Sinking Feeling

1101 Words
        Setelah semua yang terjadi, kini penyesalan memenuhi setiap sudut kepala Anna. Membuatnya mengernyit tidak suka. Seharusnya ia memang tidak pergi ke pesta itu, lalu bertemu dengan Alex dan membuat dirinya kehilangan kontrol emosi. Akan tetapi, ia sedang tidak ingin sendirian kemudian menjadi gila. Setidaknya untuk malam ini, Anna ingin berada di tengah-tengah manusia normal meskipun ia tak menyukainya.         “Lo nggak pernah hilang kendali kayak gitu.” Abel berkata sambil membersihkan luka di tangan Anna. “Ada apa?”         Anna bergeming, memilih diam sambil memperhatikan luka mengangga yang terdapat di telapak tangannya. Beberapa serpihan kaca menancap terlalu dalam ke kulitnya, membuat Abel harus berkonsentrasi untuk mencabutnya.         “Ann?”         “Dia sangat menjijikkan.”         Tatapan Abel meninggalkan tangan Anna, beralih untuk menatap wajahnya, sedikit mengernyit ketika kembali mengulang pernyataan Anna. “Menjijikkan?”         “Hm.” Anna bergumam, kepalanya kembali mengingat kejadian tadi. Abel benar, dia tidak pernah sekalipun lepas kendali. Anna adalah pribadi yang terlalu mahir dalam mengendalikan diri. Selama ini, tidak peduli sebesar apapun emosi yang bergejolak di hatinya, Anna tidak pernah membiarkannya muncul ke permukaan. Kecuali dua emosi andalan yang sudah menjadi satu kesatuan dengan dirinya.         Dingin dan datar.         “Jadi, kenapa dia menjijikkan?” Saat ini Abel sudah selesai membersihkan lukanya. “Ini perlu dijahit, tunggu sebentar.”         Abel masuk ke dalam kamarnya, selang beberapa menit berikutnya ia keluar dengan beberapa perlatan medis.         “Lo lagi gila apa gimana? Mecahin gelas sama tangan kosong kayak gitu? Emangnya lo enggak kepikiran bakalan luka?” Abel masih mengomel sambil tangannya sibuk bekerja.         Merasa kicauannya tidak akan didengarkan Anna, Abel memilih untuk kembali bertanya. “Jadi, kenapa dia menjijikkan?”         “Aku akan berterima kasih kalau kamu tidak bertanya, Abel.”         “Done,” ujar Abel ketika memotong benang sintetis vicryl yang ia gunakan untuk menjahit luka Anna. “Gue tidur duluan kalau gitu.”         “Terima kasih.”         “Anytime.”         Setelah membereskan peralatannya, Abel menyempatkan diri mengambil sesuatu dari dalam kulkas kemudian menghilang ke dalam kamarnya. Melihat Abel yang benar-benar tidak bertanya lagi membuat Anna menghela napas lega. Karena memiliki sikap seperti itulah, Anna tidak keberatan untuk hidup bersama mereka selama ini.         Mungkin mereka memilki rasa peduli, tetapi juga sangat menghargai privasi. Kate terlihat paling mengerti dirinya, tetapi Anna tidak pernah memberi celah untuk perempuan itu memahami lebih jauh. Dan Anna bersyukur karena Kate juga tidak terlalu berminat untuk mencari celah tersebut.         Jessi memang orang yang paling ceria di antara mereka, sikapnya terkesan ingin tahu akan segala hal. Kenyataannya dia cukup dewasa untuk tidak mencampuri urusan yang bukan menjadi persoalannya. Sementara Abel, dia selalu terlihat cuek dan terkesan tidak peduli. Padahal ia pengamat yang baik dan Abel selalu bisa mengerti tanpa harus dijelaskan.         Dengan alasan itulah, Anna tidak terlalu mempermasalahkan hubungan mereka selama ini. Paling tidak, tinggal bersama seperti ini membuat Anna masih bisa mempertahankan kewarasannya.   *           Anna terbangun dengan kondisi kepala yang sedikit sakit dan ingatan akan kejadian kemarin yang masih terbayang dengan sangat jelas. Kenyataan kalau dia hilang kendali begitu saja ditambah oleh tatapan Dave yang membuatnya resah masih membuat Anna berdecak tak terima.         Anna kemudian bangkit dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit hari ini. Ia memang tidak akan bisa bekerja karena luka di tangannya sudah pasti akan menghambat Anna untuk bekerja, tapi Anna tetap harus pergi. Dengan satu tangan ia menyiapkan sarapan, sedikit meringis ketika tidak sengaja membuat tangannya yang diperban bergerak dan bersinggungan dengan benda lain.         Anna tidak lupa untuk mengecek email, membaca email di pagi hari sebenarnya adalah pilihan buruk, karena tidak ada yang menjamin kalau Natasha tidak mengiriminya pesan. Namun hari ini, Anna boleh mendesah lega karena sepertinya sang adik sibuk sehingga tidak ada satupun pesan darinya atau bisa jadi Natsha sudah bosan lalu menyerah, pemikiran yang terakhir sudah pasti akan membuat Anna mengucapkan syukur.         Anna memastikan sekali lagi, kemudian mematikan ponselnya ketika sudah yakin tidak ada email penting berupa pekerjaan ataupun upgrade segala sesuatu tentang dunia kesehatan. Baru setelah menyelesaikan ritual paginya, Anna berangkat ke rumah sakit.   *           Bagaikan virus yang berjangkit, secepat kilat mewabah ke segala penjuru. Seperti itulah kejadian kemarin sudah tersebar ke mana-mana. Anna menjadi headline berita di semua media sosial. Orang-orang membicarakannya, bahkan tak sedikit yang mengunci tatapannya kepada Anna untuk beberapa saat.         Anna mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, menampilkan wajah dingin yang selama ini selalu setia mengisi ekspresinya. Tumit sepatunya mengetuk-ngetuk lantai lorong rumah sakit dengan suara nyaring dan dalam tempo yang teratur. Tindakannya ini semata-mata hanya untuk menunjukkan bahwa ia menolak merasa terintimidasi oleh orang-orang yang kurang pekerjaan membicarakan dirinya.         Saat mencapai ruangan miliknya, Anna langsung menghela napas. Sejak dulu ia selalu tahu kapan dirinya akan mendapatkan masalah. Dan sekarang ini, ia telah mengundang masalah agar segera menghampirinya. Sekali lagi ia menarik napas kemudian menghembuskannya dengan kasar. Pintu ruangannya diketuk, lalu Abel masuk dengan pandangan kagum yang dibuat-buat.         “Gila,” komentar pertama yang keluar dari manusia perut karet itu. “Gimana rasanya jadi artis?”         Anna melemparkan tatapan datar, tapi tentu saja Abel tidak akan terpengaruh. Mereka sudah hidup bersama selama bertahun-tahun. Tatapan Anna tidak akan membuat Abel takut sebagaimana orang lain mengkerut ketakutan oleh tatapannya. Satu-satunya hal yang membuat sahabatnya itu takut adalah ketika makanan lenyap dari hadapannya.         “Lo digosipin di mana-mana.” Abel mempersilahkan dirinya sendiri untuk duduk di hadapan Anna. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang selalu sedia cemilan ketika akan menonton sebuah film, Abel memulai dengan cemilan pertamanya, seolah ia akan menikmati adegan film. “Tangan lo udah nggak apa-apa?”         Anna melirik tangannya. Balutan kain kasa yang sedikit tebal membuatnya kesulitan bergerak. Dan ia benar-benar harus melepaskan pekerjaannya untuk satu minngu ke depan.         “Kenapa kamu ke sini?”         Abel mengangkat bahunya acuh, “Untuk menjadi fans pertama lo.”         Anna menggeram, membuat Abel terkekeh geli. “Oke, oke. Gue nggak akan lama. Cuma mau ngasih ini.” Abel meletakkan sebuah map di depan Anna. “Pasien lo harus operasi siang ini, dan karena gue lagi berbaik hati, gue yang akan gantiin lo.”         Anna mengucapkan terima kasih, kemudian menandatangi berkas yang diserahkan oleh Abel.         “Lo harus traktir gue makan makan.”         “Hm.”         "Sarapan pagi."         "Hm."         "Makan siang juga."         "Hm."         "Makan malam juga."         "Iya, Abel."         “Satu bulan penuh.”         Anna mendelik. Namun sahabatnya itu sudah lebih dulu beranjak sambil tertawa senang. Sepeninggal Abel, Anna menghela napasnya. Dia membenci keadaan di mana ia tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. Karena pekerjaan merupakan tempat Anna melarikan diri semua kegilaan yang berusaha mengenyahkan akal sehatnya.         Sekarang ia terpaksa harus berdiam diri, sendiri di dalam ruangannya. Anna berdecak, kenyataan ini terlalu mengganggunya. Seiring dengan perkataan Alex yang kembali terngiang di kepalanya, Anna tahu bahwa sebentar lagi ia menyerah untuk tetap waras.   *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD