Selamat membaca
Ajak yang lain baca juga ya?
Kini hujan semakin deras tapi tidak membuat Aqira beranjak mencari tempat untuk berteduh. Dia masih terisak di bawah guyuran hujan yang deras.
Menangis sejadi jadinya, kenapa hidupnya seperti ini, apa dosa yang dia perbuat di masa lalu.
Sampai sebuah mobil berhenti di samping Aqira.
Aqira memutar kepalanya untuk melihat siapa yang datang.Seorang lelaki yang cukup familiar turun dari mobil itu.
"Aqira.. kau sedang apa di sini?" panggil pria itu segera memayungi tubuh Aqira yang sudah basah kuyup diguyur hujan.
"Ayo masuk ke mobil, kau bisa sakit nanti." ucapnya lagi lalu menarik tangan Aqira masuk ke mobilnya.
Sekarang mereka sudah di dalam mobil, pria itu mengulurkan tangannya ke bangku belakang mencari sesuatu, dia mengambil handuk untuk diberikan pada Aqira.
"Gunakan ini untuk mengeringkan tubuhmu." memberikan handuk pada Aqira.
Aqira segera mengeringkan tubuhnya yang menggigil akibat terlalu lama terkena air hujan.
"Kenapa kau ada di sini, bukankah tempat ini jauh dari kompleks rumah Brian dan lagi kenapa kau hujan hujanan dan tidak mencari tempat berlindung?" pria itu membrondong Aqira dengan pertanyaannya.
"Terima kasih Hans, kau selalu ada menolongku di saat aku kesusahan." Aqira tidak menjawab pertanyaan Hans, ya pria itu adalah Hans Marcus.
Air mata Aqira menggenang kembali di pelupuk matanya.
Hans memperhatikan wajah Aqira yang hampir menangis "Hei.. kenapa menangis, kau ada masalah? ceritakan padaku." ucap Hans lembut lalu mengelus bahu Aqira yang bergetar karena menangis seperti memberi kekuatan untuk Aqira.
Aqira menoleh ke arah Hans lalu menggelengkan kepalanya.
Hans maklum mungkin Aqira tidak mau bercerita "Baiklah kalau kau tidak mau mengatakannya, mari kuantar kau pulang." ucapnya hendak menyalakan mobilnya.
"Jangan bawa aku ke sana, aku dan Brian baru saja pindah pagi ini, tapi tadi dia ada sedikit urusan, jadi dia menurunkanku di sini." ucap Aqira berbohong.
Brian dasar bodoh istri sendiri diturunkan di tempat sepi seperti ini, memang laki laki bajing*n batin Hans.
"Jadi aku kemana aku harus mengantarmu?"
"Ke rumah orang tuaku saja."
Hans mengerutkan keningnya "Kenapa tidak ke rumah yang akan kau tinggali dengan Brian?"
"A..aku tidak tau alamatnya." jawab Aqira terbata bata.
"Baiklah aku akan mengantarmu ke rumah orangtuamu." Hans tidak mau bertanya lagi, dia tau Aqira saat ini belum mau bercerita padanya.
Hans melajukan mobilnya ke rumah orangtua Aqira sesuai intruksi dari Aqira.
Di perjalanan lagi lagi keheningan mendominasi di antara mereka sampai Aqira membuka suara "Oh ya Hans, kenapa kau bisa lewat daerah itu tadi?"
"Aku baru dari rumah bibiku, bibiku sedang sakit, makanya aku lewat dari jalan itu" jelas Hans.
"Oh..Bibimu sakit apa?"
"Hanya demam biasa, dia terlalu merindukan putranya yang berada di luar negeri"
Lalu hening lagi.
"Hans sekali lagi terima kasih kau telah menolongku, sudah dua kali kau menolongku."
"Tidak masalah, kan sudah kubilang kita harus menolong orang yang kesusahan."
"Aku tidak tau bagaimana membalas kebaikanmu, janjiku yang pertama saja belum kutepati." ucap Aqira lesu
"Kalau kau bersikeras membalasku, itu artinya kau harus mentraktirku dua kali." tawa Brian.
"Ahahah... kau bisa saja."
"Baiklah aku akan mentraktirmu dua kali."
"Aku menunggunya."
Keheningan kembali melanda di mobil itu.
"Mmm.. Hans boleh aku bertanya?" Aqira memecah keheningan.
"Tentu saja, kau mau tanya apa?"
"Boleh aku tau umurmu, sepertinya umur kita beda jauh."
"Memangnya berapa usiamu?"
"Aku masih 19 tahun."
"Benarkah, aku tidak menyangka, kukira kau sudah 23 tahun ternyata masih remaja."
"Memangnya aku terlihat tua ya?" Aqira mengerucutkan bibirnya.
Hans gemas melihat raut wajah Aqira, ingin sekali dia mencubit pipi gadis itu
"Tidak tidak hanya saja kenapa Brian menikahi gadis remaja sepertimu."
"Ohhh.. kukira aku terlihat tua
Brian menikahiku karena orang tuanya."
"Sudahlah jangan bahas Brian."
"Kalian sedang bertengkar ya?"
"Tidak"
"Lalu kenapa tidak mau membahas suami sendiri."
"Tidak apa apa, hanya tidak ingin saja."
"Baiklah terserah kau saja gadis kecil."
"Hmmm..."
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, berapa usiamu?"
"Kukira kau lupa, umurku 29 tahun."
"Hah kau tua sekali." canda Aqira.
"Kau mengataiku tua, suamimu bahkan lebih tua dariku."
"Hei kenapa kau membawa bawa Brian, kalau tua ya tua saja hahahha.."
"Sudah kubilang aku tidak tua."
"Apakah kau mempunyai suatu penyakit?" tanya Aqira.
"Hah penyakit apa maksudmu, aku sehat kok." heran Hans.
"Semacam sindrom menolak tua hahaha...." tawa Aqira semakin pecah.
"Dasar kau gadis kecil." Hans menjepit hidung Aqira.
"Dari mana ada penyakit seperti itu jangan mengada ada" kesal Brian.
"Ada kok tapi itu hanya kau yang punya penyakit itu hahahha..."Aqira tertawa lagi.
"Terserah kau saja anak kecil, asal kau senang." kesal Brian dengan wajah cemberut.
"Jangan marah aku hanya bercanda." masih terselip tawa kecil di wajahnya.
"Karena perbedaan umur kita cukup jauh tidak sopan aku memanggil langsung namamu." ucap Aqira.
"Hmmm..?"
"Kau mau memanggilku apa?"
"Kalau aku memanggilmu paman sepertinya tidak cocok dengan wajahmu, bagaimana kalau aku memanggil kakak saja?"
"Boleh juga, aku setuju."
"Baiklah Kak Hans." ucap Aqira tersenyum lebar pada Hans.
Hans tersipu melihat senyum Aqira yang mempesona.
Tidak tau mengapa setiap berada dekat dengan Aqira ada getaran aneh dalam hatinya, dia merasa nyaman bila dekat dengan Aqira.
Hatinya juga sakit melihat Aqira menangis seperti tadi.
Hans berjanji pada dirinya sendiri akan melindungi dan menjaga Aqira. Entah kenapa dia bisa seperti ini pada Aqira, yang pasti dia tidak mau melihat Aqira tersakiti.
Entah dia hanya kasihan pada gadis itu atau
ada rasa lain dalam hatinya, dia sendiri tidak tau.
Tidak terasa hampir satu jam menempuh perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah lama Aqira.
"Terima kasih Kak Hans sudah mengantarku."
"Tidak masalah, aku senang mengantarmu."
"Tidak ingin mampir dulu?"
"Sebenarnya aku ingin mampir, tapi aku ada urusan mendadak jadi lain kali saja."
"Baiklah, kalau begitu hati hati di jalan."
"Aku pergi dulu, jangan lupa traktirannya." ucap Hans sebelum benar benar melajukan
mobilnya.
Setelah Hans pergi Aqira segera masuk ke dalam rumahnya, bajunya hampir mengering karena hampir satu jam melekat di tubuhnya.
Setelah membersihkan tubuhnya Aqira merebahkan tubuhnya di tempat tidur lamanya.
Pikiran Aqira masih dipenuhi bayangan pertengkaran tadi pagi.
Aqira sudah memutuskan tidak akan kembali ke rumah Brian.
Tinggal bersama lelaki itu membuat batinnya tertekan, cacian, makian dan hinaan selalu dilontarkan sang suami kepadanya.
Mulai besok dia akan memulai kehidupannya dan melupakan kejadian yang cukup menguras emosinya.
Memikirkan itu semua membuat mata Aqira berat, lalu tertidur di kamar yang dipenuhi kenangan bersama mendiang orangtuanya.