Episode 7

1067 Words
Aiza menatap secarik kertas bertuliskan kwitansi atas nama dirinya dengan rincian biaya semua rawat inapnya selama dirumah sakit. Memang, Aiza diopname hanya satu hari dan semua itu memakan biaya kurang lebih hampir satu juta rupiah apalagi Arvino menyuruh pihak rumah sakit untuk merawatnya di ruang kelas satu.  Sekarang, Aiza mulai berpikir bagaimana saat ini ia harus mengganti semua hutang Arvino mengunakan uang, Bukan dengan kesepakatan pria itu. Aiza tidak bodoh, ia punya harga diri yang baik sebagai seorang wanita muslimah dan mampu menjaga sekaligus menempatkan dirinya disetiap situasi. Suara pintu terketuk dan membuat Aiza pada akhirnya memilih berdiri dari duduknya dari segala lamunannya untuk segera membukakan pintu saat Reva berdiri didepan kamar kostnya sambil membawa nampan berisikan makanan. "Reva?" "Asalamualaikum. Em boleh aku masuk?" "Wa'alaikumussalam Reva, masuklah." Aiza mempersilahkan Reva untuk memasuki kamar kostnya lalu menaruh nampan diatas meja yang terletak disudut ruangan. "Kebetulan hari ini aku masak didapur dan sekalian saja aku membuatkanmu bubur dan sup ayam." "Terima kasih." Aiza tersenyum tipis dengan raut wajahnya yang masih pucat. "Sebenarnya kamu tidak perlu repot-repot dengan semua ini." Reva menggeleng. "Tidak masalah Aiza. Ini adalah hal yang biasa. Bukankah sesama teman harus saling tolong menolong? Apalagi kita bertetangga. Lebih baik kamu cepat memakan makananmu dan meminum obatnya kemudian segera beristirahat." Dengan perhatian, Reva menarik pergelangan tangan Aiza kemudian mengajaknya duduk secara lesehan diatas karpet berbulu tebal lalu Reva pun segera menyajikan nampan yang berisi makanan tadi di hadapan Aiza. "Ini." Reva mulai menyendokan kuah sup beserta potongan sayur dan ayam kedalam mangkuk bubur. "Kamu harus menghabiskannya supaya kenyang dan maagmu tidak kambuh lagi." Aiza hanya terdiam melihat Reva yang menyajikan makanan tersebut didepannya. Sebenarnya, Aiza sedang tidak mood untuk makan karena efek air liurnya yang masih pahit. Namun, sejak kemarin Reva sudah banyak membantunya sehingga membuat Aiza pada akhirnya hanya diam menurut dan mulai menyendokan sesuap bubur kedalam mulutnya. Reva memperhatikan Aiza yang mulai memakan bubur dan sup ayam buatannya dalam diam. Aiza memang sangat pendiam dan tidak banyak berbicara meskipun sejak tadi hati dan pikiran Reva terus saja bertanya-tanya tentang kejadian kemarin. Anggaplah saat ini ia sedang dalam tingkatan kepo atau ingin tahu. "Em Za, boleh aku bertanya sesuatu padamu?" Aiza yang sejak tadi mengunyah buburnya dalam diam, akhirnya menatap Reva dengan raut wajah temannya itu yang dipenuhi tanda tanya. "Bertanya apa?" Reva menggaruk tengkuknya. "Em, soal Pak Arvino." Niat Aiza yang ingin menyuapkan bubur kedalam mulutnya terhenti begitu saja. Tiba-tiba jantungnya berdegup tidak karuan dan gelisah hanya karena mendengar nama Arvino. Sebisa mungkin, Aiza tetap mempertahankan gesture tubuhnya agar tidak ketahuan oleh wanita berlesung pipi didepannya ini. "Kamu sedang tidak ada apa-apa dengan Pak Arvino kan?" "Ma-maksudmu?" Aiza menatap Reva dengan was-was. "Em begini." Reva menatap Aiza dengan serius. "Sebenarnya sejak kemarin aku berusaha untuk tidak menanyakan hal ini padamu Za tapi aku rasa kamu harus tau mengenai hal ini." Mendadak nafsu makan Aiza hilang begitu saja dan untungnya sisa dua suapan lagi yang harus ia telan sekarang juga sebelum mendengar semua hal-hal baru mengenai Arvino. Disisilain, Reva menatap Aiza yang terlihat gelisah dan ia membiarkan wanita manis itu menyelesaikan makannya dan meminum segelas airnya hingga tandas. "Pak Arvino adalah dosen yang tegas dan angkuh. Tapi ya, kamu tahu sendiri dibalik wajahnya yang tampan itu beliau suka bergonta-ganti pasangan dan menghabiskan satu malam dengan wanita pilihannya bahkan dia tidak pernah berniat kearah jenjang yang lebih serius dengan mahasiswinya sendiri dikampus." "Kamu tahu dari mana?" "Itu semua fakta dan sudah beredar luas di kalangan mahasiswi Aiza. Bahkan salah satu dari mereka pernah memiliki saudara yang pernah dijodohkan dengan Pak Arvino. Menurut yang aku dengar, orang tua Pak Arvino itu suka menjodohkan anaknya. Jika kamu memang sedang dekat dengan Pak Arvino, aku sarankan jangan sampai seisi kampus mengetahuinya terutama para mahasiswi lainnya." "Memangnya ada apa?" tanya Aiza hati-hati. "Karena mereka tidak ingin tersaingi jika ada seorang wanita yang ketahuan mendekati Pak Arvino Za. Aku hanya berusaha memberitahumu agar kamu baik-baik saja dan mungkin, mereka bisa saja mencelakaimu jika kamu benar-benar menjadi saingan baru buat mereka untuk mendapatkan perhatian dari Pak Arvino." "Pak Arvino memang tidak terlihat menjalin kasih dengan mahasiswi secara terang-terangan tapi percayalah, sebagian dari mereka yang pernah aku dengar, mereka rela menyerahkan harga diri mereka dengan Pak Arvino walaupun pria itu tidak pernah memintanya. Ini sungguh gila dan aku harap kamu bisa mulai berhati-hati dari sekarang." Kegelisahan mulai menyerang dihati Aiza dan sebisa mungkin, ia mencoba untuk bersikap tenang. Atau mungkin, ia akan memilih untuk mencintai Arvino dalam diam agar semuanya baik-baik saja.  ***** Hari belum terlalu larut malam. Efek setelah meminum obat membuat Aiza mengusap kedua matanya dan menguap sambil menutup mulutnya ketika layar laptopnya masih menyala.  Tugasnya sisa setengah lagi dalam pengerjaan dan ia harus segera menyelesaikan untuk di kumpul besok pagi. Jika tidak meminum obat, mungkin Aiza akan memilih alternatif lain dengan cara menyeduh secangkir Coffe untuk menghilangkan rasa kantuknya. Deringan ponsel membuat Aiza menghentikan niatnya yang ingin kembali mengetik tugas di laptopnya dan ia mengerutkan dahinya ketika menatap layar ponselnya dengan panggilan masuk nomor tidak dikenal. Dengan ragu, Aiza menerima panggilan tersebut. "Halo Assalamu'alaikum?" "Wa'alaikumusallam. Hai." Aiza semakin bingung dan bertanya-tanya dalam hatinya namun merasa familiar dengan suara tersebut yang ternyata adalah seorang pria. "Ma-maaf i-ini siapa?" Tanya Aiza tergagap. "Ini saya. Arvino." Seketika Aiza dilanda rasa gugup dan melempar ponselnya diatas tempat tidur begitu saja bahkan saat ini, ia segera meraih sebuah bantal boneka yang terletak disamping laptopnya dan memeluknya erat sambil membenamkan wajahnya disana oleh yang bersemu merah. Setelah beberapa menit, Aiza menghela napasnya "Aku... " Aiza kembali mengangkat wajahnya dari bantal boneka. "Kenapa dia membuat hatiku seperti ini? Aku, aku malu." Arvino masih terdiam diseberang sana sambil menggenggam ponsel ditelinganya. Suara Aiza tidak terdengar lebih jelas tapi samar-samar ia mendengar semuanya. Tak mau menunggu lama Arvino memilih mematikan ponselnya seraya menyunggingkan senyumnya. "Hm selain dia pendiam, rupanya dia gadis yang pemalu. Gadis si pipi kemerahan." **** Imam Ibnu Hajar mengatakan, "Allah menyebut wanita pada urutan yang pertama sebelum menyebut yang lainnya. Ini memberikan sinyal bahwa fitnah wanita adalah induk dari segala fitnah." Ungkapan Imam Ibnu Hajar ini selaras dengan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Usamah Bin Zaid. Beliau bersabda, مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ "Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita." (HR. Bukhari: 5096 dan Muslim: 2740) **** Hati-hati loh, apakah ini pertanda Arvino menyukai Aiza?  With Love LiaRezaVahlefi  Blog : www.liarezavahlefi.com Instagram: lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD