6. Harga Motor Seharga Gorengan

1022 Words
“Dek, kamu beli baju baru?” Latif yang baru selesai mandi, begitu masuk ke dalam kamar sudah dikejutkan dengan penampilan sang istri yang berganti pakaian. Sebuah daster sepanjang bawah lutut lengan pendek menarik perhatian Latif. Pasalnya selama satu tahun menikah, Latif sangat jarang melihat sang istri berpakaian bagus. Salah dia juga yang tidak mampu memberikan nafkah yang layak bagi Lena. Bukan dia tidak ingin tapi keadaan yang tidak memungkinkan bagi Latif memanjakan Lena dengan banyak barang mewah dan juga uang berlimpah. Usaha Latif belum bisa dikatakan besar. Namun, Latif tak henti bersyukur setidaknya dari usaha kecil kecilan yang dia rintis mampu menghidupi keluarganya. Istri, Ibu dan juga biaya sekolah adik laki-lakinya. Untungnya Lena adalah perempuan yang berparas cantik dna berkulit bersih. Jadi meski sehari hari hanya mengenakan daster lusuh, akan tetapi tidak nampak kucel sekali. “Ini memang daster baru, Mas. Tapi bukan aku yang beli. Sayang jika ada uang untuk beli baju, mending untuk ditabung agar kita bisa segera buat rumah sendiri.” Latif hanya menghela napas ketika mendengar istrinya berkata demikian. Tak dipungkiri sebagai seorang suami yang kemungkinan sebentar lagi juga akan memiliki anak, keinginan mempunya rumah sendiri dan tidak terus menerus menumpang pada sang ibu sangat ingin dilakukan oleh Latif. Namun, jika dipikir pikir lagi jika dia tinggal terpisah dari ibunya lantas nanti siapa yang akan mengurus ibunya yang sudah tua jika bukan dirinya. Labib juga masih sekolah dan tidak bisa diandalkan. Ucapan Lena tentang rumah diabaikan untuk sejenak oleh Latif karena lelaki itu lebih tertarik membahas mengenai daster baru, “Lalu kamu dapat baju itu dari mana?” “Ibu.” Kening Latif mengernyit. Jawaban Lena seolah tidak bisa dia percaya. Selama memilik menantu yang Latif tahu ibunya hampir tidak pernah membelikan istrinya baju. Justru yang ada sebaliknya. Lena dan dia lah yang selalu membelikan ibunya baju baru. “Bu Lilis?” Latif memastikan. “Iyalah memangnya siapa lagi nama ibumu Mas jika bukan Bu Lilis.” “Oh. Aku pikir tadi adalah ibumu. Kok tumben Ibu membelikan kamu baju baru?” “Katanya baru menang arisan.” “Oh ya?” Lena menganggukkan kepalanya. Jujur Lena tak pungkiri jika dibelikan sesuatu oleh mertuanya sudah membuat hatinya berbunga-bunga. Setidaknya masih ada rasa peduli sang mertua padanya. “Tidak hanya daster saja tapi aku juga dibelikan ibu gamis.” “Iyakah?” Lena buru-buru mengambil gamis pemberian ibunya dan menunjukkan pada Latif. “Bagus. Maaf ya Dek Mas belum bisa membelikan kamu baju seperti ibu.” "Loh kenapa malah Mas yang jadi sedih begini. Aku nggak minta Mas buat belikan aku barang-barang bagus. Yang penting kehidupan kita tidak kekurangan dan selalu diberikan kecukupan. Itu sudah cukup bagi aku Mas.” Latif sungguh terharu. Dia bangga memiliki istri seperti Lena yang tidak banyak menuntut padanya. Setahun menikah Lena memang tidak banyak menuntut kecuali sering mengadukan apa yang sudah diperbuat Labib dan juga omelan yang sering ibunya dengungkan. Selebihnya Lena adalah tipe istri yang penurut dan patuh kepadanya. “Kamu memang istri yang baik, Dek." “Baru tahu kamu Mas kalau aku ini istri yang baik? Ke mana saja sih kamu?” Latif terkekeh lalu mencubit gemas hidung istrinya. “Mas sangat beruntung memiliki istri yang tak hanya baik tapi juga cantik seperti kamu. Semoga kita segera diberikan keturunan ya dek. Kalau anak kita perempuan, pasti cantiknya seperti kamu.” Jika sudah membahas tentang keturunan, Lena pasti akan merasa sedih. Ya memang baru setahun usia pernikahannya, tapi alangkah lebih bahagianya jika dia dan Latif segera diberikan keturunan agar dia tidak lagi mendapat pertanyaan dari banyak orang. Maklum saja hidup di kampung yang setiap perilaku selalu mendapat nyinyiran. Jika belum menikah, maka akan ditanya terus kapan nikah. Setelah menikah ditanya terus kapan punya anak. Eh begitu punya anak, akan ada pertanyaan lain yaitu kapan anaknya dikasih adik. Itulah uniknya hidup di kampung dan Lena sudah mulai terbiasa menebalkan telinganya acapkali mendengar pertanyaan yang mengusik kehidupannya. *** Makan malam dengan menu yang berbeda dari biasanya. Tadi saat di pasar Bu Lilis belanja banyak sayuran dan lauk untuk persediaan. Sebenarnya Lena sudah melarang agar ibunya tidak banyak menghambur-hamburkan uang karena lebih baik ditabung saja. Tapi Bu Lilis yang tak terbantahkan tetap saja membelanjakan sekian ratus ribu rupiah uangnya hanya untuk menuruti keinginan. “Sekali-kali kita makan enak mumpung ibu dapat arisan," celetuk Bu Lilis ketika anak-anaknya sudah berkumpul di meja makan kecil yang ada di dalam rumah mereka. “Terserah ibu saja yang penting ibu bahagia," jawab Lena mulai berani asal bicara dan Bu Lilis langsung mendelikkan matanya. Pasalnya Lena sedikit kesal. Jika dia saja yang ingin makan enak, akan dimarahi dam dituduh menghabiskan uangnya Latif. “Kamu itu, Len. Jangan iri kalau ibu banyak uang. Kan kamu sudah ibu belikan daster tadi.” “Iya, Bu, makasih. Kaos untuk Mas Latif juga sudah Lena berikan tadi.” Iya, selain daster dan gamis, Bu Lilis pun membelikan putranya kaos dan sebuah kemeja. “Gimana, Tif. Pas kan di kamu?” Latif mengangguk. “Pas, Bu. Terima kasih. Tapi jika boleh Latif sarankan lebih baik uangnya ibu tabung dan jangan dihambur-hamburkan.” “Kamu ini sama saja dengan Lena. Padahal ibu hanya membeli apa yang sedang ibu inginkan. Selagi ada uang. Tidak enak kan jika Ibu meminta kamu dan terus menerus merepotkan kamu.” “Iya aku paham, Bu. Maaf ya, Bu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu. Belum bisa mencukupi semua kebutuhan ibu.” Entah kenapa Lena merasa kurang setuju dengan apa yang Latif katakan karena menurut Lena, Latif sudah lebih dari pada cukup menjadi seorang anak yang berbakti pada ibunya. Bahkan Latif pun juga selalu mementingkan ibu dan adiknya ketimbang dia. “Iya ibu ngerti. Oleh karena itulah ibu nggak mau terus menjadi beban kamu Latif.” “Ibu bukan beban, jangan ngomong begitu.” Tiba-tiba saja Labib yang sejak tadi sibuk dengan makanan ikut-ikutan menyela. “Ibu baru dapat arisan? Jadi kan mau belikan aku motor?” Lena dan Latif saling pandang karena terkejutnya. Ini Labib kenapa mudah sekali mengatakan hal demikian? Ingin beli motor? Apa dia kira harga motor seharga gorengan seribuan? Lena yang mendengar sungguh geram dan hampir saja mulutnya keceplosan untuk mengatai adik iparnya yang selalu saja mencari masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD