Penerimaan yang Pahit

1157 Words
Langit malam menyelimuti kota dengan keheningan yang mencekam. Di mansion Elsa, ia duduk di sudut kamar, memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Foto itu—gambar Abizar bersama Natasya di restoran—masih tertanam kuat dalam pikirannya. Jemarinya bergetar saat menggeser layar, membaca kembali keterangan singkat di bawah foto. "Dia bersenang-senang sementara kau hancur memikirkannya. Masih mau percaya?" Air mata mengalir tanpa henti. Hatinya serasa dicabik-cabik oleh kenyataan yang tampak jelas di depan mata. Elsa mencoba menyangkal, tetapi logikanya terus berbisik bahwa ini adalah bukti yang nyata. Di sudut lain kamar, Livia berdiri dengan ekspresi prihatin. “Elsa,” suaranya lembut namun tegas. “Aku tahu ini sulit, tapi kau tidak bisa mengambil keputusan hanya berdasarkan foto itu. Abizar pantas diberi kesempatan untuk menjelaskan.” Elsa menggelengkan kepala, menatap sahabatnya dengan mata yang memerah. “Apa yang bisa dijelaskan, Liv? Lihatlah foto itu. Dia bersama Natasya, tersenyum, berbincang, seperti tidak ada yang salah. Aku bodoh karena percaya dia berubah.” “Elsa, kau tahu siapa Natasya. Dia ahli dalam memanipulasi situasi. Kau pernah bilang padaku kalau Abizar berbeda. Apa kau benar-benar mau menyerah hanya karena ini?” Livia mendekat, duduk di sisi Elsa. Hening sesaat. Elsa menatap ponselnya lagi, lalu menarik napas panjang. “Aku akan bertemu Abizar. Aku ingin dia melihat ini. Kalau dia punya alasan, biar dia katakan langsung di hadapanku.” Livia mengangguk pelan. “Itu keputusan yang tepat. Jangan biarkan emosi menguasaimu. Dengar penjelasannya, lalu putuskan.” --- Di mansion Abizar, suasana tak kalah suram. Pria itu berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Telepon dari Hiro beberapa jam lalu terus terngiang di kepalanya. "Natasya terlibat lebih dalam dari yang kita duga." Abizar menggenggam ponselnya erat, membaca pesan Hiro berulang kali. Ia tahu Natasya sedang bermain kotor, tetapi dampaknya pada Elsa membuatnya gelisah. Ia tak tahu apa yang Elsa pikirkan sekarang, apalagi setelah panggilan singkat mereka yang terputus tanpa penjelasan. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu ruang kerja memecah keheningan. Seorang pelayan masuk dengan kepala menunduk. “Tuan Abizar, Nona Elsa datang. Dia sedang menunggu di ruang tamu.” Mata Abizar melebar. Elsa? Malam ini? Tanpa pikir panjang, ia berjalan cepat menuju ruang tamu, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ada sesuatu yang mendesak. Begitu memasuki ruangan, ia menemukan Elsa berdiri di tengah, mengenakan mantel panjang yang membalut tubuh mungilnya. Wajahnya dingin, tanpa senyum. “Elsa,” suara Abizar penuh rasa cemas. “Kau datang malam-malam begini. Ada apa?” Elsa menatapnya tajam, mengeluarkan ponselnya, lalu menyerahkan layar yang menampilkan foto itu. “Lihat ini, Abizar. Kau bilang mencintaiku, tapi ini kenyataannya.” Abizar mengambil ponsel itu, menatap foto tersebut dengan rahang mengeras. Ia tahu ini ulah Natasya. Cara pengambilan gambar, sudut pandang, semuanya diatur untuk menyampaikan kesan yang salah. “Elsa, dengar aku.” Abizar mencoba menjelaskan, suaranya rendah namun tegas. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Foto ini jebakan. Natasya mengatur semuanya.” “Jebakan?” Elsa tertawa kecil, suaranya getir. “Setiap kali aku terluka, selalu ada alasan, Abizar. Tapi nyatanya, aku tetap terluka. Kau tahu berapa banyak luka yang harus kusimpan karena sikap dinginmu selama ini?” Abizar mendekat, tetapi Elsa mundur selangkah. “Elsa, aku tidak tahu foto ini akan muncul. Aku tidak ingin bertemu Natasya. Aku hanya datang karena dia bilang ingin bicara soal keluargaku. Itu saja. Tidak ada yang lebih.” “Dan kau pikir aku harus percaya?” Elsa menatapnya tajam, matanya berkaca-kaca. “Aku sudah terlalu sering percaya pada orang-orang yang akhirnya menghancurkanku.” Abizar menghela napas panjang, rasa bersalah menghantamnya. “Elsa, aku tidak sempurna, tapi aku tidak pernah bermain-main dengan perasaanku padamu. Aku tahu aku terlambat menyadari semuanya, tapi sekarang, aku tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Dan itu adalah kau.” “Kau ingin aku percaya?” Elsa memotong, suaranya mulai bergetar. “Kau pikir aku bisa begitu saja melupakan semua ini?” Abizar menatapnya dalam, mencoba mencari celah di hati Elsa. “Aku tahu ini sulit. Tapi aku bersumpah, aku akan membuktikan padamu bahwa aku serius. Beri aku kesempatan.” Elsa terdiam. Ia ingin mempercayai kata-kata Abizar, tetapi rasa sakit dan ketidakpercayaan terus menghantuinya. Setelah beberapa saat, ia menggelengkan kepala perlahan. “Aku butuh waktu, Abizar. Jangan paksa aku.” --- Setelah Elsa pergi, Abizar kembali ke ruang kerjanya dengan hati yang berat. Ia menghubungi Hiro, suaranya penuh ketegangan. “Hiro, aku butuh semua bukti tentang Natasya. Aku tidak peduli seberapa dalam kau harus menyelidikinya. Aku ingin dia dihentikan.” “Sudah kumulai sejak tadi, Abizar,” jawab Hiro di ujung telepon. “Tapi kau harus tahu, ini tidak akan mudah. Natasya punya koneksi yang kuat, dan dia bermain di wilayah yang licin.” “Aku tidak peduli,” Abizar memotong. “Dia sudah menghancurkan terlalu banyak. Aku tidak akan membiarkannya menang.” Abizar menutup telepon, lalu duduk di kursinya. Ia tahu ini bukan hanya tentang Natasya. Ini tentang membuktikan pada Elsa bahwa ia tidak seperti yang wanita itu pikirkan. Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia abaikan—bagaimana jika ia benar-benar kehilangan Elsa? --- Di sisi lain kota, Natasya duduk di kamarnya dengan senyum puas. Ponselnya berbunyi, dan ia langsung menjawab panggilan dari salah satu orang suruhannya. “Semua berjalan sesuai rencana, Nona,” suara pria itu terdengar di ujung telepon. “Foto-fotonya sudah diterima Elsa, dan reaksi yang kita harapkan terjadi.” “Bagus,” jawab Natasya dengan nada puas. “Pastikan Abizar tetap dalam tekanan. Aku ingin dia melihat bahwa tidak ada cara untuk memenangkan Elsa.” “Dimengerti,” jawab pria itu sebelum telepon diputus. Natasya menatap keluar jendela, senyum liciknya makin melebar. “Ini baru permulaan, Abizar,” gumamnya pelan. “Kita lihat siapa yang tertawa terakhir.” --- Beberapa hari berlalu. Elsa mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja dan menghabiskan waktu bersama Livia, tetapi bayangan Abizar terus menghantuinya. Ia merindukan pria itu, meski hatinya masih diliputi keraguan. Suatu malam, saat ia sedang duduk di ruang baca, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Abizar. Isi pesannya singkat. "Elsa, aku tahu aku sudah mengecewakanmu. Tapi aku tidak akan berhenti membuktikan bahwa aku mencintaimu. Tunggu aku." Elsa membaca pesan itu berulang kali, hatinya berdebar. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi luka itu terlalu dalam. Ia memutuskan untuk tidak membalas pesan tersebut, setidaknya untuk saat ini. Namun, di sudut hatinya, ada harapan kecil bahwa Abizar benar-benar akan membuktikan cintanya. --- Malam itu, Abizar menerima sebuah panggilan dari Hiro. “Aku punya sesuatu yang penting,” kata Hiro. “Natasya tidak hanya mencoba memisahkanmu dari Elsa. Dia juga bekerja sama dengan orang lain untuk menjatuhkanmu. Aku menemukan bukti transaksi mencurigakan.” Abizar mengernyit. “Siapa orang itu?” Hiro terdiam sejenak sebelum menjawab, “Seseorang dari keluarga Darwin Luis.” Rahang Abizar mengeras. Ia tahu ini akan menjadi lebih rumit dari yang ia bayangkan. Tekanan mulai datang dari segala arah, tetapi ia tidak akan menyerah. “Aku akan menangani ini, Hiro,” jawabnya tegas. “Bagaimanapun caranya, aku tidak akan membiarkan mereka menang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD