Rasa yang telah pergi

1227 Words
“Ya, dia adalah custumer setia di sini. Aku tahu di mana dia tinggal ... Karena Cindy adalah tetanggaku.” Deri dan Bram saling menatap satu sama lain. “Kalian ingin menemuinya?” tanya Dila, si pelayan di toko donat tersebut. Bram menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Karena aku harus bertemu dengannya.” “Datanglah, ke alamat ini,” kata Dila sembari menuliskan sebuah alamat di secarik kertas yang biasanya digunakan untuk menuliskan pesanan pelanggaan. Setelah menuliskan alamat lengkap termasuk nomer rumah Cindy, Dila memberikan secarik kertas tersebut pada Deri. Deri menerimanya sembari mengucapkan terima kasih sembari membayar berapa harga donat yang telah mereka pesan. Setelah itu dengan senyuman ramah, ia dan Bram menuju kembali ke mobil mereka yang terparkir di sisi jalanan. “Untung saja aku ikut. Ternyata aku berguna kan?” kata Deri sembari tertawa lirih. Bram hanya tersenyum simpul menimpali dan mereka segera menuju ke alamat yang tertulis di kertas berwarna kuning itu. Ternyata tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk sampai ke rumah Cindy. Sekitar sepuluh menit dari toko tersebut Bram dan Deri sampai di sebuah perumahan asri yang biasa ditempati untuk kalangan kelas menengah. Bram turun dari mobil dan diikuti Deri setelahnya. Bram menatap rumah bertingkat dua yang sederhana namun indah. Di halaman rumahnya terpasang sebuah ayunan seperti di sekolah taman kanak-kanak. Juga sebuah kolam mandi portabel untuk balita berukuran 1500 cm x 80 cm dengan kedalaman hanya 50cm. Jantung di dalam d**a Bram berdenyut. Ia merasa ada anak kecil yang juga tinggal di rumah ini bersama Cindy. Jika anak kecil tersebut berusia balita sekitar tiga tahun atau lebih, ‘Mungkinkah dia anakku?’ tanyanya di dalam hati. Bram segera membuka pagar rumah yang tak terkunci rapi. Seharusnya sang pemilik ada di rumah karena saat ini hari Sabtu. “Hei, Bram ... Santai!” seru Deri lirih. “Jangan gegabah. Jika prediksi kita salah, semuanya akan kacau,” tegurnya yang membuat langkah kaki Bram terhenti dan kemudian menoleh ke belakang. “Prediksi apa yang salah?” tanya Bram tidak mengerti. Apa yang aku ingat bener-benar nyata. Aku pernah bersamanya. Bahkan aku pernah tidur bersamanya!” Deri terkesiap mendengarnya. Bram terlepas lidah bersuara. “Hah? Kau sudah tidur dengannya? Astaga ... Jadi hubungan kalian tidak sebatas kencan?” Hening. Bram tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Deri dengan tatapan lesu. Entah kenapa rasanya malas menceritakan pada Deri lebih rinci dengan apa yang diingatnya tentang Cindy dan juga perasaannya saat melihat foto Cindy di akun media sosial. Juga perasaan gundahnya saat ini ketika akan bertemu langsung dengan Cindy. Bram yakin jika ia dan Cindy memiliki hubungan sangat istimewa. “Jadi kalian sudah ditahap tidur bersama?” tanya Dari dengan raut muka terkesiap. “Bahkan aku merasa mungkin lebih dari sekedar itu. Bagaimana jika aku dan Cindy sudah menikah? Bagaimana jika ternyata hubungan kami sangat serius? Sejak tadi pemikiran ini yang membuat kepalaku sakit. Jika benar apa yang aku pikirkan, maka selama tiga tahun ini aku telah menyakiti seorang wanita. Aku pergi dan lenyap begitu saja. Dan pasti dia mencemaskan aku. Tiga tahun lamanya Der ... Tiga tahun ...,” jawab Bram sembari menatap lesu Deri. “Dan satelah kau bertemu dengan Cindy, maka Anna lah yang tersakiti.” Hening. Bram dan Deri kembali saling menatap satu sama lain. “Tapi jika kau memiliki dua wanita di dalam hidupmu, kau adalah orang yang beruntung,” ujar Deri yang masih sempat berkelakar. “Maaf, aku bukan tipe pria penganut poligami,” jawab Bram sembari menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Jika mereka berdua adalah wanitamu, aku rasa lebih baik kalian lanjutkan saja.” Deri memberi saran dan pasti Bram tidak akan menjalankan saran tersebut. Suara pintu rumah terbuka. Padahal Bram atau pun Deri belum membuka pintu. Deri membalikkan badan ketika mendengar pintu terbuka. Sedangkan Bram memang berdiri di belakangnya. Sehingga punggung Deri menutupi keberadaannya di sana. “Maaf, kalian siapa ya? Kenapa aku dengar suara ribut-ribut di depan rumahku?” Suara seorang wanita bernada lugas terdengar. Bram terdiam. Suara yang didengarnya ini sangat khas dan tiba-tiba terasa familiar. “Maaf mengganggu. Kami sedang mencari wanita bernama Cindy,” jawab Deri sembari tersenyum ramah. “Hm ... Ya, aku sendiri. Memang ada perlu apa ya?” Deri kebingungan untuk menjawab apa. Ia pun segera melangkah ke bagian sisi dan membiarkan Bram yang menjelaskan. Perlahan tapi pasti keberadaan Bram mulai terlihat. Terlihat jelas jika raut muka Cindy berubah terkesiap dan tubuhnya gemetar. “Herman ....” “Cindy ...,” panggil Bram lirih. Air mata mengalir dari sudut mata Cindy. Melihat situasi seperti ini, sesungguhnya Bram tidak tega. Kedatangannya ke mari seakan mengorek luka lama dan membuat seseorang yang telah bangkit dari keterpurukannya kembali sedih dan terluka. Mereka di dalam keheningan sesaat. Dan kemudian alunan keras telapak tangan mendarat di pipi Bram. “Plak!” Cindy menampar Bram sembari menangis. Deri terkejut dengan apa yang dilakuan Cindy. Dan situasi tegang seperti ini membuktikan jika memang terjadi hubungan sangat dalam di antara mereka. Bram tidak membalas. Ia hanya mengusap pipi kirinya yang terasa panas dan terasa kesemutan. Rona merah bekas tamparan keras terlihat jelas di pipi Bram. Dan Bram akui jika tenaga Cindy sangat kuat. Ia terlihat wanita tegar dan berkarakter unik, pantas jika dahulu dirinya mencintai wanita ini. “Ke mana saja kau Herman! Aku mencarimu! Bahkan aku berpikir kau sudah mati.” “Boleh kami masuk?” tanya Deri menyela. “Kita bisa membicarakan semua ini di dalam ....” Tatapan tajam mata Cindy kini beralih ke arah Deri. Ia menghela nafas panjang dan kemudian mempersilahkan Bram dan Deri untuk masuk. Di dalam rumah tampak sunyi. Tidak ada suara anak kecil yang tadi sempat dipikirkan Bram. Bram penasaran dengan ayunan juga mainan anak-anak yang ada di halaman rumah itu untuk siapa? Namun ia memilih untuk menahan semua rasa penasarannya karena merasa semua ini tidak lah tepat. Cindy mengusap air matanya yang mengalir. Sepasang matanya sembab dan kemudian ia duduk di salah satu sofa. Bram dan Deri duduk di sofa yang berukuran lebih panjang. “Maaf aku ....” “Maaf?!” seru Cindy langsung menyela. “Semudah itu kau katakan maaf padaku? Aku mencarimu saat kau hilang. Aku sampai mengira kamu mengalami kecelakaan tragis dan kemudian menghilang. Teganya kau lakukan ini padaku, Herman ....” Suaranya kembali bergetar. Rasa sedih dan terluka kembali menyeruak. “Aku memang mengalami kecelakaan dan aku hilang ingatan. Karena itu aku tidak kembali padamu,” ujar Bram menjelaskan. “Bahkan aku tak tahu jika namaku sebetulnya Herman.” Hening. Cindy segera diam dan netranya yang sudah sembab itu kembali berkaca-kaca lagi. “Kau hilang ingatan?” Bram menganggukkan kepalanya pelan. "Aku mengalami kecelakaan parah dan aku hilang ingatan. Jika aku tidak amnesia, tidak mungkin aku bisa melupakan Maid Marian-ku ...." Netra Cindy kembali dibasahi air mata. "Bohong. Setiap ada berita kecelakaan, aku selalu datang dan memeriksanya. Karena aku takut, salah satu dari mereka adalah kamu. Tapi kenapa bisa aku tidak menemukanmu di rumah sakit? Setiap orang yang mengalami kecelakaan pasti dibawa ke rumah sakit, aku menghubungi setiap rumah sakit yang ada di Kota ini, Kota tetangga, bahkan Kota yang berada di luar pulau!" "Cindy, sumpah aku mengalami kecelakaan dan hilang ingatan. Jika tidak percaya kamu bisa tanyakan Deri, temanku," jawab Bram sembari menoleh dan menatap Deri. Deri tersenyum pahit ke arah Cindy. "Apa yang dikatakan Bram ... Hm ... Maksudku, Herman, memang benar. Dia tidak berdusta. Dia memang mengalami kecelakaan dan hilang ingatan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD