Titik Terang

1218 Words
Jam menunjukkan pukul 16.00, itu artinya Bu Ranti siap pulang dan akan bertemu anak tunggalnya. Menurut Bu Ranti, rasa lelah usai bekerja bisa terbayar lunas ketika melihat raut wajah anaknya. Bu Ranti menaiki motor dan menuju rumahnya dengan wajah berseri mengalahi sinar matahari.   “Hmm, Andin pasti sedang di kamarnya dan bermesraan dengan keyboard laptopnya,” batin Bu Ranti tersenyum mengingat anaknya. Seratus meter lagi Bu Ranti bakal tiba di depan rumahnya, namun ia melihat pagar rumah yang melangah. Perasaan Bu Ranti sudah terpusat bahwa Andin sedang tidak ada di rumah. Motor sudah terparkir, pintu rumah masih tertutup rapat, dan di atas keset depan pintu terlihat secarik kertas. Bu Ranti menatap baik-baik kertas itu, tampak samar warna lisptik menyala menghiasi kertas tersebut. Dibukanya pelan-pelan di sudut kertas, dan jelas sekali gaya tulisan Andin mewarnai kertas dengan tinta merah. Bu Ranti membaca sambil menarik napas panjang, menggelengkan kepala dan berdengus. “Andin, Andin, Mama sudah lelah malah dibikin makin lelah sama kamu, Nak,” ungkap Bu Ranti. Bu Ranti merebahkan badannya di ruang tamu sambil menunggu Andin datang. Sulit memejamkan mata bagi Bu Ranti karena ponselnya terus berbunyi, Bu Ranti berusaha mengabaikannya. Nyatanya, dering ponselnya kian mengganggu. Akhirnya Bu Ranti melirik informasi apa yang tertera di grup media sosialnya. Berita lokal paling baru yang menjadi bahasan netizen ialah penemuan bayi di sekolah SMA Melati Jaya. Senin (31/08) ditemukan mayat bayi perempuan di belakang laboratorium Biologi SMA Melati Jaya. Bayi tersebut belum diketahui identitasnya, begitupun dengan orangtuanya. Perihal penyebab kematian sang bayi masih dilakukan penyidikan oleh pihak kepolisian. Begitulah potongan berita yang sempat dibaca Bu Ranti. Kembali diamati model tulisan yang ada di berita, Bu Ranti pun tidak asing. Itu mirip sekali dengan gaya tulisan Andin. Dan benar saja, diakhir berita tercantum nama Andin sebagai penulis tunggal. Bu Ranti kembali menghela napas panjang, “Ngapain sih nulis begini, bikin heboh saja, Nak,” ucap Bu Ranti. “Selamat sore!” perempuan manis berseri melambaikan tangan ke arah Bu Ranti. Perempuan itu Andin, yang melepas sepatu dan masih memakai seragam sekolahnya. Bu Ranti menyipitkan mata, tidak berkata satupun sambil menatap Andin. Namun Andin tidak berpikir jauh, ia mengira ibunya sedang letih saja. Andin menuju kamarnya dan segera mengambil handuk untuk membasuh diri. “Bagaimana, kamu sudah puas dengan apa yang kamu tulis?” tanya Bu Ranti. Seketika Andin menghentikan langkahnya. Melihat ke arah Bu Ranti yang menatapnya tajam. “Puas. Sedikit lagi aku akan tau siapa pelakunya!” balas Andin dan kembali melanjutkan langkahnya ke kamar mandi.   Ponsel Bu Ranti kembali berdering, kali ini banyak pesan masuk di media sosial untuk dirinya. Isi pesan tersebut bervariasi, ada yang mengatakan salut dengan tulisan Andin, ada pula yang tidak terima dengan berita tersebut. Pandangan Bu Andin terfokus pada satu pesan yang menyilet hatinya, “Ini yang nulis gak ada wawancara saksi mata, jangan-jangan yang nulis itu pelakunya!” “Andin!” bentak Bu Ranti pada Andin yang keluar kamar mandi dan masih mengeringkan rambut dengan handuk. “Apa Ma? Oh ya, suratnya sudah dibaca kan? Bagus nggak Ma?” balas Andin santai. “Diem! Mama mau tanya sama kamu, kenapa kamu melawan larangan Mama? Udah dibilangin jangan keluar, masih aja keluar!” ujar Bu Ranti dengan nada tinggi. “Maaf Ma, apa Mama sudah baca surat Andin? Semua sudah jelas tertulis disitu,” kata Andin. “Kamu gak punya hak ikut penyidikan itu. Apa pentingnya kamu ada disitu?” tanya Bu Ranti. “Aku saksi mata. Mama kan sudah tau kalau aku menemukan mayat bayi di sekolah,” jawab Andin. “Pihak sekolahmu saja yang urus, kamu gak usah sok repot!” balas Bu Ranti. “Pihak sekolah gak tau apa-apa, aku cuma mau nemuin orangtuanya bayi itu kok. Bayi itu rindu orangtuanya, Ma,” seketika ucapan Andin menghentikan amarah Bu Ranti. Bu Ranti paham sekali bagaimana rindunya sang anak pada orangtuanya, walaupun sama sekali tak pernah melihat sosoknya. Hal itu juga pernah dirasakan Bu Ranti, ketika ayahnya meninggalkannya