Sisi Lain

1092 Words
        “Kehadiranmu tidak diinginkan di sini.” Dave menatap tajam kepada Alex yang saat ini berdiri di depan ruangan Anna. Tangan pria itu memegang kenop pintu, hanya butuh satu kali dorongan maka pintu itu akan terbuka.         Alex melepaskan tangannya dari kenop pintu, tubuhnya ia putar sepenuhnya dan menoleh ke arah Dave. Membalas tatapan Dave dengan cara yang sama.         “Well, aku tidak terkejut melihat kau berkeliaran di sini,” ujar Alex sinis. Lalu pria itu berjalan, melewati Dave, sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Dave. Kemudian bergumam menghina, “Tentu saja, di mana lagi peliharaan Leonidas berkeliaran kalau bukan di kandangnya?”         Dave mengepalkan tangannya, berusaha keras untuk tidak melayangkan kepalan tinjunya kepada Alex. Matanya masih menatap lurus ke arah Alex yang sudah menghilang di ujung lorong. Setelah ia rasa Alex benar-benar pergi, Dave memutuskan untuk berjalan, menuju ruangan Daniel sebagaimana niat awalnya tadi sebelum melihat Alex berdiri di depan ruangan Anna.         Dave baru bergerak satu langkah dan langsung berhenti ketika suara seperti benda-benda berjatuhan terdengar dari ruangan Anna. Dahinya mengernyit sebentar, kemudian suara itu terdengar lagi. Menolak mengabaikan rasa ingin tahunya lebih lama, Dave masuk ke ruangan Anna tanpa permisi.         Anna sedang duduk di kursinya, menyembunyikan wajah di mejanya. Tubuhnya diam bagai patung. Namun beberapa benda telah berserakan di lantai di dekat meja kerjanya. Dave termangu sesaat, kemudian memutuskan untuk mendekat.         “Mrs. Halim.” Dave menegur dengan pangggilan resmi. Berbeda dengan Daniel, Dave memang menggunakan nama belakang Anna pada beberapa kali kesempatan mereka bicara.         Anna bergeming, tubuhnya terlalu kaku. Dave sekali lagi bersuara sebelum mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Anna.         Semua gerakan terlihat samar bagi Dave, ketika Anna bergerak, mencengkram tangannya, menarik Dave hingga Anna mampu menjangkau lehernya dan perempuan itu mencekiknya. Dave terlalu terkejut untuk segera menghindar. Dave meringis, meskipun seorang perempuan, kekuatan Anna saat ini membuatnya kesulitan dalam meraup oksigen.         “Mrs. Halim.” Dave berkata dengan susah payah. Tangannya menarik tangan Anna, mencoba melepaskan cengkraman Anna dari lehernya. Saat Dave pikir ia berhasil melepaskan diri dari cengkaraman Anna, perempuan itu malah semakin mengeluarkan kekuatannya.         Dave terpaksa melompati meja, membuat dirinya menahan sakit lebih lama untuk bisa berdiri di sisi Anna. Saat Dave akhirnya bisa menatap Anna, ia tercenung. Iris kelam Anna terlihat berkabut, tajam dan sangat dingin.         “Mrs. Halim.” Dave memegang erat kedua bahu Anna dengan kencang. “Bernapas.” Tangan Anna masih bergerak, mencari leher Dave, membuat Dave mengguncang bahu Anna kuat. “Anna.” Dave meninggikan suaranya, ia juga menanggalkan panggilan resmi untuk Anna. “Sadarlah.”         Seolah Anna baru saja tersengat listrik ribuan volt, perempuan itu seketika menjauh. Tabuhnya bergetar hebat, ia menatap Dave kebingungan, kabut kelam yang menutupi matanya perlahan menghilang.         “Mr. Leonidas?” bisiknya gemetar.         “Ya.” Dave menyahut, matanya masih mengamati reaksi Anna.         Lalu perlahan kesadaran Anna kembali. Matanya menatap Dave cemas, mengamati Dave dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Sejenak terpaku pada bekas tangan yang ada di leher Dave, kemudian ia luruh, bersimpuh di lantai dengan air mata yang mengalir deras.         Dave ikut berjongkok, “Kau baik-baik saja?” Dave menggerakkan tangan, menyentuh pundak Anna. Anna tersentak oleh sentuhan Dave, ia bergerak menjauh seakan sentuhan Dave bisa menghancurkannya. “Maaf.” Anna merintih. Kemudian ia berdiri, terhuyung dan melangkah terseok-seok meninggal Dave begitu saja.         Dave masih terdiam, satu pertanyaan terlintas di benaknya.         Ada apa?   *           Anna sangat sadar dengan tatapan penasaran yang dilemparkan ke arahnya, tapi ia tak punya waktu untuk berhenti dan membalas mereka dengan tatapan tajam sebagaimana yang selama ini ia lakukan. Tubuhnya terlalu menggigil, Anna hanya berharap bahwa langkahnya cukup pasti dan tidak goyah.         Anna semakin mempercepat langkah kakinya dan sudah hampir berlari ketika pintu kamar kecil terlihat di depan matanya. Dengan sekali sentakan, Anna melesat masuk ke dalam salah satu bilik kamar kecil.         Ia mengurung dirinya di bilik tersebut, napasnya memburu. Keringat dingin mengalir deras di dahinya. Kengerian menjalar di seluruh permukaan kulit Anna. Seharusnya ia sudah merasa bebas, seharusnya dia sudah tidak didera ketakutan lagi. Namun tak banyak yang bisa dilakukan Anna ketika setiap suku kata yang diucapkan Alex menyelinap melewati gendang telinganya, menguak semua kenangan buruk di masa lalu.         Setelah berusaha untuk melawan semua ketakutannya, Anna keluar dari bilik tersebut dan langsung dihadapkan dengan pantulan dirinya di cermin. Napanya sudah kembali normal, tapi penampilannya sangat kacau. Matanya memerah. Tapannya jauh lebih dingin.         Sekali lagi ia menatap bayangan di dalam cermin, wajah itu membuat Anna kembali menarik ingatannya yang sudah lama hilang. Seketika ia berteriak marah. Meninju kaca berkali-kali. Dan Anna jatuh terduduk di lantai dengan air matanya yang mengalir.   *         Setelah mengurung dirinya di toilet untuk waktu yang sangat lama, Anna tidak menyangka bahwa ia akan menemukan Dave masih berada di dalam ruangannya. Pria itu duduk di kursi di depan meja Anna, tempat di mana keluarga pasiennya biasa duduk untuk mendengarkan penjabaran Anna tentang penyakit maupun perkembangan si pasien.         Anna menutup pintu dan kepala Dave langsung berputar menoleh ke arahnya. Tatapan pria itu datar, terlalu datar jika boleh ditambahkan, membuat Anna tidak bisa membaca emosi apapun yang tersembunyi di dalamnya.         Anna menaikkan dagunya, lalu melangkah memasuki ruangannya lebih jauh. Keberatan untuk merasa terintimidasi oleh Dave, seseorang yang baru beberapa waktu ini dikenalnya. Dengan kendali dirinya yang penuh, Anna duduk di kursinya. Berhadapan langsung dengan Dave yang sudah memusatkan perhatian kepadanya.         Mereka kembali mengulang adegan seperti yang sudah-sudah. Berpacu untuk saling membisu. Berlomba supaya tidak saling terbaca. Waktu terasa berhenti juga berlalu begitu cepat.         Biasanya Dave yang akan memecahkan keheningan terlebih dahulu, tapi kali ini sepertinya pria itu tidak tertarik untuk memulai. Sehingga Annalah yang membuka percakapan.         “Maaf karena telah mengejutkanmu, Mr. Leonidas.”         Dave masih bergeming.         Senyap kembali menguasai sampai Dave membalas perkataan Anna.         “Tanganmu berdarah.”         Anna tersentak, kemudian melarikan tangannya ke bawah meja. Menyembunyikan.         “Jelaskan.” Dave bersuara lagi.         “Anda mengetahui penyebabnya.”         “Aku tidak bertanya tentang lukamu.”         Anna mengernyit, lalu seakan mengerti ke mana arah pembicaraan Dave, perempuan itu mengeraskan wajahnya.          “Kau punya alter ego.”         Anna terhenyak, matanya bergerak gelisah. Napasnya tercekat. Tubuhnya kembali menggigil. Ketakutan menerpanya lagi, membungkus tubuhnya sangat rapat. Kepalanya menggeleng keras lalu bergerak, menjauh.         Pergerakan Anna kalah cepat sebab Dave langsung menangkap pergelangan tangan wanita itu. Keberadaan meja di tengah-tengah mereka tidak menyulitkan Dave untuk menahan Anna supaya tetap berada di hadapannya.         “Lepas,” ujar Anna dingin.         “Kau takut.”         Anna berusaha untuk melepaskan tangannya dari cengkraman Dave. Hal yang sia-sia mengingat kekuatan Dave berada jauh di atasnya. Anna justru tidak peduli, dia terus memberontak sampai perkataan Dave selanjutnya membuat Anna membeku.         “Kau orang gila yang sedang berpura-pura menjadi waras.”   *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD