BAB17

1163 Words
KELUARGA SOK KAYA KENA MENTAL (17) “Mobil untuk siapa ini, Rangga? Buat Veni, ya?” tanya Kokom saat Rangga keluar dari mobil baru yang ia beli. “Kepo banget sih jadi orang!” Kumala menutup pintu mobil dan berjalan menghampiri Kokom. “Ya pasti untuk sayalah Bu. Ini hadiah pernikahan saya dari mas Rangga,” sahut Kumala membuat wajah Kokom yang semula cerah, kini berubah pias. “Dasar suami zalim! Semuanya untuk Kumala. Apa-apa Kumala. Kapan untuk Veni?” “Eh Bu Kokom, tidak usah bentak-bentak anak saya. Apa yang kurang? Selama ini Rangga sudah melakukan apa pun untuk putrimu. Apa pantas, Bu Kokom bicara seperti itu?” Widya yang kebetulan berada di ruang tamu, mendengar jelas ucapan Kokom yang menggelitik di telinganya. Ia pun keluar dan bertanya pada besannya itu. “Memangnya, apa yang sudah Rangga berikan pada Veni? Belum ada yang kelihatan,” sahut Kokom ketus. “Memang benar, kebaikan sebanyak apa pun, tidak akan terlihat dimata manusia jahat seperti Anda.” “Sudah Bu. Tidak usah meladeni Bu Kokom. Kami tidak jadi jalan liburan Bu. Akan ada tamu istimewa yang akan datang ke rumah kita malam ini.” “Siapa, Kumala?” tanya Widya beralih menatap anak gadisnya. “Nanti Ibu juga tahu sendiri. Kumala sama mas Rangga mau ke kamar dulu ya, Bu?” “Siapa saja tamunya, jangan menyuruh saya meladeni. Saya bukan babu kalian,” ucap Kokom sembari tangannya bersedekap. “Tamu istimewa akan saya beri hidangan istimewa juga, yang pasti bukan tangan Bu Kokom yang membuatnya,” sahut Widya, berlalu masuk ke dalam rumah. “Pokonya mobil ini harus menjadi milik Veni. Enak saja si pelakor itu yang diberi. Kalau begini terus, derajatku bisa kalah dari keluarga Rukmini yang sok kaya itu,” sungut Kokom. Malam harinya tamu istimewa pun datang. Agung bersama kedua orang tuanya, datang untuk melamar Kumala. Kumala kaget, karena awalnya Agung berbicara akan datang sendiri, meminta izin terlebih dahulu pada keluarga Kumala. Namun kenyataannya malam ini, Agung membawa kedua orang tuanya, beserta seserahan untuk Kumala. “Kamu jangan nekat Gung! Beraninya kamu datang membawa orang tuamu. Aku sudah mengatakan hanya menganggapmu teman saja. Kamu malah datang untuk melamarku.” “Jangan salah paham Ven. Aku datang memang untuk melamar. Tapi bukan melamar kamu,” sahut Agung. “Lantas siapa yang mau kamu lamar?” “Jangan main-main kamu Agung! Kumala ini istri muda suami saya,” ucap Veni setelah Agung menyampaikan maksud kedatangannya. “Saya tidak main-main Ven. Saya akan melamar adik ipar kamu untuk menjadi istri saya. Istri? Kumala itu adiknya Rangga Ven,” ucap Agung membuat Veni menegang beberapa saat. “Adik ipar? Maksudnya apa ini?” Veni tampak bingung dan ia tidak tahu sama sekali dengan yang Agung katakan. “Maaf ya, Mbak. Maafkan sandiwara kami beberapa hari ini. Aku memanglah adik ipar Mbak Veni. Kami hanya ingin, Mbak Veni berubah. Mas Rangga hanya ingin tahu, apakah Mbak Veni benar-benar mencintainya? Cemburu Mbak Veni selama ini, sudah cukup kuat bukti cinta Mbak Veni pada masku tidak main-main.” “Kenapa kalian lakukan ini sama aku? Tega sekali kalian mempermainkan aku. Memangnya apa yang membuatmu meragukan aku, Mas? Aku benar-benar mencintaimu. Aku hanya tidak suka dengan sikap Ibu yang tidak menganggapku.” Veni hanya sendiri. Kokom. Sengaja tidak keluar kamar, karena malas jika disuruh meladeni para tamu. Dia sudah masuk kamar sejak mendengar suara mobil terparkir di depan rumah. “Kita bicarakan nanti saja masalah ini. Ini sedang ada tamu, yang mau melamar anak gadisku,” sergah Widya membuat Veni bungkam. Setengah jam berlalu. Kumala resmi dilamar oleh Agung. Mereka sudah menentukan tanggal pernikahan juga. Agung dan orang tuanya sudah pulang, setelah acara selesai. ***** “Sayang, maafkan Mas. Mas pikir kamu ada main di belakang Mas sama Agung. Ternyata Mas salah. Agung datang untuk menanyakan Kumala, bukan untuk menemui kamu. Maafkan Mas. Di ulang tahun pernikahan kita, mobil di depan, Mas persembahankah untuk kamu. Ini satu set perhiasan, juga untuk kamu.” “Kamu pikir ini lucu, Mas? Berapa hari ini aku hampir kehilangan kewarasanku. Ternyata kamu dan Kumala adalah saudara kandung. Kenapa kamu setega ini, Mas? Kamu jahat membuatku menahan cemburu setiap saat.” “Kumala minta maaf ya, Mbak. Kumala tahu Mbak Veni baik. Selama kuliah, Kumala tidak pernah pulang, sampai Mbak Veni tidak mengenaliku.” “Mbak justru bahagia setelah tahu kenyataan ini. Berapa hari ini, Mbak merasa cinta Mas Rangga pudar. Ternyata kalian hanya bersandiwara. Aku juga bodoh. Bagaimana bisa aku tidak mengenali adik iparku sendiri?” Veni menyadari kebodohannya. Dia sangat bahagia mendapat hadiah indah dari suami dan adik iparnya. “Cantik sekali perhiasan ini dipakai sama Mbak. Anggap saja ini hadiah pernikahan dariku untuk Mbak.” “Terima kasih Dek. Jadi ini dari kamu? Mbak pikir dari mas Rangga.” “Tadinya memang Mas Rangga yang mau membelinya Mbak. Tapi aku pikir, aku belum memberikan apa-apa untuk Mbak iparku ini.” “Terima kasih sayang.” “Maafkan Ibu juga ya, Ven? Ibu sudah berlaku tidak baik selama ini. Mulai sekarang, Ibu akan menyayangi kamu dan Nazira.” “Veni juga minta maaf Bu. Banyak salah yang Veni lakukan selama ini.” Veni memeluk Widya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Mereka pun saling memaafkan dan saling meminta maaf. Suasana haru terasa sangat kental malam itu. Kokom yang betah di dalam kamar, tidak mengetahui apa-apa. ***** “Itu acara apa lagi di depan kok ramai sekali?” tanya Kokom pada salah satu tetangga yang kebetulan melintas di depan rumah Rangga. “Itu acara peresmian pembukaan butik mbak Tari. Salah satu orang terkaya di kompleks kita Bu Kokom.” “Apa? Dia lagi. Dia lagi. Sok kaya banget sih buka butik segala. Apa masih kurang restoran sama toko? Mau dibilang paling kaya? Mau saingan sama Veni? Dasar OKB sombong!” “Jangan julid Bu. Sama ponakan sendiri kok begitu?” ucap Surti membuat Kokom semakin marah. “Percuma kaya, kalau sombong Bu Surti. Saya belum ada merasakan keberhasilan mereka sama sekali. Uang sepeserpun tidak ada saya terima. Setelah Jaya lupa sama saudara. Sejak kaya, mereka jadi sombong dan angkuh.” “Mereka baik kok Bu. Mungkin Bu Kokom saja yang merasa mereka sombong. Apa mungkin dulu pas mereka susah, Bu Kokom tidak mau tahu? Makanya setelah mereka sukses, Bu Kokom pun tidak merasakan kebaikan dari mereka.” “Bu Surti jangan sok tahu. Mereka memang angkuh dan sombong. Mumpung dapat suami kata raya, makanya dikeruk hartanya buka usaha sana sini. Palingan sebentar lagi juga pisah itu.” “Astagfirullahalazim, istigfar Bu Kokom. Penyakit hati itu banyak mudaratnya. Bisa lari ke diabetes, strok, dan sebagainya. Bu Kokom, saya permisi. Saya mau ikut andil dalam kesuksesan mbak Tari yang baik hati. Apa Ibu mau ikut? Makan gratis Bu,” ajak Surti yang langsung disambut galengan kepala oleh Kokom. Surti pun menyeberang jalan. Butik itu tepat berada di seberang rumah Rangga. “Paling enggak lama juga pisah. Firman bakalan sadar, kalau hanya dimanfaatkan sama istri dan mertuanya. Dasar keluarga miskin enggak tahu malu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD