal ini. Seorang Linzie mampu mempertaruhkan harga dirinya sendiri. Mengemis sebuah tawaran menikah dari seorang lelaki. Astaga, Zie! apa yang sudah kau lakukan ini? Sekali lagi aku Merutuki kebodohanku. "Ah, Mas Roy. Maaf! Aduh." Aku gugup. Kugigit bibir dalamku. "Mas, tolong lupakan saja apa yang tadi aku katakan." "Maksudnya?" "Maksudku ... ah itu, maksudku ... anggap saja aku tak pernah berkata demikian." "Kenapa bisa begitu?" "Hah?" "Padahal aku sangat mengharapkan itu. Aku berharap jika kau mau menerima tawaranku." "Maksud Mas Roy?" "Menikahlah denganku, Zie!" Aku terdiam untuk sesaat. Tubuhku membeku. Apa dia sedang melamarku? Keterdiamanku terusik dengan hadirnya pelayan yang sedang mengantar pesanan makanan kami. "Ayo, makan yang banyak. Jangan terlalu banyak berpikir. Nikmati saja apa yang ada sekarang. Masalah lain, kita pikirkan belakangan." Aku ternganga mendengar ucapannya. Kadang aku heran dengan tipe lelaki di hadapanku ini. Terkadang bisa serius dan beberapa detik kemudian bisa kembali menjadi santai. Ah entahlah, Mas Roy ini hanya membuatku tambah pusing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD