Jati diri

1164 Words
Cindy menatap hampa Bram setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Deri. “Tidak mungkin. Aku mencarimu Bram. Aku mencarimu di setiap rumah sakit yang ada di Kota ini. Kota tetangga atau pun Kota lainnya. Kau seakan menghilang ditelan bumi.” “Tapi fakta jika aku mengalami kecelakaan dan amnesia itu benar, Cindy ....” Hening. Ruangan tamu ini seakan sunyi seketika. “Dan sekarang kamu telah ingat?” tanya Cindy lirih. “Iya, aku baru mengingatnya dan segera mencarimu.” Cindy mengusap wajahnya sembari menarik nafas panjang. “Setelah tiga tahun aku kehilanganmu dan mengiramu telah mati. Aku telah bangkit dari keterpurukan ... Kau datang kembali." Bram terdiam sebentar. Ia tidak mau langsung bertanya tentang apakah Cindy mengetahui di mana ia dahulu menyembunyikan uang jutaan dollar tersebut. Cindy mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja dan mengambilnya sebatang. Lalu menyulutnya. Kemudian menyematkannya di antara bibir tipisnya. Bram mengamati Cindy. Cindy cantik. Berkulit kuning langsat dengan rambut pendek sebahu. Bram dan Deri menatap Cindy yang tampak risau. Deri merasa tidak nyaman. Ia merasa mungkin ada hal yang ingin dikatakan secara pribadi oleh Cindy. Ia memutuskan untuk pamit keluar dan menguping saja, pikirnya. “Maaf, aku ... Aku ingin keluar mencari angin. Kalian bisa berbicara berdua.” Cindy menatap Deri. “Apa karena asapnya? Kau tidak merokok?” tanyanya sembari akan mematikan ujung rokok yang menyala. Deri segera menggeleng. “Bukan. Bukan begitu. Bukan karena asapnya. Tenang saja. Aku juga perokok. Aku hanya ingin menunggu di luar karena tak ingin kalian tak nyaman dalam berbicara,” jawabnya dan kemudian segera pergi ke luar rumah dan duduk di teras rumah. Bram menatap Deri yang pergi meninggalkan ruang tamu. Setelah Deri pergi, Bram kembali memandangi Cindy penuh arti. Cindy nyaris salah tingkah karena tatapan dari sepasang mata menawan tersebut. “Kamu ke mari, karena mengingatku dan ingin kita bersama lagi?” Bram menelan ludahnya. “Awalnya aku hanya ingin memberitahukan kamu, jika aku masih hidup dan baik-baik saja,” jawabnya sembari menatap ke sekeliling. Ia mencari foto yang mungkin menunjukkan jika Cindy sudah bangkit dari keterpurukannya dan telah bersama pria lain. Namun ternyata tak ada foto pria lain selain beberapa foto anak kecil berusia sekitar tiga tahun. Dan juga dua fotonya yang terpajang di sebuah bingkai foto. “Kau mencari apa?” tegur Cindy pada Bram. “Aku mencari sesuatu yang menunjukkan kamu telah melupakanku.” Cindy tersenyum getir, disusul tawa lirih. “Kau kira mudah untuk melupakan seorang suami?” Sepasang mata Bram membulat. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ternyata Cindy bukanlah hanya seorang teman kencan atau hanya seorang kekasih, tapi dia adalah istrinya. Seperti Bram yang terkejut. Deri yang menguping pun demikian. Ia sama sekali tidak tahu jika Bram pernah menikah sebelumnya. Berita ini segera diberitahukan kepada Jonathan lewat pesan singkat. “Kita pernah menikah?” tanya Bram dengan sepasang manik membulat. “Apa aku tak mengingatnya? Tentang pernikahan kita?” tanya Cindy berbalik. “Ingatan yang muncul di kepalaku masih samar-samar. Juga hanya sepenggal-sepenggal. Tidak lengkap. Berapa lama pernikahan kita, Cin ...?” “Kita baru setahun menikah dan kau tiba-tiba menghilang. Aku begitu hancur dan runtuh saat kau menghilang begitu saja. Aku sudah mencarimu ke berbagai tempat. Rumah sakit. Aku juga sempat berpikir mungkin Herman mengalami kecelakaan dan tak bisa pulang. Tapi kamu tak ada di mana pun. Lenyap bagai ditelan bumi dan tiga tahun kemudian ... Saat ini tiba-tiba kau pulang dengan nama baru, Bram,” kata Cindy dengan suara parau dan sepasang mata berkaca-kaca. Air mata mengantri di pelupuk matanya. “Maaf ...,” kata Bram lirih. “Maaf telah membuatmu begini. Tapi semua yang terjadi juga di luar kuasaku. Di dalam memori yang aku ingat, malam itu aku dan seorang pria bernama Jonathan saling mengejar satu sama lain di jalanan malam hari. Lalu mobilku mengalami kecelakaan dan aku hilang ingatan.” Hening. Cindy mengusap air matanya yang mengalir perlahan. “Lalu selama tiga tahun ini kamu tinggal di mana Herman? Maksudku ... Bram.” “Aku ....” Tiba-tiba suara Bram menjadi parau. Lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan jika ia sudah menikah dengan seorang dokter yang menolongnya. Ia tak ingin menyakiti perasaan Cindy lebih dalam. “Hm ... Kau tinggal di mana?” tanya Cindy sekali lagi. “Aku tinggal bersama seorang dokter yang menolongku,” jawab Bram tanpa memberitahukan jika dokter yang menolongnya adalah seorang wanita. Dan juga tanpa membahas pernikahan. “Kamu ditolong oleh dokter itu?” “Iya,” jawab Bram sembari tersenyum getir. “Aku senang kau telah kembali,” kata Cindy sembari tersenyum. “Boleh aku memelukmu?” tanya Bram yang entah dari mana memiliki pemikiran seperti itu. Yang ia rasakan hanya sebuah rasa rindu yang begitu berat dan dalam. Terutama saat melihat sepasang manik mata yang sangat dikenalnya. Walau kepingan memorinya belum semuanya diingat, tapi Bram merasakan hatinya sangat mengenal wanita bernama Cindy ini. Cindy tak langsung menjawab. Ia masih menatap Bram dengan tatapan dalam. Air matanya kembali menetes perlahan. Ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Seulas senyuman terhias di wajahnya. “Kenapa harus meminta izin?” tanyanya lirih. “Aku juga merindukan mu ... Sangat ....” Bram segera beranjak dari duduknya dan berganti posisi. Ia duduk di sisi Cindy dan kemudian memeluknya. Cindy membalas pelukan Bram. Bram menangis saat menghirup aroma tubuh yang telah lama hilang. Cindy pun demikian. Ia merasakan kembali pelukan dari seorang pria yang amat dicintainya. Yang selalu melindunginya. Hingga saat dia menghilang tiga tahun ini pun ia tetap mencintai dan berharap ‘Hermanku’ akan pulang. ‘Robin hood-ku’ akan kembali. Harapannya itu ternyata tidak sia-sia. Doanya setiap malam kini terkabul. Pria yang dicintainya kini pulang dengan selamat. Jauh di dalam lubuk hatiku masih terukir namamu. Jauh di lubuk hatiku engkau masih kekasihku. (Naff ~ Kau masih kekasihku) Lagu dari band lawas Naff terngiang di telinga. Karena lagu tersebut adalah lagu favorit mereka. Dari dua tahun menjalin kasih hingga menikah. Perlahan Bram melepaskan pelukan Cindy saat ia teringat niat awal ke mari. Cindy masih menatap Bram yang kini berada tepat di sisinya. “Walau kau telah berganti nama. Aku tak peduli. Aku tak peduli ... Bagiku kau tetap Herman. Nama hanya sebuah panggilan. Nama tak bisa mengubah isi hati seseorang,” ujarnya lirih. Netra Brama masih berkaca-kaca dan berwarna merah. Bibirnya kembali tersenyum kecut. “Oia, apa kamu tahu di mana aku menyembunyikan uang jutaan dollar yang pernah aku rampok? Dokter yang telah menyelamatkan dan menolongku kini disandera Jonathan. Aku harus menolongnya. Apa kau tahu di mana aku menyembunyikannya? Karena aku harus menolong dokter yang telah menyelamatkanku itu.” Suasana kembali hening. Cindy menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak. Kau telah kembali. Kamu baru datang. Aku tak akan membiarkan kamu kembali di waktu yang salah dan mengalami sesuatu yang berbahaya,” jawabnya lirih. “Aku ingin memiliki keluarga normal, Herman. Aku, kau dan Marian, harus hidup bersama dan memiliki keluarga yang utuh.” Kedua alis Bram saling bertaut. “Siapa Marian?” “Anak kita.” Deg! Jantung Bram seraya berhenti sekejap. “Aku memiliki anak?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD