LINZIE - 6

1871 Words
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan yang entahlah, antara lega juga khawatir. Lega karena pada akhirnya ada lelaki yang mau menyelamatkanku, yaitu Mas Roy. Namun, sekaligus juga khawatir, karena ada kemungkinan jika Kak Bie tidak bisa menerima keputusanku yang akan menikah dengan Mas Roy. Jangan sampai Kak Bie tahu yang sebenarnya jika pernikahanku dengan Mas Roy hanya untuk menghindari dirinya. Kupejamkan mataku, berpikir sekali lagi. Sudah benarkah langkah yang aku ambil ini. Akankah aku bisa menjalani pernikahan dengan Mas Roy nantinya. Yang aku tahu, pernikahan itu adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh dipermainkan. Jujur, seandainya aku tidak terdesak keadaan, aku belum siap menikah. Membayangkan atau justru memimpikan ingin menikah muda saja tidak pernah. Yang kuinginkan selama ini adalah ingin mengembangkan karir, menerapkan apa yang sudah kupelajari saat aku mengenyam pendidikan dulu. Mencari pengalaman hidup yang sebanyak-banyaknya. Tidak mungkin juga jika aku terus saja menggantungkan hidupku pada Papa dan Mama. Pengorbanan mereka untukku selama ini sudah cukup banyak. Mereka mau menerimaku di saat tidak ada lagi yang menginginkanku. Bahkan mereka dengan suka cita mengangkatku sebagai anak. Perlakuan serta kasih sayang yang mereka berikan lebih dari pada cukup selama ini. Oleh sebab itulah kenapa aku berusaha ingin menjadi orang sukses, berhasil dalam karir agar aku memiliki kehidupan yang layak. Sehingga kelak di saat Papa dan Mama sudah tua, aku bisa merawat mereka tanpa mereka harus bersusah payah lagi. Semua impian dan cita-citaku hanya ingin kudedikasikan kepada mereka berdua. Aku ingin Papa dan Mama bangga kepadaku karena aku bisa menjadi orang sukses nantinya. Namun, ternyata realita tidaklah sama dengan apa yang sudah kurencakan. Semua berantakan hanya karena Kak Bie. Perasaan Kak Bie yang tidak pada tempatnya, membuatku semakin gundah gulana. "Zie!" tepukan di punggungku membuatku terjengit kaget. Aku yang sedang duduk di teras mendongak menatap Mama yang sudah berdiri di sampingku. "Ma ... Bikin Zie kaget saja," decakku sambil mengusap dadaa. "Lagian, pagi-pagi sudah melamun saja. Katanya mau mencuci mobil," ucap Mama yang langsung membuatku menepuk dahi pelan. Bagaimana aku bisa lupa tujuan utamaku berada di sini. Tadi, aku berencana mencuci mobilku, hal yang sering kulakukan di saat aku libur bekerja. Hanya ingin mencari kesibukan di rumah ketika tak ada pekerjaan. "Ini Zie mau mencucinya, Ma." "Kebanyakan melamun, kapan mulainya? Keburu siang. Panas." "Iya, Ma." Aku bangkit berdiri mengambil timba yang sudah kusiapkan sedari tadi. "Mama tahu, kok. Zie masih terbawa suasana, masih baper dengan hawa-hawa lamaran Roy semalam." Mama justru menggodaku. Kutatap Mama dengan muka tak percaya. "Ish ... Mama ... apaan sih." Malu-malu aku mencoba menyembunyikan roma merah di pipiku. Aku tahu Mama sedang bahagia sekarang karena euforia lamaran Mas Roy semalam. Mama masih saja tersenyum menggoda sembari pergi meninggalkanku. *** Aku belum selesai dengan aktifitasku, saat aku mendengar suara deheman, dan aku yakin jika Kak Bie lah yang datang. "Zie!" panggil Kak Bie. Tubuhku menegang hanya mendengar panggilannya. Ingin kuabaikan, tapi sepertinya tidak sopan. Bagaimana pun juga Kak Bie tetaplah kakakku. Kakak yang selama ini melindungiku. Di luar dari apa pun perasaannya padaku, aku tetap harus menghormati dan menghargainya. Aku menghentikan aktifitasku yang sedang mencuci mobil, menoleh ke belakang tepat di mana Kak Bie yang berdiri menjulang di belakang tubuhku. "Kak ... Kau datang?" pertanyaan bodoh macam apa yang ke luar dari mulutku. Kak Bie menatapku tak berkedip, "Kenapa? Apa kamu tidak suka jika kakak pulang?" "Bukan. Aku tak bermaksud begitu. Hanya saja ... aku ... aku hanya kaget karena tiba-tiba saja kakak datang mengagetkanku." "Zie ...!" Entah kenapa aku merasa canggung berada di situasi seperti ini. Apalagi tatapan Kak Bie yang menurutku sangat tidak biasa. Aku jadi merasa takut melihat Kak Bie yang menatapku intens seperti ini. Ini bukan tatapan biasa yang Kak Bie berikan, melainkan tatapan memuja dan penuh__ nafsu. Mungkin terlalu berlebihan aku mengatakan demikian. Tapi memang seperti itulah kenyataannya. Aku wanita dan bisa mengerti arti tatapan seorang pria. Aku tersadar jika kondisi tubuhku saat ini sedang basah kuyub. Aku menunduk menatap kaos yang kupakai mencetak jelas lekuk tubuhku. Ditambah celana pendek setengah paha yang kukenakan menampilkan paha putihku yang mulus tanpa cela. Sial, mungkinkah Kak Bie sedang bernafsu hanya dengan melihat kondisiku yang seperti ini. Bukankah dia sudah sering melihatku dalam kondisi yang sama persis dengan sekarang. Lalu, kenapa bisa dia berlaku demikian. "Kak, maaf aku masuk duluan," pamitku padanya dan tergesa masuk ke dalam rumah melewati pintu samping. "Zie ... tunggu ...!" panggilnya. Tapi aku tak menghiraukan dan tetap dengan keinginanku untuk segera menjauh dari hadapannya untuk saat ini. Biarlah aktifitasku yang sedang mencuci mobil tadi belum usai. Yang terpenting untuk saat ini aku harus segera menjauh dari jangkauan Kak Bie jika tidak ingin Kak Bie semakin berfantasi liar tentangku. Aku mungkin sedikit berlebihan, tapi setidaknya aku harus menjaga diri agar Kak Bie tidak semakin lupa diri. Lupa akan siapa aku dan siapa dirinya. "Tunggu kakak, Zie!" Kak Bie berhasil meraih tanganku. Aku gugup seketika. Antara malu juga takut padanya. "Kak! Kumohon lepaskan tanganku," pintaku lirih dengan suara bergetar. "Kenapa kamu menghindariku, Zi?" nada tanya Kak Bie memelan seiring aku yang enggan menatap padanya. "Aku tidak menghindari Kakak," tukasku menolak akan asumsinya. Padahal kenyataannya memang benar aku berusaha menghindar darinya. Aku bersyukur karena kedatangan Mama menyelamatkanku kali ini. "Bie... Kamu sudah pulang rupanya? Kenapa kalian masih di situ? Dan kamu, Zie! Bajumu basah begitu. Buruan masuk, mandi dan ganti bajumu. Bisa masuk angin nanti." Kesempatanku untuk melepaskan diri dari Kak Bie. Tanganku yang berada dalam cekalan tangan Kak Bie terlepas. Gegas aku berlalu meninggalkannya. Aku merasa Kak Bie masih memandangku sampai aku masuk melalui pintu samping. *** Beberapa kali ketukan di pintu kamar tak kuhiraukan. Setelah kejadian tadi, aku masih saja betah mengurung diri di dalam kamar. Padahal ini sudah menjelang sore. Bahkan aku sampai melewatkan makan siangku hanya karena aku belum siap bertemu Kak Bie. "Zie...! Tolong buka pintunya. Kakak ingin bicara sama kamu." Lagi dan lagi, suara Kak Bie yang penuh permohonan. Lama-lama aku menjadi tidak tega padanya. Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikannya jika Kak Bie tak lelah berusaha. Kuhela napasku sebelum kuputuskan untuk membuka pintu kamar. "Zie." Tampak kelegaan di wajah Kak Bie. Aku hanya menatapnya dalam diam sesaat setelah pintu kamar aku buka. "Zie, kakak ingin bicara denganmu." "Apa yang ingin Kakak bicarakan?" "Apa benar ... kamu sudah dilamar seseorang?" tanyanya. Pasti Papa dan Mama sudah menceritakan tentang lamaran Mas Roy pada Kak Bie. Aku mengangguk mantap dan menjawab, "Ya" "Zie, kenapa kamu tega padaku. Kenapa kamu harus menerima lamaran lelaki lain? Bukankah aku sudah bilang padamu, aku akan menikahimu." "Kak, cukup!" Aku segera menyela ucapan Kak Bie. "Zie, bilang pada kakak. Kenapa kamu melakukan semua ini? Zie, kita ini bukan saudara kandung. Dan tidak ada larangan menikah bagi kita berdua." "Kak, Aku lelah. Tolong jangan membahas hal ini lagi." "Tidak bisa, Zie. Bagaimana pun juga akulah yang lebih berhak atas dirimu. Aku hanya pergi dari rumah dua hari karena aku ingin memberimu waktu. Juga memberi ruang pada Papa dan Mama agar bisa menerima keputusanku. Tapi nyatanya ... setelah aku kembali, justru aku harus mendengar berita mengenai lamaranmu." "Kak! Zie Mohon, kakak terima apa pun keputusanku. Dan yang jelas saat ini aku sudah dilamar dan sebentar lagi akan segera menikah. Kakak jangan lagi berpikir yang bukan-bukan tentang kita. Karena sampai kapan pun hubungan kita tetap kakak dan adik. Tidak lebih dari itu." Aku sudah berniat menutup kembali pintu kamarku, tapi Kak Bie menahannya. "Zie, kakak belum selesai bicara." "Kak, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Karena percuma saja kita bicara jika Kak Bie tetap tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Maaf kak, aku tidak ingin lagi berdebat." Setelahnya aku pun berhasil menutup kembali pintu kamarku. Segera aku menguncinya karena tidak ingin Kak Bie nekat dan memaksa masuk ke dalam kamarku. Aku masih bersandar di balik pintu. Masih bisa kudengar Kak Bie yang berkata di balik pintu kamarku. "Zie, aku akan memilikimu bagaimana pun caranya. Dan tak akan kubiarkan siapapun menikahimu. Karena yang berhak menikahimu hanya aku." Kupejamkan mataku demi mendengar kata-kata itu. Ucapan yang terlontar dari mulut Kak Bie sungguh membuatku sangat sedih. Kenapa harus menjadi seperti ini hubunganku dengan Kak Bie. Di mana Kak Bie-ku yang dulu, yang selalu menyayangiku dan menjagaku. Yang ada sekarang hanyalah Kak Bie yang terobsesi kepadaku. Aku bingung bagaimana cara menyadarkan Kak Bie kembali. Aku tidak ingin Kak Bie bersikap seperti ini. Perasaannya padaku memang tidak salah, tapi juga tidak pada tempatnya. Siapa yang bisa menolak hadirnya cinta? Karena rasa cinta itu datang tiba-tiba. Tidak. Aku tidak pernah menyalahkan Kak Bie akan perasaan cintanya kepadaku yang begitu besar. Hanya saja, rasanya sungguh berbeda menghadapi Kak Bie yang sekarang. Aku merasa takut untuk menghadapinya. Sampai kapan Kak Bie akan seperti ini? Aku sangat berharap, Kak Bie akan berhenti mencintaiku setelah aku menikah nanti. Aku tidak ingin menyiksanya terlalu dalam. Dan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdoa, semoga Kak Bie segera menemukan jodohnya. *** Pagi ini aku kembali tak bersemangat, aku pergi bekerja dengan perasaan gundah gulana. Kak Bie pergi lagi dari rumah kemarin sore sesaat setelah dia berbicara padaku. Semalam, aku sempat berdiskusi dengan Papa dan Mama mengenai permasalahan ini. Karena setelah Kak Bie menemuiku kemarin, kakakku itu ganti menemui Papa dan Mama. Meminta pada mereka berdua untuk membatalkan lamarannya Mas Roy. Tentu saja Papa dan Mama menolak keinginan gilaa Kak Bie. Dan berakhirlah Kak Bie yang semakin murka. Tak ada satu orang pun yang mendukungnya, hingga Kak Bie membawa semua rasa kecewanya. Pergi dari rumah, tidak pulang semalam hingga pagi ini pun Kak Bie belum memperlihatkan batang hidungnya. "Zie!" tepukan di bahu membuatku terjengit kaget. "Ya, Tuhan! Fia, kenapa suka sekali mengagetkanku." Fia terkikik mendengar omelanku. "Lagian, ngapain pagi-pagi sudah bengong. Kesambet baru tahu rasa." "Hush ... ngomong apaan sih, nyumpahin kesambet. Jahat banget kau ini, Fi!" kugaruk tengkukku. Jujur aku ngeri mendengar omongan Fia. Memang aku pernah mendengar, jika orang kesambet itu berawal dari kebiasaan bengong dan melamun tak jelas. Aku begidik ngeri membayangkannya. Huft, tidak lagi aku melamun di kantor sepagi ini. Mana suasana masih sepi. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, dan hanya ada aku dengan Fia saja yang menghuni ruangan ini karena semua belum datang. "Woi! Kamu ini kenapa? Beneran kesambet apa?" Ucapan Fia untuk kesekian kali membuatku memelototinya, "Fi, ngomongnya dijaga kenapa. Kau tahu, kita di sini hanya berdua. Nggak takut apa, jika seandainya diantara kita berdua beneran kesambet," ucapku lirih. "Zizie, nyebelin banget. Jangan bicara seperti itu, aku jadi takut beneran." Fia mengusap tengkuknya. Aku justru terkikik melihat sahabatku ini yang sudah ketakutan. Salah sendiri siapa yang tadi memulai. "Kalian ngapain pagi-pagi sudah heboh begitu?" Suara berat seorang pria menginterupsi obrolanu dengan Fia. Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Ada Mas Roy yang berdiri menjulang di sana. Di ambang pintu dengan tatapan menyelidik ke arahku juga Fia. Deg ... deg... jantungku berdetak kencang saat tatapan mata kami bertemu. Kenapa di mataku pagi ini Mas Roy terlihat lebih tampan dari biasanya. Apakah efek lamaran sedasyat ini pengaruhnya? Bisa gitu aku langsung jatuh cinta padanya hanya karena sebuah pertolongan yang bernama lamaran. Ingat, Zie! Apa tujuan Mas Roy melamarmu semalam. Batin ini terus meronta mengingatkan hati yang mulai ada rasa. Entah rasa apa itu. Rasa haru ataukah rasa cinta. Aku pun tak tahu. Yang jelas aku harus sadar jika lamaran yang semalam Mas Roy lakukan membawa dua keuntungan yang di dalamnya sama sekali tak ada kaitannya dengan perasaan cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD