Identitas Tersembunyi (1)

1028 Words
“Idih! Gini nih kalau ada kasus di daerah terpencil dan tidak menyangkut kasus orang besar, gak bakal dipublish ke media!” keluh Andin sambil melempar ponselnya ke kasur.  Sudah satu jam Andin menelusuri website seluruh media lokal di daerahnya. Nahasnya tidak ada satupun media yang memberitakan tentang penemuan mayat bayi di sekolahnya itu. Pikiran Andin terasa penuh, kelihatannya penyakit vertigo yang ia alami kambuh lagi. Andin merebahnya kembali tubuhnya diatas kasur untuk menenangkan kepalanya. Baru lima menit Andin menenangkan kepalanya, tiba-tiba... KRINGGGG… “Hallo Bu Della, ada apa?” ucap Andin mengangkat ponselnya. “Bisa ke rumah Ibu sebentar, Nak? Segera ya,” perintah Bu Della dengan nada tegas. Andin bangkit dari tempat tidurnya, berdiri dan mengangguk-anggukan kepalanya yang sakit. Andin membuka lemari, mencari pakaian dan menutup kembali karena tidak ada yang sesuai dengan seleranya. “Ma, aku ijin ke rumah Bu Della dulu ya,” ijin Andin, langsung membawa tasnya dan duduk diatas sepeda motor. “Ganti baju dulu! Itu kamu masih pakai baju sekolah, Nak,” pinta Bu Ranti, kesekian kalinya Andin tidak ganti baju usai pulang sekolah. “Ribet ah Ma, udah ya, bye. Andin cinta Mama,” Andin tancap gas dengan sepeda motornya, kecepatannya menunjukkan angka 60 km/jam. “Andiiiinnnn jangan laju-lajuuu!” teriak Bu Ranti pada Andin, entah hal itu didengar oleh Andin atau tidak. Andin melaju bersama motornya, Bu Ranti menatap dari belakang pemandangan itu. Bu Ranti bergumam, “Nambah lagi deh cucianku!” sambil menepok jidatnya. Selanjutnya kembali menyapu halaman rumah sesuai jadwal yang sudah Bu Ranti tulis di dinding kamar. *** Bu Della membolak-balikkan tumpukan kertas yang dikumpulkan dalam satu map merah. Bu Della membaca baik-baik setiap kalimat yang terketik rapi di kertas itu. Kurang lebih tiga map merah sudah selesai dibaca Bu Della, kemudian dipisahkannya map merah yang penting dan mana yang tidak. Tin….tin…. “Bu, ada apa Bu, ada apa?” tanya Andin pada Bu Della yang masih membaca sejumlah kertas di tangannya. “Duh Andin, dari dulu kamu orang yang panik ya, sana ambil minum dulu,” balas Bu Della yang melihat kepanikan Andin. Demi mereda kepanikannya, Bu Della sudah menyediakan secangkir teh hangat di hadapannya. “Hehe.. tumben-tumbennya Bu Della menyuruh ke rumah, pasti ada hal penting! Iya kan Bu?” todong Andin dengan perkataannya. Bu Della tersenyum dan mengelus rambut Andin, “kamu benar, ada hal penting yang harus diselesaikan Nak. Kamu mau membantu Ibu?” tanya Bu Della menatap tajam kedua mata Andin. “Pasti!” ungkap Andin yakin. Bu Della membuka satu persatu lembar kertas yang berada dalam map merah. Diambilnya satu kertas yang terdapat di bagian tengah. Kertas tersebut diserahkan pada Andin dan menunjuk satu foto yang tertera di sudut kanan. “Kamu ingat perempuan ini kan?” tanya Bu Della yakin pada Andin. Andin menyipitkan kedua matanya, menatap foto perempuan dengan rambut sebahu yang diperlihatkan Bu Della. Andin berusaha mengingat kembali, mulai dari bentuk wajah, mata, hidung dan bibir perempuan di foto itu. “Ini Anggi, kakak kelas dan sudah lulus dua tahun yang lalu Bu,” jawab Andin, telah berhasil mengingat perempuan itu. “Benar. Kamu tau sekarang bagaimana kabarnya?” tanya Bu Della kembali. “Kurang paham Bu, saya tidak dekat dengan Anggi. Tetapi saya tau dimana rumahnya karena sering pulang bareng dulu,” jawab Andin. “Bagus! Bisa kita ke rumahnya sekarang?” ajak Bu Della.  “Besok saja gimana Bu, sudah mau senja,” tawar Andin spontan. Bu Della mengangguk dengan artian menyetujui pernyataan Andin. Bu Della mengambil kembali kertas yang ada di hadapan Andin. Foto yang terpampang di sudut kanan kertas, dicabut Bu Della dan dimasukkan ke dompetnya. “Akan Ibu bawa foto ini supaya tidak salah orang,” ujar Bu Della memasukkan dompetnya ke tas cokelat. “Bu, untuk menuju rumah Anggi itu jauh sekali. Kita harus melewati jalan yang dikelilingi hutan dan terkenal banyak preman,” ungkap Andin memberitahu Bu Della perihal jalur yang berbahaya. “Tidak usah khawatir, saya jago silat dan sudah sabuk hitam, hehe,” balas Bu Della. *** “Ma, aku ijin ke Desa Sembiring ya sama Bu Della,” ucap Andin pada Bu Ranti yang sedang menyiapkan makanan untuk Andin. “Gak! Gak boleh. Itu bahaya, Nak, kamu tau sendiri kan?” balas Bu Ranti tegas. “Perginya bareng Bu Della, aku baik-baik aja Ma, santai aja,” kata Andin. “Hmm.. apalagi kalau aku perginya sambil bawa bekal masakan Mama, makin mantap!” celetuk Andin. “Gak! Makan di rumah aja, kalau dibekalin kamu malah gak makan!” Bu Ranti langsung mengambilkan nasi dan ayam goreng ke piring. Ditambahnya lagi sayur kangkung kesukaan Andin. Nasi itu diletakkan di hadapan Andin, “Makan sampai habis!” seru Bu Ranti. Bu Ranti dan Andin tenang menikmati masakan rumahan yang telah disiapkan Bu Ranti. Seperti biasanya, Andin selalu mengambil tambahan satu potong ayam goreng yang dinilainya sangat lezat. Bu Ranti menatap anak tunggalnya itu bahagia, hidup hanya berdua dengan Andin tiga tahun terakhir membuatnya paham arti kekeluargaan. KRING…. Andin segera mengambil ponselnya di kamar, “Hallo Bu Della, bagaimana Bu?” ucap Andin dengan kunyahan di mulutnya. “Hari ini kita tidak jadi ke rumah Anggi. Kepolisian menelpon agar kita ikut dalam penyidikan kasus pembuangan bayi itu,” jelas Bu Della. Seketika makanan Andin dipaksa untuk tertelan.     “Uhuk…uhuk… saya juga ikut Bu? Saya tidak mengerti apa-apa,” kaget Andin. “Andin, ayolah cepat ke rumah Ibu sekarang, kita ke kantor kepolisian lagi,” balas Bu Della. Tut…tut…tut… Bu Della menutup teleponnya dan tidak memberikan ruang Andin untuk menyanggah. Andin tertegun, ia tidak percaya harus terlibat dalam kasus sensitif tersebut. “Duh! Aku kan hanya menemukan kardus itu, kenapa harus ikut dalam penyidikan?” batin Andin. Andin juga sudah berprasangka kalau Bu Ranti tidak akan memberikan ijin perihal ini. *** Andin mengintip ke ruang makan, Bu Ranti sudah selesai menghabiskan santapannya. Bu Ranti merapikan piring dan dibawa ke dapur. Terlihat di piring Andin masih tersisa satu potong ayam goreng dengan sekali gigitan. Andin menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dan berusaha meminta ijin untuk penyidikan hari ini. “Ma…..” tegur Andin yang kembali duduk di atas kursi makannya. “Sudah ya! Kamu gak usah ikut-ikutan penyidikan itu! Kamu masih kecil!” ungkap Bu Ranti bernada tinggi. Andin terkejut seolah-olah Bu Ranti sudah paham apa maksud Andin. Andin begitu dilema, matanya sayu, badannya seperti tidak bertenaga walaupun usai sarapan. Andin ingin sekali memecahkan kasus tersebut dan mencari pelakunya. Dalam hati Andin timbul kesalahan lagi, Andin tidak dapat menyelamatkan nyawa bayi itu dan sekarang tidak bisa membantu penyidikan. “Ingat ya! Awas kamu pergi, Mama mau ke kantor dulu,” Bu Ranti mewanti-wanti Andin supaya tidak ikut penyidikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD