Terusik

1081 Words
        Seharusnya Anna mengabaikan Dave ketika pria itu melangkah pergi atau sebaiknya ia tetap bergeming. Duduk di depan meja pantry menghabiskan makan malamnya. Kemudian tidur, menutup mata dari dunia. Membiarkan jiwanya menjauh dengan harapan semesta sudah berkenan menjemputnya untuk pulang. Nyatanya resah yang mengganggu membuat Anna lancang bertanya.         Sekarang ia menyesali semuanya. Menyesal karena telah bertanya, lalu terjebak di situasi yang sangat membosankan seperti ini. Sejak dulu pesta dan keramaian adalah dua hal yang tidak pernah bisa ia toleransi keadaannya. Hiruk pikuk keramaian menjadikan segala jenis suara bercampur menjadi satu kesatuan yang sangat mengganggu.         Sekali lagi Anna menghela napas bosan. Dave sudah tidak terlihat semenjak pria itu langsung berpamitan untuk menemui kolega bisnisnya. Sama sekali tidak merasa bersalah untuk meninggalkan Anna sendiri. Dan Anna sudah tentu tidak peduli dengan hal tersebut. Berdiri di sini, mengamati kerlap-kerlip lampu kota terasa lebih menyegarkan pikirannya dari pada berada di dalam ruangan dan berbaur dengan orang-orang. Sementara Abel, wanita tersebut sempat menyapanya kala baru tiba tadi. Sekarang Anna bahkan tidak perlu menjadi cerdas untuk tahu keberadaan Abel.         “Lelaki bodoh mana yang membiarkan wanita cantik sepertimu sendirian di sini?” Sebuah suara membuat Anna menoleh dan mendapati seorang pria telah berdiri di hadapannya.         “Minum?”         Lelaki itu mengulurkan tangannya yang memegang segelas minuman. Entah jenis alkohol yang mana, Anna tidak perlu repot-repot untuk menebaknya. Bahkan ia merasa tidak perlu menerima tawaran tersebut. Jadi alih-alih mengambilnya dan mengucapkan terima kasih, Anna beranjak pergi. Seutuhnya mengabaikan pria asing tersebut.         “Hai.”         Rupanya sikap tidak bersahabat yang ditunjukkan Anna tidak berpengaruh kepada lelaki ini. Terbukti dari tindakannya untuk menyusul dan berjalan di sisi Anna. Sudah jelas hal ini diluar daftar penerimaan Anna. Rasa terusik itu menyerbunya tanpa ampun, mengirimkan perintah ke otak Anna untuk semakin memancarkan aura dingin dan menjadikan hawa keberadaannya terasa mencekam untuk sekitarnya.         Anna berhenti sejenak, lalu menghadapkan tubuhnya ketika sebuah tangan sudah kembali terulur ke arahnya.         “Alexander Hart.”         Anna menatap Alex dengan ekpersi datar. Sengaja tidak membuang waktunya untuk melihat terlebih dahulu ke arah tangan Alex yang masih terulur di hadapannya.         “Aku tidak berniat membuang waktuku, Mr. Hart.”         Mata Alex berkilat marah, tetapi sekali lagi Anna sungguh tidak akan memperdulikannya. Oleh karena itu, tanpa menunggu Alex kembali bersuara dia sudah melangkah lagi, melewati ruangan pesta. Sepertinya sudah cukup ia menghabiskan waktu untuk berada di sini.         "Well.” Suara Alex kembali terdengar di dekatnya. “Aku terlalu banyak mengenal wanita sepertimu.”         Menurut Abel, Anna hanya memiliki tiga ekspresi yaitu ekpsresi datar, ekspresi dingin, dan ekspresi marah. Dan sekarang Alex membuatnya harus menunjukkan ekspresi marah. Kalau pria ini pintar, tentu akan sangat bijak jika Alex langsung menyingkir dari hadapan Anna.         “Terlalu jual mahal di awal, tetapi begitu diberi kemewahan kau bahkan bersedia untuk sujud di kakiku.” Alex tersenyum meremehkan, “Orang-orang seperti itu biasanya akan memadamkan gairahku, tapi kali ini aku membuat pengecualian untukmu.” Alex melihat Anna dari atas sampai bawah, melakukan pemindaian kilat sebelum dengan semangat menggebu ia kembali melanjutkan kalimatnya. “Jadi, berapa yang harus kutawarkan untukmu?”         Seperti sebuah kertas yang disulut api, kemarahan Anna berkobar. Jika dihitung dalam skala satu sampai sepuluh, jarum kemarahan Anna berada di angka delapan.         “Menjijikkan.”         “Apa?” Alex tampak terkejut dengan pilihan kata yang digunakan Anna.         “Kau benar-benar seperti apa yang sedang aku pikirkan. Lelaki tak bermoral, b***t dan sangat menjijikan.”         “Menjijikkan katamu?”         Anna tahu  jika ia baru saja menyulut kemarahan Alex, tetapi sekali lagi, ia sungguh tidak peduli. Lagi pula bukankah pria ini yang lebih dahulu memicu kemarahannya muncul ke permukaan?         “Berani-beraninya kau!”         Anna menunggu dalam diam, menghadapi berbagai reaksi orang sudah biasa baginya. Namun ia tidak menyangka Alex kembali mengucapkan omong kosong seperti ini.         “Sekarang kau boleh menghina dan menolakku, tapi setelah kau menyadari betapa banyaknya yang bisa kuberi kepadamu, kau akan datang merangkak padaku, memohon supaya aku mau menerimamu.”         Bicara soal jarum kemarahan milik Ana, sekarang benda tersebut sudah bergerak jauh melewati angka sepuluh. Bahkan berputar semakin cepat hingga ia perlu mengepalkan tangannya sampai buku-buku jarinya memutih.         “Jadi, Cantik.” Alex menyentuh wajah Anna, tangannya mengusap pelan wajah tirus Anna sambil berkata, “Aku akan menunggu sampai kau datang untuk memohon kepadaku.”         Semua hal terjadi sangat cepat. Gelas yang tadinya berada di tangan Alex kini telah menjadi kepingan beling di tangan Anna. Hingar-bingar pesta menjadi hening, mungkin terlalu terkejut dengan suara pecahan kaca atau kepada Anna yang saat ini tengah menorehkan pecahan gelas tersebut di leher Alex.         Dari ujung matanya, Anna bisa melihat Abel datang mendekat, diikuti oleh Daniel yang mengekor belakangnya.         “Ann, ada apa?” Abel bertanya dengan wajah bingung.         Semua orang kini menjadikan mereka pusat perhatian. Membuat Anna diselimuti oleh rasa tidak nyaman. Namun seperti tidak memiliki waktu untuk memikirkan ketidaknyamanannya, Anna semakin menekankan ujung runcing dari pecahan gelas tersebut ke leher Alex yang sudah tergores. Bahkan goresan tersebut kini sudah mengeluarkan darah.         “Sekarang kau membuatku semakin bergairah.” Seakan tidak peduli dengan perih di lehernya, Alex berujar senang.         “Pertama.” Anna memulai, suaranya tenang tapi kemarahan yang tersimpan di dalamnya tersampaikan dengan baik. “Kalau kau pintar, seharusnya kau mengerti untuk menggunakan mulutmu dengan bijak.”         Alex semakin menarik bibirnya.         “Jadi, selain menjijikkan, otakmu juga dungu.”         Ekspresi Alex berubah. Wajahnya memerah, barangkali karena terlalu marah atau bisa  jadi gara-gara malu dihina Anna di depan puluhan pasang mata yang saat ini sedang memperhatikan mereka.         “Kedua.” Suara Anna semakin tenang juga dingin menusuk tulang. “Hari ini harus menjadi hari terakhir kau bertatap muka denganku, karena kalau ada lain kali, ....” Anna sengaja menggantung ucapannya, matanya bergerak bosan memperhatikan Alex dari kepala hingga kaki. “.... Aku tidak keberatan untuk menjadikanmu mayat, “kata Anna melanjutkan perkataannya. Setelah memastikan Alex mengerti dengan ucapannya, Anna beranjak dari sana.          Semua orang mulai berbisik, lama-kelamaan atmosfer yang tadinya senyap digantikan oleh suara ribut. Beberapa orang melemparkan tatapan penasaran kepadanya, sebagian mata bahkan terkunci pada dirinya selama beberapa saat, dan Anna memilih mengabaikannya sampai matanya bersitubruk dengan mata Dave. Pria itu berdiri di sudut ruangan dengan beberapa pria yang Anna tebak adalah rekan bisnisnya.         Tatapan itu terlalu datar, tetapi membuatAnna sedikit merasa resah. Anna tertegun oleh rasa tidak terima akan kenyataan itu. Selama ini ia dikenal sebagai manusia dingin tanpa ekspresi. Keangkuhan dan kedinginan selalu mengisi kedua matanya, sehingga menjadikannya sangat lihai dalam membuat lawan bicara merasa terintimidasi. Anna tidak pernah merasa terancam oleh tatapan orang kepadanya barang sekalipun.         Dan sekarang, dia merasa terusik, semudah itu. Titik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD