Follow akun author hukumnya wajib... Wkwkwk
*****
Rasanya aku tak percaya jika sebentar lagi akan menikah. Tidak pernah terlintas di benakku sedikit pun untuk merencanakan menikah muda. Namun, sudahlah aku tidak boleh menyesali semua keputusan yang telah kubuat sendiri. Semua demi masa depanku juga demi keluarga besarku.
Beberapa model baju pengantin yang terlihat sangat cantik terpajang di butik ini. Aku dan Mas Roy sudah berada disini sejak setengah jam yang lalu. Melihat-lihat diantara sekian banyak model baju yang membuatku bingung untuk menentukan pilihan.
"Bagaimana, sudah ada yang sesuai dengan seleramu?" tanya Mas Roy yang berdiri di sampingku.
"Entahlah, Mas. Semua cantik-cantik, aku jadi bingung. Menurut Mas Roy lebih cantik mana? Yang itu atau yang ini?" tanyaku dengan jari telunjuk mengarah pada baju yang ada di display.
"Bagiku, hanya kamu yang tercantik, Zie. Dan aku akan tetap memilihmu."
"Mas...." aku menggeram. Bisa-bisanya di saat seperti ini dia justru memberikan candaan yang membuat pipiku merona.
Dan Mas Roy, seolah tanpa beban setelah berkata demikian. Bolehkah aku tersanjung dengan ucapannya barusan? Andai saja Mas Roy serius mengatakan itu dan dia memang benar-benar mencintaiku, mungkin saja ... ah sudahlah, aku tak boleh berharap terlalu banyak padanya. Harusnya aku bersyukur karena Mas Roy sudah bersedia membantuku untuk lepas dari jeratan cinta gilanya Kak Bie.
"Zie...!" panggilan itu membuatku mengerjab.
"Ya," jawabku.
"Kenapa bengong di situ? Kamu sudah menentukan pilihan, mana yang sesuai dengan kriteriamu?"
"Mas Roy sendiri bagaimana?" Aku balik bertanya.
"Aku ikut kamu saja, Zie. Apapun pilihanmu, pasti itu yang terbaik juga untukku."
Tuh kan ... kenapa omongan Mas Roy terdengar manis ditelingaku. Lama-lama aku bisa terbawa perasaan juga jika selalu diperlakukan seperti ini.
Beruntungnya salah seorang penjaga butik menghampiri kami. Jadi aku bisa lebih fokus memilih dan tak menghiraukan Mas Roy yang sesekali masih saja menggodaku.
Dua jam berlalu, capek juga ternyata memilih dari sekian banyak model baju. Aku lebih memilih model yang simpel dan sederhana. Lagipula aku juga sudah mengatakan bahwa acara pernikahan kami berdua juga hanya sederhana saja.
Seusai dari butik, Mas Roy membawaku makan malam. Dan baru jam sepuluh malam akhirnya aku sampai di rumah.
"Dari mana saja, Zie. Kenapa malam sekali baru pulang?"
Aku yang baru saja melangkahkan kaki di ruang tamu, terjengit kaget mendapati Kak Bie yang berdiri menatapku. Tangannya bersadekap di depan d**a dan pandangan matanya menatapku tajam.
"Kak ... ngagetin saja." Aku mengelus dadaku karena detak jantungku mendadak berdegub kencang.
"Kamu belum menjawab pertanyaan Kakak. Dari mana?"
Dengan ragu aku menjawab, "Dari butik baju pengantin."
Wajah Kak Bie tampak mengetat mendengar jawabanku.
"Jadi, kamu tetap akan menikah, Zie?"
"Iya, Kak."
"Kenapa kamu tega berbuat hal ini pada Kakak."
"Maksud kakak apa?"
"Zie, coba pikirkan. Bagaimana perasaanku karena harus melihat kamu menikah dengan orang lain."
"Kak ... bukannya Zie sudah mengatakan pada Kakak. Selamanya kakak tetaplah saudaraku. Aku sayang kakak. Tolong! jangan buat Zie merasa bersalah pada Kak Bie."
"Apa kamu serius dengan pernikahan ini?"
"Tentu saja aku serius Kak."
"Tapi Zie__"
"Kak ... cukup. Maaf, Zie lelah. Ingin istirahat."
Jika tidak segera kuakhiri pembahasan ini tidak akan ada habisnya. Kutinggalkan Kak Bie begitu saja di ruang tamu. Aku berjalan melewatinya untuk menuju kamarku. Hari ini aku sudah sangat lelah. Tak ada tenaga lagi jika masih harus berdebat dengan Kak Bie.
Saat aku melangkah meninggalkan Kak Bie yang masih berdiri di ruang tamu, saat itulah pandangan mataku bertemu dengan wajah sendu Mama.
"Ma ... belum tidur?" tanyaku sembari menghampiri wanita yang sangat aku cintai ini. Kucium kedua pipi mama tanpa kupedulikan wajah sendu yang mama tampilkan.
"Baru pulang, Zie"
"Iya."
"Kamu pasti capek. Istirahatlah."
"Baik, Ma. Zie ke kamar dulu."
Mama mengelus pipiku sesaat sebelum aku meninggalkan beliau.
"Bie, Mama ingin bicara." Langkah kakiku terhenti karena samar telinga ini menangkap ucapan mama yang ditujukan buat Kak Bie.
Aku tahu mama mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Bie. Merasa bersalah karena aku tak menyadari keberadaan mama. Pasti mama sangat sedih, melihat kedua anaknya harus beradu mulut di hadapan beliau. Seandainya tadi aku tahu jika ada mama di ruang keluarga, mungkin aku akan memilih untuk tak menanggapi Kak Bie.
Kak Bie memang sudah sangat keterlaluan. Semua perilaku nya sudah di luar batas kenormalan. Semua penjelasan serta nasihat semua orang tak satupun yang ia dengarkan. Hanya karena hawa nafsu yang telah merasuki hati dan pikiran Kak Bie saat ini.
Jujur, dengan kondisi ketidak nyamanan ini aku sedikit takut. Ketakutan yang sangat beralasan, di mana Kak Bie yang tak akan bisa mengendalikan diri.
Memang jalan satu-satunya aku harus segera keluar dari rumah ini. Demi menghindari hal-hal buruk yang bisa saja terjadi. Sungguh firasatku akhir-akhir ini begitu tak enak. Oleh karenanya kenapa aku berusaha untuk menjaga jarak dengan Kak Bie. Berusaha menghindar darinya. Bahkan aku rela setiap hari untuk berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, dengan perut yang belum terisi. Itu semua hanya untuk menghindar agar aku tak bertemu dengan Kak Bie.
Aku tak berniat menguping pembicaraan mama dengan Kak Bie. Kulangkahkan kembali kakiku dan masuk ke dalam kamarku. Ingin segera melepas penatnya tubuhku karena aktifitas yang cukup padat seharian ini.
Kuhempaskan tubuhku di atas ranjang setelah aku meletakkan tas kerja di atas meja. Kupejamkan mataku. Kilasan di masa lalu hadir di benakku.
"Kak, Zie ingin bisa naik sepeda. Lola saja sudah bisa naik sepeda."
"Zizie sayangnya kakak, nanti kalau Zie sudah besar pasti Zie akan bisa naik sepeda sendiri. Sekarang Zizie masih kecil, tidak boleh naik sepeda sendiri. Nanti Zie bisa jatuh. Kalau Zie ingin berkeliling naik sepeda, nanti kakak yang akan bonceng Zie."
"Tidak mau dibonceng. Zie mau naik sepeda sendiri."
"Kalau Zie jatuh bagaimana? Kan sakit. Memang Zie mau sakit?"
Aku menggeleng.
"Kakak sayang Zie. Kakak tidak mau Zie terluka sedikit pun."
Mataku terbuka kembali, kuraup wajahku dengan kasar. Teringat bagaimana sayangnya Kak Bie kepadaku. Bahkan Kak Bie tak akan pernah membiarkanku merasakan sakit. Hingga sampai aku sebesar ini, aku tidak bisa naik sepeda sendiri, dan itu semua karena Kak Bie yang over protektif terhadapku.
Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin aku lebih memilih tetap menjadi Zie kecil yang selalu disayang oleh kak Bie, selalu dijaga dan dimanja oleh Kak Bie karena aku adalah adik kecil tersayang dan terhebat yang Kak Bie punya.
****
Paginya wajahku kusut masai sebab tak dapat tidur nyenyak semalaman. Masih saja kepikiran akan Kak Bie dan Mama. Apa gerangan yang semalam tengah mereka bicarakan. Penasaran tentu saja. Apa perlu aku bertanya pada Mama, tapi aku merasa enggan membahas seputar Kak Bie dengan Mama. Semua sangat rumit dan aku tak ingin membuat Mama bersedih jika melihat anak-anaknya menjadi tidak akur begini. Apakah aku salah jika selalu menghindari Kak Bie agar rasa yang Kak Bie punya enyah dan berganti rasa yang biasa juga layak sebagai perasaan antara kakak dan adik pada umumnya.
Masih jam lima pagi. Bisanya aku akan menghindari Kak Bie dan segera meninggalkan rumah agar tak lagi direcoki oleh kakakku itu. Namun, karena rasa lelah dan lemas yang mendera tubuhku, aku memutuskan keluar kamar. Belum mandi dan masih dengan rambut acak-acakan aku menuju dapur. Ada Mbok Isah yang langsung menyambutku.
"Bikin sarapan apa, Mbok?" tanyaku melongokkan kepala menatap pada alat memasak di tangan asisten rumah tangga di rumah ini.
"Bihun goreng permintaan Habibie."
"Owh," jawabku. Tumben sekali Kak Bie minta dibuatkan bihun untuk makan pagi. Aku tak peduli melenggang meninggalkan Mbok Isah untuk mengambil air putih dari dispenser.
"Sudah matang belum, Mbok?"
Tanya suara seorang lelaki membuat tubuhku menegang seketika. Air yang sedang aku minum seolah berhenti di tenggorokan. Sial. Kenapa juga harus bertemu Kak Bie di sini. Masih pagi juga.
"Zie! Sudah bangun?" tanyanya. Buru-buru kuhabiskan minumanku. Membalikkan badan menatap langsung pada Kak Bie yang sedang tersenyum kepadaku.
Aku memaksakan senyuman yang jatuhnya lebih menyerupai ringisan. Heran dengan pria di hadapanku ini. Kenapa tidak ada capek-capeknya bersikap manis padaku. Padahal aku berusaha keras menjauh darinya juga semua kata yang aku ucap untuknya, mungkinkah tak di anggap sedikit pun oleh kakakku itu.
"Aku ke kamar dulu. Mau mandi," kataku sembari melenggang pergi keluar dari dalam dapur. Meninggalkan Kak Bie juga Mbok Isah. Heran. Kenapa pagi-pagi begini Kak Bie sudah bangun juga.
"Zie!" Lagi-lagi Kak Bie memanggil. Aku memutar kepala mengarah padanya.
"Nanti Kakak antar Zie ke kantor."
Sial! Apalagi yang Kak Bie mau. Astaga!
"Aku pergi sendiri saja, Kak." Menjawab demikian, gegas kutinggalkan dapur. Berpapasan dengan Mama ketika aku sudah sampai di depan kamar.
"Zie dari mana?"
"Dapur ambil minum."
Mama tersenyum. "Apa kamu ada waktu? Ada sedikit hal yang ingin Mama sampaikan padamu."
Aku mengangguk lalu membuka pintu kamar. "Masuk, Ma. Kita bicara di dalam saja."
Kini aku dan Mama saling duduk di tepi ranjang. Entah, apa yang ingin mama bicarakan.
"Ada apa, Ma?"
Mama meraih tanganku lalu menggenggamnya. "Zie, maafkan Mama karena Mama tidak bisa meminta pada Habibie untuk mengejarmu. Mama sudah hilang akal bagaimana cara menyadarkan dia ika kalian berdua selamanya tak akan pernah mama restui."
Aku kasihan juga pada Mama. Beliau meski bukan ibu kandungku, tapi kasih sayangnya melebihi segalanya.
"Mama tenang saja. Zie juga tak akan bisa menikah dengan Kak Bie, Ma."
"Terima kasih, Zie. Semoga saja dengan kamu segera menikah dengan Roy, maka Habibie tak lagi berharap banyak padamu."
"Iya, Ma. Semoga."