ketika usia Bu Ranti dua tahun. Dalam hidup Bu Ranti, ia ditemani ibunya saja. Sampai usianya menginjak 50 tahun, tidak pernah bertemu ayahnya. Namun, rindu terus merasuk dalam mimpi. Andin sigap memeluk Bu Ranti yang perlahan meneteskan air mata. Andin juga mencium kedua pipi Bu Ranti. Andin pun membisikkan, “jangan khawatir Ma, aku lakukan ini untuk membantu menyelesaikan kasus.” Kedua tangan Bu Ranti turut memeluk erat buah hatinya itu. *** Bu Della dan pihak kepolisian berhasil mengamankan perempuan yang diduga Anggi itu. Walaupun pihak kepolisian belum menelusuri lebih dalam, tetapi Bu Della yakin sekali perempuan itu adalah anak muridnya yang lulus dua tahun silam.   Ruang interogasi bernuansa putih itu terasa hening, hanya ada Bu Della, satu orang polisi dan Anggi. Anggi tampak tertunduk lesu, enggan menatap satu orang pun yang berpapasan dengannya.  “Saudari Anggi!” seru seorang polisi pada perempuan yang baru saja diamankan dari Desa Sembiring. Namun, seruan polisi tersebut tidak dihiraukan sama sekali. “Anggi, bicaralah, Nak, Ibu tau kamu anak baik-baik. Kamu mau kan membantu memecahkan kasus ini?” tanya Bu Della perlahan pada Anggi. Kemudian Anggi menengadah, menajamkan pandangan ke arah Bu Della. Anggi menangis sekencang-kencangnya. Bu Della memeluk tubuh Anggi dan mengelus rambutnya. “Yang tenang, Nak. Yang kuat ya,” ucap Bu Della sembari menghapus air mata di pelipis Anggi. Anggi hanya menggelengkan kepala. “Sawah………pohon……sawah…..pohon…….Hahahaha!” ujar Anggi seperti menertawakan sesuatu. Polisi yang ada di ruangan tersebut berbisik pada Bu Della, “Bu, bisa bantu menanyakan hal yang berkaitan dengan kasus ini? Dengan kedekatan emosional, saya rasa Anda mampu.” Bu Della pun mengangguk. “Anggi, bisa kamu jelaskan apa maksudmu berkata seperti itu?” tanya Bu Della halus. Anggi menyeringai, menatap sudut-sudut ruangan dan menunjuk jidatnya sendiri. “Waktu itu saya sendirian ke sawah untuk menanam padi. Lalu beristirahat di bawah pohon besar karena lelah,” jelas Anggi. “Lalu?” tanya Bu Della sambil memegang pulpen dan siap untuk mencatat. “Saya tertidur,” Anggi kembali tertawa keras. Bu Della berusaha menenangkannya dengan mengelus bahu Anggi. “Tiba-tiba ada lelaki gemuk berkulit kuning langsat membuka seluruh pakaian saya.  Saya disetubuhi,” Anggi menumpahkan air matanya. Kedua pipinya basah dan membiarkan air matanya berlinang. Bu Della memeluk erat tubuh Anggi dan mencium keningnya. Dekapan hangat Bu Della diyakini mampu meredam kesedihan Anggi. Anggi tampak mampu melanjutkan penjelasannya, “Saya hamil dan membunuh bayi itu dengan membekapnya.” Anggi terdiam sebentar, lalu tertawa nyaring sekali usai penjelasannya berakhir. “Setelah itu, apa yang kamu lakukan, Nak?” tanya Bu Della lagi. “Membuangnya di belakang sekolah saya dulu. Saya yakin disitu sepi dan tidak ada orang yang mengetahuinya.” Tandas Anggi dan kemudian menangis tersedu-sedu. *** Hasil interogasi telah menemui titik terang, kini Anggi memasuki ruang tahanan untuk sementara waktu. Bu Della tidak menyangka peristiwa pahit menimpa muridnya.    “Pak, kita sudah menemukan orangtua bayi dan motif pembunuhannya,” ucap Bu Della pada polisi yang tadi di ruang interogasi. “Benar! Terima kasih Bu atas bantuannya. Sampaikan terima kasih kepada Andin juga ya,” balas sang polisi. “Tapi, saya merasa ada yang aneh dengan keadaan mental Anggi. Apakah Bapak merasakan itu pula?” tanya Bu Della. “Iya, Anggi kerap menangis dan tertawa secara spontan dalam waktu yang tidak terduga,” jawab polisi. “Nah, apakah kondisi tahanan yang seperti itu tetap dihukum? Saya rasa bisa dibebaskan, Pak,” tanya Bu Della lagi. “Tidak mungkin! Dia bersalah dan harus dihukum sama seperti tahanan lainnya!” timpa polisi. Polisi tersebut meninggalkan Bu Della dan kembali masuk ke ruang interogasi. Ucapan polisi yang kontra terhadap Bu Della, membuat Bu Della iba atas kasus Anggi. Bagaimana bisa pelaku yang memiliki gangguan mental harus disamakan hukumannya dengan pelaku yang sehat? Bukankah semakin merusak mental seseorang? Dan berakhir dengan bunuh diri? Batin Bu Della terus bergejolak, Anggi harus diringankan hukumannya.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD