LINZIE - 7

1926 Words
Kupikir hanya aku saja yang merasa jika Mas Roy pagi ini terlihat lebih tampan dari biasanya. Rupanya, Fia pun merasakan hal yang sama. "Mas Roy, cakep bener. Pagi-pagi sudah rapi begitu," celetuk Fia, membuatku tergagap dan tersadar jika sedari tadi aku begitu mengagumi Mas Roy. "Ada meeting dengan klien penting," jawab Mas Roy singkat, lalu lelaki itu melenggang masuk menuju ruang kerjanya. Mengabaikan aku yang sedari tadi tak berkedip menatapnya. "Kenapa semakin hari Mas Roy semakin tampan, sih. Aku mau jadi pacarnya, itupun kalau Mas Roy mau. Seingatku, ya, Mas Roy itu tidak punya pacar." Ucapan Fia membuatku susah menelan saliva. Seandainya Fia tahu jika semalam Mas Roy melamarku, aku tak tahu apa reaksinya. Tapi yang jelas, aku belum ingin memberitahu padanya tentang rencana pernikahanku dengan Mas Roy. Seolah tersadar akan sesuatu, aku berusaha berpikir. Masa kerjaku di kantor ini baru satu tahunan. Dan saat pertama kali aku masuk kantor ini, aku sudah sign contract di mana isi di dalam perjanjian itu ada yang menyebutkan bahwa, tidak boleh menikah dalam kurun waktu dua tahun. Selain itu, juga terdapat peraturan di perusahaan yang aku tahu bahwa ada larangan menikah diantara sesama karyawan. Jika seandainya hal itu terjadi, maka salah satu harus ada yang mengundurkan diri. Ya, Tuhan! Kenapa hal itu baru terpikir olehku sekarang. Lalu, bagaimana dengan rencana pernikahanku dengan Mas Roy. Aku sudah menyalahi dua pelanggaran sekaligus. Tidak menepati isi kontrak kerja yang mana jika aku kedapatan melanggarnya, aku bisa dikenakan denda sesuai pasal yang berlaku di perusahaan. Dan juga, jika aku dan Mas Roy benar menikah, tidak mungkin juga Mas Roy mau keluar dari perusahaan ini. Karir Mas Roy cukup bagus dengan jabatan yang lumayan. Bahkan yang kudengar dia sudah dipromosikan akan naik jabatan sebagai Manager Technichal. Jika seperti itu, apakah aku yang harus mengalah dan ke luar dari perusahaan. Rasanya tidak mungkin. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini dan juga gaji yang tiap bulan selalu aku tunggu masuk ke dalam rekening pribadi. "Zie ... Zizie ...!" Fia menggoyang lenganku cukup keras. "Apa sih, Fia." Protesku karena risih juga dengan tingkah laku sahabatku satu ini. "Kamu ini diajak bicara sibuk melamun." "Ya, sorry!" "Zie, memang masalah dengan Kak Bie belum selesai?" tanya Fia dan aku menggeleng. Rasanya sudah cukup lelah menghadapi Kak Bie. Kudengar Fia menghela napas. Lalu mengusap pundakku. "Zie, yang sabar, ya. Eum ... apa kamu belum menemukan solusi yang terbaik buat masalah ini?" tanya Fia lagi. Aku tahu jika Fia ini begitu peduli padaku. Jika aku sedang banyak masalah maka Fia akan senang hati menghiburku juga membantu mencarikan solusi. Meski terkadang solusi yang diberikan bukanlah solusi yang terbaik. Namun, aku tetap menghargai semua usaha yang dia lakukan untukku. Kembali aku menggeleng, "Jika aku sudah menemukan solusi, tak kan lah aku masih kebingungan seperti ini," jawabku malas. Meskipun Mas Roy adalah solusi satu-satunya, akan tetapi rentetan masalah yang nantinya akan timbul di kemudian hari masih membuatku bingung juga dilema. "Nanti aku akan coba bantu untuk fikirkan, solusi apa yang sebaiknya kamu ambil." "Thanks, Fi. Kamu memang sahabat terbaikku." "Kau pun juga sahabat terbaikku, Zie." Fia memelukku untuk sekejap. Mengurai pelukannya seraya berkata, "Oke-lah, aku kembali ke mejaku dulu." Fia pamit meninggalkanku. "Hmm." *** Sepulang kerja aku malas untuk pulang ke rumah. Entahlah, rasanya seperti enggan bertemu Kak Bie meskipun aku tahu jika Kak Bie tidak pulang lagi ke rumah semalam. Namun, siapa tahu saja jika hari ini Kak Bie sudah kembali, dan aku belum siap untuk ketemu dia lagi. Kubelokan mobilku ke dalam area parkir sebuah coffe shop yang aku lewati. Mungkin dengan minum kopi bisa mengembalikan suasana hatiku lebih baik lagi. Aku memang pecinta minuman bernama kopi. Apa pun jenis kopi, aku pasti suka. Mulai dari kopi instan dengan harga seribu per sachet-nya, hingga kopi mahal keluaran brand ternama seperti starbuck. Bahkan rasanya ada yang kurang jika satu hari saja aku tak meminum kopi. Menikmati kopi seorang diri tak seburuk yang kukira. Andai saja tadi Fia tidak pulang lebih dulu, mungkin saja aku bisa mengajaknya ke tempat ini. Fia adalah sahabat baikku, kami berdua sudah saling mengenal sejak masih di bangku kuliah. Jadi tak heran jika aku bisa akrab dengannya. Aku duduk di salah satu meja yang dekat dengan jendela kaca. Sengaja aku memilih duduk di sini karena dari dalam, aku bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang di depan coffe shop. Satu gelas cappucino machiato beserta cheese cake sudah terhidang di atas meja. Sembari memainkan ponsel, aku mulai memotong cheese cake kesukaanku. Begitu satu suap yang masuk ke dalam mulut, kupejamkan mataku. Menikmati sensasi lumernya keju berpadu dengan kelembutan cake yang begitu memanjakan lidah. Setelahnya, aku menyesap machiato-ku. Dan begitu seterusnya hingga aku terbuai dengan duniaku sendiri. Tak peduli dengan kondisi sekitar dan aku pun juga tak terlalu ambil pusing dengan pengunjung cafe yang mulai berdatangan memenuhi seluruh penjuru ruang. Suapan terakhir cheese cake membuatku harus bersedih hati. Tak rela rasanya berpisah dengan cake kesukaanku. Sebenarnya bisa saja membeli lagi, akan tetapi aku ingat akan tubuhku. Tak baik buat kesehatan jika mengkonsumsi cake secara berlebihan. Aku tak ingin terdapat tumpukan lemak di mana-mana, karena jujur aku ini tipe perempuan yang malas berolahraga. Jika tidak menjaga pola makan bisa dipastikan tubuhku akan mudah melar. Dan aku, tak akan mau seperti itu. Bisa turun pamorku karena bentuk tubuhku. Terlebih aku masih single dan belum laku. Jika tidak menjaga diri mana ada lelaki yang nantinya mau menikahiku. Ops.. Melupakan sekejab keberadaan Kak Bie juga Mas Roy. Dua kandidat pria yang masuk daftar list calon suami. Setelah capek mengotak atik ponsel karena mata yang terasa sedikit lelah, kuedarkan pandangan ke luar jendela. Hari sudah beranjak malam, saatnya aku untuk pulang. Namun, kutegakkan punggungku yang tadi terkulai lemas di sandaran kursi. Memastikan jika benar yang kulihat sekarang ini adalah Mas Roy. Kuhela napasku, lelaki yang duduk di luar cafe dan hanya berbatasan jendela kaca denganku, menatapku dan satu senyuman dilayangkannya padaku. Sejak kapan Mas Roy ada di situ? Kenapa aku bisa tidak tahu? Begitulah taanya yang ada dalam benak ini. Dan Mas Roy, dia jelas melihatku yang duduk seorang diri di tempat ini sedari tadi. Kenapa dia tidak menghampiriku? Setidaknya aku ada teman ngobrol dan tidak sendirian seperti orang bodohh yang menikmati kopi sembari memainkan hay day dari ponsel. Untuk kesekian kali aku menggeram dan tak berniat untuk menghampiri lelaki itu. Biarkan saja dia tetap melayangkan senyuman di balik jendela kaca. Dan dengan sekali tarikan napas, aku bangkit berdiri dari dudukku. Menyambar tas yang tadi aku letakkan di atas meja. Sudah saatnya aku untuk pulang jika tidak ingin Mama cemas mencariku. **** "Zie!" lelaki itu memanggilku kala aku keluar dari dalam coffe shop. Awalnya aku tak berniat menghampirinya, akan tetapi karena Mas Roy memanggilku, baiklah, aku berbalik dan berjalan gontai menghampirinya sekarang. "Ada apa, Mas?" tanyaku. "Duduklah!" "Tapi ini sudah malam. Aku mau pulang." Mas Roy mengangkat pergelangan tangan kirinya, menatap arloji yang melingkar di sana. "Mau aku antar?" "Tidak, terima kasih. Aku bawa mobil sendiri." "Dengan siapa kamu tadi ke sini?" "Sendiri. Memang kenapa?" "Kenapa tak mengajakku?" "Memang Mas Roy mau? Secara, lihat aku di sini saja Mas Roy tak mau menghampiriku." "Sorry, aku pikir kamu dengan seseorang berada di sini. Jadi, aku tak ingin mengganggumu." Aku berdecak dalam hati. Alasan saja dia berucap begitu. "Ya, sudah. Aku pulang dulu." Pamitku karena tak mau terlalu lama terlibat obrolan yang nggak jelas dengan Mas Roy. "Aku antar." Mas Roy berdiri dari duduknya. "Tidak perlu, Mas. Aku bisa pulang sendiri." "Tapi aku khawatir dengan calon istriku, malam-malam begini pulang seorang diri." Aku memutar bola mata malas. "Terserah kau saja, Mas." Aku menyerah juga akhirnya karena capek jika terus berdebat dengannya. Mas Roy beranjak berdiri lalu mengikutiku menuju parkiran. "Aku akan mengikutimu dari belakang," ucapnya kala melihatku yang sudah membuka pintu mobil. Aku mengangguk, lalu aku masuk ke dalam mobilku. Kulirik dari kaca spion, Mas Roy pun melakukan hal yang sama. Masuk ke dalam mobilnya yang diparkir tak jauh dari tempatku. Baru kali ini aku merasa diperhatikan, sepanjang perjalanan mobil Mas Roy tetap mengikuti laju mobilku. Hingga tiba di rumah, kuhentikan mobil di depan pagar. Sebelum memasukkan mobil ke dalam garasi, ada baiknya aku menemui Mas Roy yang kini juga sudah menghentikan mobilnya di belakang mobilku. Lelaki itu menurunkan kaca mobilnya, begitu aku mendekat dan berdiri di samping mobil miliknya. "Mas, nggak mau mampir dulu?" tawarku. "Sudah malam. Kapan-kapan saja aku mampir." "Eum, baiklah. Terima kasih. Dan hati-hati di jalan. Selamat malam." Mas Roy tersenyum, lalu mulai menjalankan kembali mobil meninggalkan rumah. Aku masih mengawasinya. Setelahnya, kepala ini memutar karena merasa ada yang sedang mengawasiku. Benar saja. Tubuhku membeku di tempat mendapati tatapan tajam Kak Bie yang kini kulihat berdiri di teras rumah. "Ternyata Kak Bie sudah pulang," batinku. Aku langsung menuju mobilku lagi, dan memasukkannya ke dalam garasi. Saat aku hendak masuk ke dalam rumah, Kak Bie masih berdiri di teras. Kedua tangannya bersadekap di depan d**a. "Siapa lelaki tadi?" tanyanya tajam. Kuhela napasku, kunci mobil yang masih berada di genggaman tanganku, kumasukkan ke dalam tas. Aku mendongak menatap Kak Bie yang menghalangi jalanku. "Siapa lelaki tadi?" kembali Kak Bie bertanya. "Calon suamiku," jawabku singkat dan kembali melangkah mencari celah di samping tubuh Kak Bie agar aku bisa masuk ke dalam rumah. "Apa? Tidak, Zie! Itu tidak boleh." Kak Bie mencekal lenganku. Aku meringis karena cengkeraman Kak Bie sedikit mengetat hingga terasa sedikit nyeri. "Kak, lepaskan! Aku capek dan tak ingin berdebat dengan Kakak." "Dengarkan aku, Zie! Tak ada satu orang pun yang boleh menjadi calon suamimu, kecuali aku." Kukibaskan tanganku setelah Kak Bie melepas cengkeraman tangannya. "Terserah Kak Bie mau bicara apa. Yang jelas, aku akan menikah dalam waktu dekat. " Segera kutinggalkan Kak Bie yang masih berdiri mematung menatapku. Aku tidak ingin berdebat lagi dengannya. Apalagi jika sampai Papa dan Mama melihatnya. "Zie...!" Karena aku yang terburu ingin sampai di kamarku, hingga tak menyadari jika ada Mama yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. "Mama." Aku mendekat pada perempuan cantik yang telah merawatku sejak kecil. Lalu duduk di sofa yang sama dengan yang Mama duduki. Kucium punggung tangannya lalu beralih mencium kedua pipi yang kurasa tampak semakin tirus. Apa mungkin Mama kepikiran tentang aku dan Kak Bie. "Kenapa malam sekali pulangnya?" "Iya, Ma. Tadi Zie keluar dulu dengan Mas Roy." Terpaksa aku sedikit berbohong pada Mama. Meski kenyataannya memang aku berada di satu tempat yang sama dengan Mas Roy, dan itu tanpa kesengajaan. "Owh ... begitu." "Iya, tadi Mas Roy juga antar Zie sampai rumah. Hanya saja sudah malam jadi tak bisa mampir." "Kamu sudah makan?" Aku akan menjawab belum, tapi karena kedatangan Kak Bie yang kini telah menghampiri kami, kuputuskan untuk melewatkan makan malam. Aku hanya ingin masuk ke dalam kamar karena tidak ingin lagi terlibat perdebatan dengan Kak Bie. Memang aku sengaja ingin menghindarinya. Seperti yang selalu kulakukan beberapa waktu ini. Karena aku merasa semakin ke sini Kak Bie semakin kelewatan. Sikapnya tak lagi terkendali. Demi menghindari hal-hal yang tidak aku inginkan memang sebaiknya aku harus menjauhi Kak Bie untuk sementara waktu. "Sudah, Ma. Sama Mas Roy tadi." Aku harus berbohong lagi pada Mama. Kak Bie masih menatapku penuh tanya. Tak tega sebenarnya aku harus menjauh darinya seperti ini, tapi memang hanya inilah satu-satunya cara untukku agar bisa menyadarkan Kak Bie. "Ma, Zie masuk ke dalam kamar dulu. Selamat Malam." Bergegas aku bangkit dari dudukku dan berlalu menuju kamarku. Melalui ekor mataku dapat kulihat tatapan Kak Bie yang masih mengikutiku. Dan aku tetap berusaha untuk tak memperdulikannya. Beruntung ada Mama. Jadi Kak Bie tak akan bisa bersikap sesuka hatinya. Aku tahu mama pasti akan membelaku jika Kak Bie kembali berulah. Karena baik Mama juga Papa tak akan pernah merestui perasaan yang Kak Bie berikan kepadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD