Identitas Tersembunyi (2)

1135 Words
Sudah lebih dua puluh menit ponsel Andin berdering terus-menerus dan terpampang nama Bu Della di layarnya. Andin melipat kedua tangannya di d**a dan mengelus dagu runcingnya.  Seiring ponselnya berdering, Andin mondar-mandir diselimuti wajah yang cemas sambil melirik jam dinding di kamarnya. “Aku harus cari cara supaya bisa ikut penyidikan, harus!” ungkap Andin sembari mengigit bibir bawahnya. Belakang laboratorium Biologi, kardus air mineral, tendangan, pakaian dan bayi tidak bersalah. Kata-kata itu seolah mendengungkan suara khusus untuk Andin. Kejadian itu menjadi peristiwa paling menyakitkan bagi Andin. Andin harus berseteru dengan dirinya dan ijin dari Bu Ranti. “Arghhhh!!!!” seru Andin melempar buku yang berjejer di meja belajarnya. Andin menyobek bagian tengah buku dan mulai menuliskan kalimat dengan tinta merah. Ibundaku tersayang, maafkan Andin yang selalu terbabit dalam kasus yang membuatmu sakit kepala. Namun kali ini berbeda, Ma, Andin ingin membantu bayi yang Andin temukan bertemu orangtuanya. Walaupun bayi itu sudah menemui Tuhan, Andin yakin kok kalau bayi itu masih ingin melihat raut wajah orangtuanya. Ijinkan Andin ikut penyidikan, Ma. Mama Ranti cantik, kalau marah makin cantik. Sudah ya Ma, doain Andin berhasil. Salam mantap! Secarik surat tertulis rapi lengkap dengan tanda tangan Andin. Andin mulai menebalkan lipstik di bibirnya dan mencium di sudut-sudut kertas itu. Empat buah cap bibir merah Andin menjadi pemanis untuk Bu Ranti. Surat itu diletakkan di keset depan pintu rumahnya. “Bu, sepuluh menit lagi saya tiba di rumah Ibu,” ucap Andin melalui ponsel. Andin menyalakan sepeda motor birunya dan melaju ke rumah Bu Della. *** Tampak dua buah mobil polisi terparkir di garasi rumah Bu Della. Di ruang tamu, Bu Della dan dua orang polisi sedang berbicara sambil melihat foto perempuan yang kemarin disimpan Bu Della. Mendengar suara motor Andin, Bu Della menghentikan pembicaraannya dan meminta Andin masuk. “Ayo Andin, cepat masuk!” ujar Bu Della mempersilahkan Andin. Andin duduk di sebelah Bu Della, di hadapannya sudah ada dua orang polisi dengan pangkat dua bintang di pundaknya. Kedua polisi itu saling bertatapan dan mengangguk ketika Andin tiba. “Baik, Saudari Andin. Hasil otopsi sudah keluar dan kami sudah mengetahui penyebab kematian bayi tersebut. Sekarang bantu kami mencari pelaku, apakah bersedia?” tanya salah satu polisi. “Siap, Pak!” jawab Andin tegas. “Baik, sekarang kita menuju kantor polisi,” sambung polisi tersebut. Andin, Bu Della dan dua polisi lainnya beranjak dari sofa dan masuk ke mobil polisi. Sesampainya di kantor polisi, mereka memasuki ruang pemeriksaan dan diberitahu hasil otopsi yang valid. Andin dan Bu Della diberikan hasil otopsi, mereka membaca dengan cermat. “Bayi berjenis kelamin perempuan ini umurnya baru dua hari memiliki golongan darah O. Dia sempat hidup sebelum mati terbunuh,” ujar seorang polisi. “Bagaimana dengan penyebab bayi itu terbunuh, Pak?” tanya Andin. “Dia mengalami aksifia, terdapat gangguan pertukaran udara pernapasan yang membuat oksigen dalam darah berkurang,” jawab polisi itu jelas. “Ketika oksigen dalam darah berkurang, karbondioksida mengalami peningkatan. Hal ini menjadi penyebab kematian. Apakah seperti itu, Pak?” tanya Andin memastikan. “Benar, bayi itu meninggal karena dibekap. Karena tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik dan ada tanda kekurangan oksigen dari bagian tubuh yang membiru,” jelas polisi. “Bagian tubuh yang membiru terlihat pada bibir, gusi, ujung jari atau bawah kuku,” sambungnya. “Oh ya, Pak. Bukannya kalau tubuh mayat membiru itu berlaku seluruhnya ya? Adakah fakta lain yang menguatkan bahwa bayi itu mati karena dibekap?” Andin agak sangsi dengan pernyataan polisi. “Ada satu ciri lagi, bagian dalam matanya ada bintik-bintik kemerahan, itu jelas akibat dari pendarahan. Lalu ketika diotopsi, terdapat tanda-tanda organ yang bengkak disertai nampaknya pembendungan pembuluh darah,” terang polisi. Setelah mengetahui informasi tersebut, Andin dan Bu Della beranjak meninggalkan ruang pemeriksaan. Dua orang polisi yang tadi menemui Bu Della di rumah, mengajak untuk makan siang dahulu sebelum melakukan penyidikan. *** “Din, Ibu kok curiga kalau Anggi pelakunya ya?” seru Bu Della pelan di telinga Andin. “Ah jangan mengada-ngada Bu, bukan hak kita menyebut seorang sebagai pelaku dalam suatu kasus,” tandas Andin. Andin dan Bu Della melahap menu makan siang mereka dengan tenang. Dua puluh menit kemudian, salah satu dari polisi itu mengerahkan kesiapan pada Andin dan Bu Della. “Ini sudah pukul 14.30 WIB, bisa kita memulai sekarang?” tanya polisi pada Andin dan Bu Della. Andin yang saat itu belum selesai meneguk air minum, terbatuk dan membuat seluruh minumnya tumpah ke bajunya.  “Uhuk…si-ap Pak!” ungkap Andin terbata-bata. Mobil polisi dengan plat bertanda bintang itu melaju menuju Desa Sembiring. Desa yang terkenal dikelilingi hutan lebat tanpa penerangan apapun di sekitarnya. Tidak hanya itu, preman berbadan kekar juga menjadikan tempat ini sebagai markas persinggahan. Bahkan untuk pelindung diri, para preman menyimpan golok di saku celananya. “Desa ini terkenal banyak preman yang mencuri dengan sadis. Nyawa korbannya pun ikutan dibunuh!” jelas Andin membuka pembicaraan hening di mobil itu. “Mungkin itu cerita lama, tuh buktinya gak ada satu pun preman yang nongkrong,” balas Bu Della melihat sekeliling untuk memastikan. “Kata Mama saya begitu sih, semoga saja sudah tidak ada,” harap Andin. Mendengar pembicaraan tersebut, polisi yang menjadi supir mobil kala itu tertawa kecil dan menceritakan sebuah peristiwa. “Setahun yang lalu saya pernah menangkap pelaku pencurian disini, yang ditangkap ada satu yang ngelawan ada sepuluh,” kekeh polisi tersebut. “Udah gitu bawa golok, arit dan parang semua. Duh, polisi bisa apa atuh?” sambung polisi di sebelahnya. “Terus gimana cara menangkapnya?” tanya Andin heran. “Tembak kakinya pakai pistol,” ucap polisi singkat. Satu jam lebih mencari Desa Sembiring menggunakan mobil polisi, akhirnya tiba juga. Desanya cukup sunyi, rumah panggung para warga nampak berjauhan. Bukan pula warga yang terlihat berlalu lalang, namun ayam-ayam kampung yang sedang mencari makan. “Kita langsung ke rumah Anggi saja, berapa nomor rumahnya?” tanya salah satu polisi. “Nomor 12, tetapi di depan rumah warga tidak satupun tercantum nomornya,” ucap Bu Della menunjuk sekeliling rumah warga. “Bagaimana kalau kita hitung saja dari gapura selamat datang?” ajak Andin. Andin langsung memposisikan tubuhnya di depan rumah paling dekat dengan gapura. Satu, dua, tiga, empat hingga dua belas, Andin berhasil menemukan rumah ke dua belas. Rumah panggung kayu belum bercat, pintunya tertutup dan ada ikan asin terjemur di terasnya. Andin, Bu Della dan kedua polisi tersebut menaiki rumah panggung ke tangga yang mulai lapuk. “Selamat pagi,” salam Bu Della. Sementara itu Andin menengok dalam rumah melalui jendela yang terbuka. Andin melihat seorang perempuan yang terbujur lemas di tempat tidur, perempuan itu berusaha bangun. “Apakah itu Anggi?” batin Andin menerka-nerka sosok kakak kelasnya itu. Wajahnya tampak lesu, rambutnya kusut dan terbatuk-batuk. “Iya, siapa ya?” seorang perempuan membuka pintu. Raut wajah yang terkejut tergambar jelas pada perempuan itu. Cepat-cepat perempuan itu menutup pintunya, namun berhasil ditahan oleh Bu Della. “Kamu Anggi?” todong Bu Della spontan. Perempuan tersebut menatap tajam satu persatu tamu yang datang saat itu. Diliriknya paras dari atas sampai bawah, memastikan apakah mengenal rupawan yang menghampirinya sore ini. Perempuan itu menyeritkan dahi, menyipitkan matanya dan menyeringai keras. “Hahaha bodoh! Aku saja tidak tahu siapa namaku,” ujar perempuan itu dengan tawanya yang khas. Semua yang ada disana memandang satu sama lain, melukiskan wajah bingung dan hening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD