Mistery Box

1035 Words
“Duh mampus! Tugas Biologiku belum selesai, laboratorium Biologi masih ditutup lagi,” gerutu perempuan berambut ikal itu, Andin. Andin nekat memanjat ke jendela belakang laboratorium Biologi, melewati semak yang tingginya hampir serupa dengan Andin. Andin berusaha menjangkau teralis jendela agar bisa mengintip tulisan di papan tulis. “Aku anak pramuka, cemen amat kalau gak bisa manjat!” Andin berhasil memegang teralis, diangkatnya sedikit tubuhnya. Dan kakinya gagal menopang tembok di samping kirinya. Brakkkkkkk…. Badan Andin terjatuh di semak-semak dan menimpa kardus minuman mineral yang membuat pinggangnya perih. “Aduh! Perih.. kayaknya ini karma karena aku malas kerjain di rumah. Sialan nih kardus!” kesal Andin menendang kardus yang sedikit terbuka itu. Kardus itu berganti posisi terbalik dan membuat sesuatu di dalamnya keluar. Andin melihat banyak sekali pakaian bayi yang berhamburan disertai bedak bayi. Detak jantung Andin kian melaju, Andin merasa ada sesuatu yang lain di dalam kardus itu. Andin menarik napas panjang, mengeluarkannya dan berusaha mengambil kardus itu dengan tangan yang bergetar. Andin mendapatkan bayi dengan panjang sekitar 30 cm berposisi telungkup di dalam kardus tersebut. Andin segera memperbaiki posisi bayi menjadi telentang. “Ya Tuhan, bayi ini lucu sekali. Kamu bertahan sebentar ya, Dik,” kata Andin seraya membawa lari kardus itu ke ruang kesehatan. Perasaan Andin sudah buruk melihat posisi bayi yang telungkup, “Semoga pernapasan kamu baik-baik saja, Dik.” *** “Bu, tolong selamatkan bayi ini!” teriak Andin dengan tangannya yang masih bergetar. Bu Della selaku petugas kesehatan langsung mengeluarkan seluruh benda di dalam kardus yang dibawa Andin. Andin membantu Bu Della melepaskan dua sarung yang dililit pada badan bayi dengan tergesa-gesa. Disamping itu Andin menemukan tiga lembar uang dua ribuan dan peralatan mandi untuk bayi. “Bayi ini sudah meninggal,” ungkap Bu Della menggelengkan kepalanya. Mendengar itu, Andin merasa gagal tidak mampu menyelamatkan bayi tersebut. “Dik, maafkan aku Dik, selamat jalan menuju surga-Nya,” bisik Andin ke telinga sang bayi, air matanya berlinang menetes di atas pakaian yang masih dikenakan bayi. Andin memeluk tubuh mungil bayi yang tak berdosa. Bu Della ikut meneteskan air mata melihat nasib bayi tersebut, Bu Della teringat Almarhum anaknya yang meninggal karena kanker jantung dua bulan silam. Andin dan Bu Della langsung membawa mayat bayi itu ke kantor kepolisian terdekat. Mereka mempercepat langkahnya supaya kasus ini cepat diselidiki. Bu Della menggendong bayi dan Andin membawa peralatan bayi yang sudah dilipat rapi oleh Andin. Andin sesekali menatap barang-barang dalam kardus, ada baju berwarna pink bermotif polkadot dan celana pendek pink bergaris-garis. “Dik, andaikan kamu masih hidup, aku mau mengadopsi kamu, Dik,” kata Andin tersenyum melihat pakaian bayi yang mungil itu. Sesampainya di kantor kepolisian, Andin ke ruang bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) yang bertugas sebagai pelayanan terhadap pelaporan masyarakat. Andin diinterogasi sebagai saksi oleh petugas kepolisian perihal penemuan mayat bayi. Interogasi awal dilakukan agar menilai layak atau tidaknya kasus ini diusut lebih lanjut. “Saudari Andin, jelaskan kronologi penemuan mayat bayi di belakang SMA Melati Jaya!” tanya petugas kepolisian  yang siap mendengarkan kesaksian Andin. “Kejadiannya sekitar pukul 06.00 WIB Pak, waktu itu saya lagi memanjat jendela laboratorium Biologi. Celakanya kaki saya gagal menahan pada tembok, alhasil saya terjatuh dan menimpa kardus tersebut. Sangking kesalnya, saya sampai menendang kardusnya,” jelas Andin. Petugas pun segera mencatat penjelasan Andin melalui mesin ketik. “Apakah sebelumnya ada yang  mencurigakan dari kardus itu sebelum Saudari membukanya?” tanya petugas lagi. “Tidak ada, Pak. Cuman setelah saya menendang kardus itu, kardusnya terbalik dan tampak pakaian bayi disana,” jawab Andin. “Bagaimana setelah itu? Coba ceritakan hingga Saudari memutuskan membawa bayi tersebut kesini,” pertanyaan ini membuat Andin harus mengingat ulang kejadian tadi pagi. Kejadian yang perdana dialaminya, menemukan mayat bayi tidak bersalah. Andin menarik napas panjang, mencoba dengan tegar menceritakan kasus yang begitu tega terjadi terhadap bayi. “Karena kelihatan pakaian bayi, saya memberanikan diri membuka kardus itu. Kemudian saya mendapati seorang bayi dengan posisi telungkup dan mengenakan pakaian berlapis,” jelas Andin dengan suara paraunya. Andin pun menjelaskan kembali, “Saya langsung ke ruang kesehatan di sekolah agar bayi itu bisa terselamatkan. Sayangnya…..” Andin tidak mampu menopang air mata yang mengalir di kedua matanya. Andin terbayang atas kegagalannya dalam menyelamatkan bayi. “Ya begitulah, Pak. Semoga pihak kepolisian bisa mengusut kasus ini dan menemukan siapa pelakunya.” Andin memandang punggung Bu Della yang masih menggendong bayi itu. Hingga akhirnya Bu Della memasuki ruang jenazah dan menaruh bayi itu untuk diselidiki. “Apakah Saudara Andin mengetahui motif pembunuhan oleh pelaku sehingga bayi ini bisa terbunuh?” ucap petugas. “Emm.. secara fisik tidak ada tanda-tanda penyiksaan Pak. Tetapi bayi tersebut dililit dua sarung dan mengenakan tujuh pakaian berlapis. Hipotesis saya bayi ini kehilangan kontrol pernapasan seiring meningkatnya metabolisme tubuhnya dan mengalami hipertermia,” ujar Andin sambil mengingat lagi pelajaran Biologi perihal penyakit pekan kemarin. Sekitar satu menit Andin berpikir, Andin ingat satu ciri-ciri dari bayi itu, “saya juga menemukan tanda di bagian mata dalam, di selaput lendirnya ada bintik-bintik kemerahan,” imbuh Andin. “Baik Saudari Andin. Terima kasih atas penjelasan kronologinya, semoga pelaku bisa kami dapatkan. Besok kita melakukan otopsi guna mengetahui penyebab kematian dan identitas bayi,” kata petugas kepolisian menutup interogasi awal untuk Andin. *** “Andin, kenapa kamu tadi tidak masuk ke sekolah? Udah diantar pagi-pagi sekali malah keluyuran,” ucap Bu Ranti, mamanya Andin sambil menyetrika pakaian di ruang tamu. “Aku tadi ke kantor polisi,” balas Andin cuek. Andin merebahkan badannya di sofa ruang tamu. Menatap langit-lagit rumah dan masih terbayang kejadian tadi pagi. “Kamu ditangkap polisi?! Andin, sudah cukup ya bolak-balik kantor polisi. Pertama kasus penganiayaan temanmu, kedua kasus tawuran, sekarang apalagi Andin?” gerutu Bu Ranti. Andin tak beranjak dari sofa, ia menghela napas dan menjawab, “kasus penemuan mayat bayi,” balas Andin singkat. Bu Ranti menelan ludah, Bu Ranti heran sekali kenapa anaknya selalu dilibatkan dalam sebuah kasus. Bu Ranti sadar kalau Andin memiliki daya analisa yang baik, biarpun dilibatkan dalam kasus, Andin dapat menyelamatkan dirinya. Andin ialah anak perempuan yang pemberani, kritis dan benci dengan kebohongan. Bu Ranti terdiam untuk sesaat. “Hmm, kok Mama diam? Biasanya ceramah mulu, apalagi kalau aku rebahan di sofa masih pakai sepatu,” ucap Andin, melirik mamanya yang tetap asik menyetrika. “Kamu ya, masih aja begitu. Sofa baru diberesin jangan dikotorin dong!” teriak Bu Ranti. Andin terkejut, lagi enak-enaknya nyantai malah dapat semprotan dari mamanya. Andin melepaskan sepatunya dan melempar ke belakang pintu. Andin menghampiri mamanya, dan membisikkan, “Ma, kok mengalihkan pembicaraan sih?” lalu Andin spontan menuju ke kamarnya sebelum mama menempelkan setrika ke wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD