5. Ada Kalanya Ibu Mertua Baik Hati

1000 Words
Tinggal di rumah mertua, Lena harus sadar diri untuk tidak hanya berpangku tangan. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi seorang istri yang baik bagi Latif. Mengurus sang suami, memastikan Latif tercukupi dengan baik makan dan minumnya. Mengurus rumah, meski bukan rumahnya sendiri melainkan rumah sang mertua. Dulunya, saat awal-awal Lena menjadi seorang istri, dia kesulitan untuk beradaptasi dengan rumah sederhana milik mertuanya. Jika di rumahnya yang dulu begitu mewah dengan semua perabotan serta perlengkapan dan juga peralatan serba elektronik, lain dengan di rumah Bu Lilis yang apa-apa harus dikerjakan manual. Seperti siang ini, meski tangan Lena masih memerah dan sedikit perih, tidak menghentikan tugasnya untuk mengepel lantai. Jika lantai rumah terlihat sedikit berdebu saja, Bu Lilis pasti akan ngomel-ngomel. Dengan terpaksa Lena harus berjongkok ke sana ke mari membersihkan lantai dari debu. Andai di rumahnya yang dulu, sudah ada vacum cleaner atau robot penyedot debu sehingga dia tidak perlu mengeluarkan tenaga sampai mengeluarkan keringat seperti ini. Beberapa kali Lena menyeka buliran keringat yang membasahi dahi. Capek, tentu saja. Tapi Lena sama sekali tidak mau mengeluh akan itu semua. "Len!" Bu Lilis muncul di ambang pintu rumah. Lena menolehkan kepala, lalu terbelalak ketika melihat sang mertua menapaki lantai yang masih belum kering sepenuhnya hingga meninggalkan jejak kaki di atas lantai yang baru saja di pel. "Ibu, kok diinjak-injak lagi lantainya? Aku belum selesai ngepel," protes Lena dengan nada lelah. Sungguh, Lena tidak ada tenaga jika harus kembali mengepel ulang. "Namanya lantai ya buat diinjak. Terus kalau tidak lewat sini ibu mau kamu suruh lewat mana?" "Kan bisa nunggu bentar lagi, Bu, sampai lantainya kering." "Halah kelamaan. Buruan sekarang ganti baju. Ayo ikut ibu!" Ajakan sekaligus perintah dari Lilis membuat Lena kebingungan. "Memangnya Ibu mau ke mana?" "Kita ke pasar. Ibu habis menang arisan." "Oh, ya? Wah, Ibu banyak duit." "Udah buruan sana ganti baju. Keburu siang." Lena meletakkan kain pel dam bersiap masuk ke dalam kamar sesuai dengan yang ibu mertuanya perintahkan. Namun, urung dia lakukan mengingat ajakan ibunya ke pasar sudah barang tentu dia akan dijadikan kacung yang membawa barang belanjaan. "Bu, aku nggak jadi ikut. Capek, Bu." "Kamu ini. Ibu mau belikan kamu daster baru. Lihat itu dastermu udah buluk bolong-bolong lagi. Malu-maluin saja. Dikira tetangga anakku nggak mampu ngebeliin istrinya baju. Sampai-sampai penampilan kamu mirip gembel." "Nggak usah ngehina kali, Bu. Kan memang kemampuan Mas Latif hanya segitu. Aku juga tidak mau membebani Mas Latif dengan meminta dibelikan baju baru." "Makanya ayo! jangan banyak omong kamu." "Tapi ibu beneran mau beliin aku baju baru?" "Iya. Daster dan gamis. Sudah buruan. Nanti kalau kesiangan panas." "Iya, Bu. Sabar." Dan Lena pun menurut. Masuk ke dalam kamar untuk mengganti bajunya yang lebih layak pakai lagi. ••• Di sinilah kedua wanita berbeda usia itu berada. Dalam sebuah angkutan umum yang akan membawa keduanya menuju ke pasar besar yang lebih lengkap barang dagangannya. Beberapa penumpang lelaki secara terang-terangan memperhatikan Lena. Tak jarang ada yang menggoda membuat Bu Lilis jengah karenanya. Berbeda dengan Lena yang lebih anteng dan memilih diam saja. Lena memang cantik bawaannya. Sekalipun hanya memakai daster dan tidak merias diri, tetap saja wanita itu terkihat begitu cantik. Kulitnya putih mulus terawat, ini sih bawaan sebelum menikah. Bibirnya pink alami tanpa polesan lipstik. Bulu mata lentik, ditambah dengan rambut yang hitam dan panjang. Kecantikan wajah Lena tentu saja menghipnotis kaum lelaki. Bu Lilis yang tidak tahan dengan kegenitan para lelaki tidak tahu diri, sampai harus melotot tidak suka. "Jangan godain anak saya!" hardiknya pada salah seorang pemuda yang sejak tadi memepet tubuh Lena. "Habisnya putri ibuk cantik. Beda dengan ibunya." Bu Lilis makin murka mendengarnya. "Apa kamu bilang? Dasar anak kurang ajar. Len, sini kamu tukar tempat saja sama ibuk. Risih ibuk melihatnya. Sejak tadi kamu digodain terus." Lena hanya mengulum senyuman dan menurut saja dengan apa yang Bu Lilis perintahkan. Pindah tempat duduk di bagian pojok dan terhalang oleh Bu Lilis tentunya. Hingga perjalanan mereka tiba di depan sebuah pasar besar. Bu Lilis menarik tangan Lena agar menantunya itu tidak hilang. "Jangan lepas tangan ibu. Nanti kamu hilang!" "Cie~ ibu ketahuan juga sekarang jika takut kehilangan Lena," goda Lena. "Habisnya kamu itu kalau jalan meleng. Lihat sana, lihat sini. Kalau sampai hilang ibu juga yang repot nanti." "Aish, Ibu takut jika saya diculik orang?" "Iya. Nanti Latif marah sama ibu. Noh, lihat saja. Lelaki hidung belang kalau lihat kamu pasti bawaannya mau nyulik kamu. Emang nggak takut kamunya?" "Saya tahu Bu kalau saya cantik. Makanya banyak yang mau nyulik." "Heleh lebay! Dipuji cantik dikit aja sudah besar kepala." Lena tertawa. Ibu mertuanya ini kadang lucu juga jika digoda. Tapi kadang juga sangat menjengkelkan. Namanya juga orang tua. Lena memakluminya. "Untung saja kamu cantik. Jadi Ibu setuju saja saat Latif menikahimu dulu. Tapi kamu harus ingat, Lena! Cantik saja tidak cukup. Kasihan Latif harus kerja banting tulang. Kamu ini harusnya bisa bantu-bantu dia cari nafkah." "Mas Latif yang ngelarang, Bu. Katanya biar aku di rumah saja. Nggak boleh capek-capek biar cepat hamil." "Lah buktinya mana? Sampai sekarang kamunya nggak hamil juga." "Belum, Bu. Makanya, ibu itu jangan suka buat aku capek kalau di rumah. Jadinya susah hamil, kan?" "Kamu ini ngelunjak sama Ibu. Alasan saja. Atau jangan-jangan kamu itu beneran mandul jadinya nggak bisa punya anak." "Astaghfirullah, Bu. Omongan itu adalah doa. Ibu kalau ngomong yang baik-baik saja. Do'akan gitu biar aku cepat hamil. Bukan malah nuduh mandul segala." "Haish, Lena! Sejak tadi kamu itu banyak omongnya. Kita di sini bukan untuk ngerumpi. Tapi untuk beli baju." "Eh, iya. Ya udah ayo, Bu. Kita ke stand baju." "Lah, kenapa malah kamu yang semangat." "Iya kan Ibu mau beliin aku daster dan gamis baru." Bu Lilis geleng-geleng kepala. "Jika tidak karena Ibu diolok-olok tetangga, ibu juga nggak mau beliin kamu baju baru, Lena!" Lena tak menanggapi ocehan mertuanya. Yang penting dia punya baju baru. Duh, segini amat Lena bahagia. Padahal jika untuk membeli gamis seharga jutaan saja dia lebih dari pada mampu. Tapi hanya dengan dibelikan daster oleh mertuanya seharga puluhan ribu saja, dia sudah terharu seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD