Jantung Bram seraya berhenti berdetak sekejap mendengarnya. “Aku memiliki anak?”
Cindy menganggukkan kepalanya. “Kamu tidak ingat dengan Maria. Mariane, anak kita. Dia masih berusia satu tahun saat kamu tiba-tiba hilang,” jawabnya lirih.
Dadaa Bram terasa nyeri dan sakit. Ia memiliki anak bersama Cindy. Dan pasti pertemuannya dengan Cindy saat ini akan mempengaruhi pernikahannya dengan Anna.
“Kamu tidak boleh pergi lagi. Atau pun berurusan dengan Jonathan. Walau aku tidak terlalu mengenalnya. Aku yakin dia adalah penyebab semua kekacauan yang terjadi.”
Bram menatap Cindy. “Di mana Mariane?” tanyanya sembari mengendarkan pandangan ke seluruh rumah.
Sejak tadi tidak terdengar suara gaduh khas yang biasanya terdergar di rumah yang memiliki anak kecil.
“Mariane bersama Linda, kawan lamaku yang biasanya mengasuhnya jika aku bekerja atau kerepotan,” jawab Cindy lirih.
“Apa kamu akan pergi?”
“Ya, harusnya tadi ... setengah jam yang lalu aku sudah berangkat berkabung ke pemakaman salah satu rekan kerjaku. Tapi kamu datang.”
“Maaf, aku mengganggu,” jawab Bram sembari beranjak dari duduk dan berjalan mendekat ke bufet panjang yang di atasnya terdapat beberapa foto yang terpajang.
Ia mengambil satu buah foto berukuran 3R yang dibingkai oleh figura kayu mahoni dengan ukiran unik di sisi-sisinya.
Netra Bram menatap wajah Mariane yang cantik. Mata dan hidungnya sangat mirip dengannya. Saat menatap foto gadis kecil itu tiba-tiba ingatan saa kelahiran Mariane muncul seketika. Suara tangisan bayi yang menggelegar terdengar hingga keluar ruangan persalinan.
Lalu seorang perawat dan dokter keluar sembari memberikan selamat padanya, dan mengatakan jika anaknya seorang putri. Terlahir sempurna dan sangat cantik seperti ibunya.
Cindy mengusap lengan Bram dari belakang.
Membuat Bram terkesiap dan hampir melompat kaget. "Oia, boleh aku meminta foto ini?"
"Tentu, ambil lah," jawab Cindy sembari tersenyum simpul. “Apa kau ingat sekarang Bram?”
Air mata Bram menggenang di pelupuk matanya. “Berapa usia anak kita?” tanyanya lirih.
“Minggu depan ulang tahunnya yang keempat,” jawab Cindy sembari tersenyum. “Dia selalu bertanya ke mana Ayahnya. Aku mengatakan jika ayahnya sedang berkerja ke luar negeri dan akan pulang saat dia berusia tujuh tahun. Saat itu aku ingin mengatakan jika ayahnya sudah meninggal. Tapi hatiku terasa berat untuk berbicara demikian. Dan benar saja kan ... ternyata kau belum mati, Herman ... Kau kembali ke mari. Bersama kami ...,” lanjutnya sembari memegangi kedua pipi Bram yang ditumbuhi dengan jenggot kasar.
Kerongkongan Bram terasa kering. Ia menelan salivanya dan kemudian membalas tatapan Cindy. Tenggelam ke dalam bola mata yang terasa seperti sumur cinta dan kemungkinan hancurnya penikahannya dengan Anna.
Tapi Anna juga tidak bersalah, batinnya.
Anna adalah wanita yang memiliki jasa besar saat ia mengalami kecelakaan. Anna menolongnya dan memberikannya kehidupan baru. Dan yang terpenting ... Anna mempercayainya.
Walau ia amnesia. Kehilangan jati diri, Anna percaya padanya jika dirinya adalah pria baik. Tapi kini justru karena dia, Anna terseret bahaya yang mungkin akan mengancam nyawanya.
“Apa kamu ke mari ... Karena ingin kembali pada kami?” tanya Cindy dengan suara parau. Tatapan matanya bagai busur panah yang akan melesat ke jantung hatinya. “Bersama pada kami dan juga Mariane?”
Hening.
Bram tidak langsung menjawab.
“Herman ...? Kenapa diam? Kamu ke mari tidak untuk kembali padaku dan Mariane?”
Bram tidak tega untuk tidak bilang iya. Karena ia tahu sakit dan terlukanya Cindy saat dia tiba-tiba menghilang selama tiga tahun. Menjadi ibu tunggal dan merawat Mariane tidak lah mudah.
“Mulai saat ini ... Tolong jangan panggil aku dengan nama Herman. Panggil saja aku Bram. Entah kenapa aku merasa nama Herman seakan mengingatkanku menjadi orang yang sangat jahat.”
Cindy mengatupkan bibirnya dan kemudian mengangguk. “Ya, tentu saja. Aku akan memanggilmu Bram. Apa pun yang kau inginkan. Aku akan melupakan Herman dan aku bahagia atas kembalinya Bram yang tanpa catatan kriminal kejahatan,” jawabnya.
“Aku tidak ingin kau terluka Cindy. Sepertinya banyak orang yang tahu tentang Herman si penjahat. Karena itu lebih baik aku menggunakan identitas baru ini.”
“Kau tahu jika hubungan kita unik dan aneh, karena seorang polisi dan seorang kriminal jatuh cinta? Itu seperti menentang hukum alam,” kata Cindy sembari tersenyum lucu dan mengenang masa lalu.
Bram memegusap kedua pipi Cindy yang terasa lembut. “Aku harus pergi lagi. Ada hal penting yang harus aku selesaikan.”
Cindy membalas tatapan mata Bram. “Kamu akan pergi lagi ke mana?” tanyanya lirih.
“Aku harus pergi mencari di mana aku menyembunyikan uang jutaan dollar hasil rampokan. Jonthan menginginkannya. Apa kamu tahu di mana aku menyimpannya?”
Kembali hening karena Cindy tidak mau langsung menjawab.
“Cindy ... Tolong katakan padaku. Ke mana aku harus mencarinya?”
“Kau akan mengalami hal serupa lagi! Berkutat dalam tindak kriminal.”
“Tidak Cindy. Saat ini aku harus menolong Anna. Orang yang menolongku selama ini. Saat ini dia mengalami kesulitan karena aku. Dia diculik oleh Jonthan. Bisa saja Jonathan melukai Anna.”
“Anna?” Cindy baru sadar jika dokter yang menolong Bram adalah seorang wanita. Dan Bram ingin menolongnya?
“Ya, Anna ... Dokter yang menolongku.”
“Dia kekasihmu?”
Bram tidak menjawab. Ia justru mengalihkan pembicaraan. Sungguh sebetulnya ia tidak ingin melukai siapa pun di sini. Kehadirannya ke mari hanya ingin tahu apakah Cindy mengatuhi di mana ia menyimpan uang hasil rampokan yang diinginkan Jonthan.
Tapi kehadirannya ke mari justru memunculkan masalah lain, walau sesungguhnya Bram senang jati dirinya terungkap. Fakta bahwa ternyata jika dia telah memiliki keturunan. Seorang gadis kecil yang sangat cantik dan menggemaskan.
“Kau ingin menolong dokter Anna itu karena mencintainya?” Pertanyaan Cindy mulai terdengar dibumbui rasa cemburu.
“Anna telah berbuat banyak untukku. Aku berhutang budi padanya. Dan Jonathan menangkapnya. Anna dijadikan tawanan dan aku harus segera mengembalikan uang jutaan dollar yang pernah aku curi secepatnya. Jika tidak Jonathan akan melukai Anna. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika Anna terluka. Karena dia telah berbuat banyak untukku selama ini. Walau dia tahu aku amnesia dan tidak tahu siapa aku. Dia percaya padaku jika aku pria baik.”
Cindy menahan air mata yang sudah terlalu banyak berkumpul di pelupuk matanya. Hatinya sangat sakit dan sedih mendengar pria yang dicintainya dan dinantinya selama tiga tahun ini akan kembali ke rumahnya, tiba-tiba datang dan memuji kebaikan wanita lain.
Bram segera menghentikan kata-katanya saat melihat raut muka sedih Cindy. Ia kembali menangkup dagu Cindy dengan kedua telapak tangannya yang lebar. “Aku mencintaimu Cin ... Aku memang hilang ingatan. Lupa segalanya. Tapi saat aku mulai teringat tentang kamu, walau itu hanya sekilas. Dan mulai mencari tahu dirimu. Melihat fotomu di sosial media, rasa yang telah terlupa itu kembali lagi.”
Sunyi.
Cindy dan Bram saling menatap satu sama lain.
Air mata Cindy mengalir perlahan, jatuh membasahi pipinya.
“Bisa kau beritahu aku di mana pernah menceritakan padamu ... Di mana aku menyimpan uang rampokan jutaan dollar itu?”
Cindy tidak langsung menjawab. Ia menatap manik mata Bram sedikit lama.
Bram membalas tatapan Cindy itu dan seakan menyakinkannya jika dia harus memberitahukannya.
“Adrian. Kau ... harus menemui Adrian.”
“Adrian?” Kedua alis Bram saling bertaut satu sama lain. “Siapa dia? Salah satu temanku?”
“Bukan ....”
“Lalu?”
“Dia ... sepupumu.”