Namun, keburu Latif yang membuka suara mengemukakan protesnya. “Siapa yang mau belikan kamu motor, Bib?” tanya Latif tidak suka pada adiknya.
“Ibu lah, siapa lagi memangnya. Mas Latif? Bukankah Mas Latif semenjak menikah jadi pelit ya?”
Sindiran Labib sangat menohok hati Lena. Kurang ajar sekali mulut adik iparnya itu. Dia pikir keberadaannya di rumah ini jadi beban keluarga apa begitu?
Padahal yang Labib tidak tahu, Lena mati-matian menahan diri untuk tidak banyak mengeluarkan uang dari Latif dengan bergaya hidup amat sangat sederhana, yang jauh berbeda dengan gaya hidupnya yang dulu. Selama menjadi istri Latif, jangankan menghabiskan uang Latif, yang ada Lena malah banyak nomboknya.
Karena tidak terima Lena pun berusaha membela diri. “Labib, asal kamu tahu, semakin bertambah usia seseorang maka kebutuhan itu akan semakin bertambah juga. Begitu pun dengan Mas Latif. Bukan Karen Mas Latif menikah lalu jarang menuruti keinginanmu dan kamu bilang pelit. Itu sebab kamu sendiri juga makin dewasa, makin banyak kemauannya. Dan Masmu ini bukan yang banyak sekali duitnya sehingga bisa mencukupi semua yang kamu inginkan. Banyak kebutuhan rumah tangga yang kamu bahkan tidak akan pernah tahu berapa nominal yang harus dikeluarkan. Jadi jangan asal ngomong aja mentang-mentang Mas Latif sudah nikah jadi nggak bisa nuruti kamu. Jelas kan apa yang aku katakan?”
Latif langsung menggenggam tangan Lena karena tidak mau terjadi keributan di ruang makan. “Dek sudah. Jangan diladeni nanti kamu darah tinggi.”
“Habisnya suka kesal sama Labib. Minta ini itu tidak dipikirkan dulu.”
Sekarang giliran Labib yang tidak terima juga dengan tuduhan kakak iparnya, Lena saja yang tidak tahu jiak Bu Lilis memang pernah menjanjikan sebuah motor baru pada putra keduanya itu.
“Aku bukannya nggak berpikir ya Mbak, tapi ibu sendiri yang sudah janji sama aku kalau dapat arisan mau belikan aku motor baru."
Dan si ibu mencoba mencari pembenaran atas dirinya sendiri karena tidak mau diomeli oleh Latif sebab sudah memanjakan Labib.
Tatapan Latif dan Lena begitu saja mengarah pada Bu Lilis. "Benar itu, Bu?” Latif bertanya sementara Lena membiarkan suaminya saja yang berbicara pada ibunya. Lena sungguh tidak menyangka jika ibu mertuanya justru yang mendidik Labib dengan cara demikian. Memanjakan tanpa melihat keadaan keuangan. Padahal di rumah ini hanya Latif yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga.
“Habisnya Ibu kasihan sama adikmu, Tif. Motor jadul yang dia pakai ke sekolah makin sering rusak."
“Bu, itu bukan motor jadul. Aku membelinya dulu juga baru. Justru motor yang aku pakai sehari-hari itulah yang bisa dikatakan jadul. Karena itu motor peninggalan almarhum bapak."
“Motor yang aku pakai itu keluaran lima tahun yang lalu, Mas!"
“Lima tahun kamu bilang jadul? Jangan ngadi-ngadi kamu, Bib. Sudah! Nggak akan ada motor baru buat kamu. Bahkan Mas saja mau ngalah sama kamu. Motor Mas berikan ke kamu dan Mas pakai motor judulnya almarhum bapak. Kok ya nggak bersyukur banget kamu ini.”
“Bukan nggak bersyukur, Mas. Motor itu sudah ketinggalan jaman dan sering rusak. Lagian ibu sudah janji mau belikan yang baru jika dapat arisan. Aku hanya menagih janji ibu karena janji itu adalah hutang yang harus dibayar.”
Setelah mengatakan itu Labib pergi begitu saja meninggalkan meja makan. Latif sungguh geram dengan adiknya. Karena ulah Labib juga, nafsu makan Latif hilang sudah. Pria itu memijit pelipis yang terasa nyeri akibat melihat tingkah laku adiknya. Ibunya juga turut andil dalam masalah ini dan Latif tidak mengerti dengan jalan pikiran ibunya dalam mendidik Labib seperti apa.
Lena yang melihat Latif tampak pusing, hanya bisa menenangkan dengan memijit pundak suaminya. “Sudah Mas jangan terlalu dipikirkan.”
Latif mendongak menatap lembut pada istrinya. Lalu beralih menatap tajam pada ibunya. “Lagian ibu juga jangan terlalu memanjakan Labib. Seperti itu kan jadinya.”
“Ibu bukan memanjakan Labib. Kamu juga pernah muda, pernah sekolah dan pernah jadi murid SMA. Dulu ibu dan bapak selalu menuruti apa yang kamu inginkan. Bahkan di saat kamu SMA saja bapak mau membelikan kamu motor sport yang saat itu sedang digandrungi anak muda. Kamu tahu berapa harganya? Bapak sampai menjual tanah untuk dapat membelikan kamu motor itu. Ini Labib pun sama. Dia malu sama teman-temannya karena harus menggunakan motor lama yang bahkan sering kali rusak. Justru motor yang sering rusak akan memakan banyak biaya. Apa salah jika ibu ingin Labib bahagia dengan membelikan dia motor yang baru?”
Jika sang ibu sudah mengungkit masa lalu, Latif selalu kalah.
“Memangnya ibu punya uang untuk beli motornya?”
“Ibu kan dapat arisan. Dan ibu memang janji pada Labib akan beli motor untuk dia setelah ibu menerima arisan.”
“Berapa jumlah arisan yang ibu terima?"
“Lima juta.”
“Bu, uang lima juta tidak cukup untuk membeli motor baru.”
"Siapa bilang tidak cukup. Sejuta aja bisa dapat motor baru.”
“Maksud ibu? Kita ambil kredit begitu?”
“Iya hanya itu satu-satunya cara. Uang arisan ibu sisa tiga juta nanti motor lamanya Labib dijual saja untuk tambahan DP kan bisa."
“Terus cicilan tiap bulannya nanti siapa yang mau bayar, Bu?" Latif bertanya karena dia sudah memiliki feeling yang tidak enak.
“Ya kamu lah. Memang siapa lagi. Apa kamu tega menyuruh Labib sendiri buat bayar cicilannya? Adikmu itu masih sekolah. Tugasnya belajar. Nanti kalau dia sudah kerja pasti juga akan diganti uangmu."
Ya Tuhan Lena sudah menyerah mendengar perdebatan ibu mertua dengan suaminya. Namanya Bu Lilis memang tidak pernah mau mengalah dan di sini Lena jadi kasihan pada sang suami.
Inginnya dia hidup sederhana di desa dan menikmati masa-masa menjadi ibu rumah tangga tanpa harus stress memikirkan pekerjaan juga memikul bena pikiran lantaran tidak bisa hidup tenang dikejar-kejar wartawan. Eh, yang ada bukannya hidup tenang yang Lena dapatkan, tapi malah kepusingan sebab salah memilih mertua. Lena tidak salah memilih suami tapi entah kenapa dia istri yang tidak beruntung mendapatkan mertua.
Hidup sederhana yang diinginkan hanyalah mimpi semata karena yang Lena jalani saat ini justru menjadi beban mental tak hanya baginya tapi juga bagi Latif. Semua karena ulah mertua dan adik iparnya.
Ingin sekali Lena membawa Latif pergi dari rumah ini dan mereka hidup hanya berdua saja tanpa harus dipusingkan dengan drama mertua dan ipar.
Tapi mana bisa. Karena Latif yang begitu menyayangi ibunya akan memilih tetap tinggal di rumah ini mengurus ibu yang makin hari makin banyak tingkahnya.