BAB16

1332 Words
KELUARGA SOK KAYA KENA MENTAL (16) “Ada apa sih, Bu? Nazira baru merem langsung melek lagi dengar teriakan Ibu. Ibu bisa tidak bicara pelan-pelan?” marah Veni. “Ibumu itu aneh Mbak. Emosi terus kerjanya. Aku cuman bilang sama mas Rangga mau kerja karena enggak mau bergantung sepenuhnya sama mas Rangga, malah ibumu tersindir Mbak. Memang kalau orang menumpang itu suka tersinggung ya? Aneh banget. Padahal aku tidak ada maksud apa-apa loh,” sahut Kumala. “Ibu cuman lagi kesal Ven. Suami kamu ini, mau liburan sama si pelakor. Kamu enggak diajak loh.” “Mas Rangga enggak ada ngomong apa-apa kok Bu. Mau liburan ke mana memangnya kalian?” Veni beralih pada suaminya. “Ke puncak Bandung katanya. Kalau Ibu jadi kamu sih, Ibu bakalan marah enggak diajak. Kamu dan Kumala kan sama-sama istrinya. Masa, yang diajak liburan cuman Kumala saja?” “Ya biarkan saja Bu. Veni tidak mau ikut. Yang ada nanti hanya jadi obat nyamuk di sana.” “Begitu toh kelakuan Bu Kokom? Suka sekali bikin orang panas. Baguslah kalau Veni tidak mau ikut, karena Rangga hanya ingin pergi bersama dengan Kumala.” “Nyambung saja Bu Widya ini. Tidak ada obrolan sendiri apa, Bu? Ikut saja obrolan orang. Enggak malu apa suka nyambung-nyambung?” “Iya suka-suka saya. Ini rumah saya kok. Menumpang saja sok mau mengatur. Tahu diri itu nyatanya memang perlu. Kenapa mesti malu sama orang yang tidak punya malu seperti Bu Kokom?” Widya berlalu ke ruang tamu, di mana Vera temannya telah menunggu. Ia hampir saja lupa dengan kedatangan Vera, karena meladeni manusia gaib yang tidak lain adalah besannya itu. “Kalian kalau mau jalan ya jalan saja. Diajak pun, aku tidak sudi. Lebih baik aku di rumah bersama Nazira, dibandingkan harus berada di antara kalian, yang sama sekali tidak menganggapku ada. Kalian tidak pedulikan perasaanku, dengan enaknya bermesraan tanpa rasa bersalah. Ini sama sekali tidak lucu. Kenapa kamu tertawa Kumala?” sentak Veni membuat Kumala menghentikan tawanya. “Oh, tidak ada Mbak. Kumala hanya lucu saja melihat wajah Mbak yang memerah, saat menahan cemburu. Mbak salah cemburu sama kami.” “Tidak ada yang salah. Aku tidak cemburu. Jangan sok tahu kamu!” “Mulut bisa berbohong, tapi sorot mata Mbak Veni, tidak bisa membohongiku.” “Jadi pelakor kok bangga pamer kemesraan di depan istri sah. Kamu jangan seperti ini dong Ven. Kamu itu berhak ikut. Kamu istrinya. Keenakan suami sama pelakor ini, kalau kamu tidak ikut.” Kokom masih saja berusaha untuk membuat Veni mengikuti ucapannya. Ia tidak menyerah begitu saja. “Bu Kokom ini apa-apaan sih? Suka sekali ikut campur. Mbak Veni saja malas ikut, kok Ibu malah memaksa. Sengaja ya, agar saya dan mas Rangga tidak bisa menikmati waktu bersama? Picik sekali pikiran Anda. Saya ingatkan ya, saya bukan pelakor. Berhenti mengatai saya pelakor!” “Sudahlah, Dek. Percuma bicara sama mereka. Aku cuman mau jalan sama kamu. Ayo kita keluar sebentar! Kita makan bakso. Mas kangen makan bakso mas Aji di depan gang.” “Dasar suami pilih kasih. Kumala saja? Veni tidak kamu anggap ada? Zalim kamu Rangga!” Rangga tidak menghiraukan ucapan Ibu mertuanya. Sementara Veni tampak rapuh melihat kedekatan Rangga dengan Kumala. Rangga dan Kumala akan bertemu seseorang. Rangga dan Kumala akan memberikan hadiah untuk Veni tepat di ulang tahun pernikahan yang ke empat tahun nanti. Ia berniat memberikan mobil pada sang istri. Tidak hanya mobil, bahkan ia akan membeli sepaket perhiasan untuk sang istri. “Bagaimana, Mas? Mas puas melihat Mbak Veni cemburu? Itu tandanya kalau dia benar-benar sayang sama Mas. Aku tahu, dia sudah tidak ada rasa sama mas Agung. Kedatangan mas Agung waktu itu, hanya sebatas silaturahmi saja. Namun, karena kedatangan Mas Rangga yang mendadak, membuat mereka panik, sehingga menyuruh mas Agung menyelinap pulang. Sebenarnya mas Agung datang, hendak menanyakan tentangku. Mas Agung sebelum jalan, dia lebih dulu wa aku, Mas. Bahkan di saat dia dipaksa pulang sama bu Kokom lewat pintu belakang, dia terpaksa menurut, karena Bu Kokom tidak mau mendengarkan penjelasan yang dulu. Bu Kokom memang ajaib. Bertindak sesuka hatinya sendiri.” “Loh, bagaimana toh ini? Mas enggak habis pikir. Kamu sama Agung?” “Iya. Mas Agung sebentar lagi akan menjadi adik ipar Mas Rangga. Maaf Mas, aku baru memberitahu sekarang. Aku tidak enak dengan mas Rangga. Apalagi mas Agung itu mantan kekasih mbak Veni. Mas Rangga tidak marahkan, aku berhubungan dengan mas Agung?” “Ya Allah, dunia sempit sekali. Kamu kok bisa pacaran sama Agung? Bagaimana ceritanya? Kuliah jauh. Kapan ketemunya, Dek? Eh Mas masih enggak habis pikir loh ini. Otak Mas rasanya langsung hang. Ceritakan saja asal mulanya bagaimana?” Rangga menyetir masih dengan menginterogasi sang adik yang pipinya sudah bersemu merah muda. “Kami ketemu baru satu kali malam itu Mas. Kebetulan pas malam aku makan di Cafe Fiona, Mas Agung juga makan di sana. Singkat cerita, kami saling kenalan, dan bertukar nomor wa. Pada saat menonton konser di Semarang, mas Agung menyatakan perasaannya Mas. Kita tidak pacaran, tapi mas Agung berjanji akan melamarku secepatnya, di rumah mas Rangga.” “Astagfirullahalazim.” “Kenapa, Mas? Kok malah nyebut begitu? Salah, ya? Atau Mas tidak setuju?” tanya Kumala dengan wajah yang sudah pias. “Bukan Dek. Mas lupa bawa uang.” “Ya Allah. Bagaimana mau beli mobil buat Mbak Veni, kalau enggak bawa uang? Putar balik Mas!” “Kenapa? Enggak jadi makan bakso? Tutup? Rasakno! Makanya jangan jadi suami zalim.” “Berisik sekali mulut Bu Kokom ini. Kurang-kurangi julidnya, Bu! Takutnya kena azab sebelum tobat,” timpal Kumala. “Halah. Sok tahu kamu. Kamu menyumpahi saya? Yang ada kamu yang kena karma pelakor j*****m!” “Ayo, Dek.” Rangga dan Kumala pun jalan lagi ke deler dan toko emas, untuk membeli kado yang akan diberikan pada Veni, tanpa menghiraukan mulut berisik Kokom. Rangga sengaja mengurangi interaksi dengan ibu mertua akhir-akhir ini. Bukan maksud durhaka atau tidak sopan, tapi dirinya hanya ingin ibu mertuanya sadar dan berubah. “Oh iya, soal kamu mau bekerja, apakah benar, Dek? Mau bekerja di mana? Sesuai sama jurusan kuliah atau tidak?” Kini Rangga memberondong adiknya dengan begitu banyak pertanyaan seputar pekerjaan. “Benar, Mas. Tidak. Aku mau bekerja di butik mbak Tari. Kenapa? Mas Rangga tidak setuju aku bekerja padanya?” “Mbak Tari buka butik? Benar-benar Allah mengangkat derajatnya. Semoga bu Kokom tidak menghina keluarga mbak Tari lagi.” “Amiin Mas.” Mobil Rangga menepi di sebuah deler mobil terdekat. Ia ingin membeli mobil impian Veni selama ini. Veni memang tidak suka berfoya-foya seperti ibunya, itu yang membuat Rangga terharu hingga ingin membeli mobil dan perhiasan secara diam-diam untuk istri tercintanya. ***** “Widya, aku haus. Bisa minta jus jeruk?” tanya Vera lirih. “Eh, maaf Ver. Karena keasyikan mengobrol, sampai lupa menyuguhkan minuman sama camilan buat kamu. Sebentar, ya aku panggilkan besanku.” “Bu Kokom! Bu Kokom!” “Apalagi?” sahut Kokom ketus. “Bisa minta tolong buatkan jus jeruk, Bu? Kasihan teman saya ini kehausan.” “Buatkan saja sendiri. Saya masih repot bu Widya,” sahut bu Kokok yang tengah asyik memakan kue. Widya bangkit meninggalkan Vera dan menghampiri Kokom di ruang tengah. “Makan saja kerjanya. Apa susahnya sih membuatkan minum? Begini sudah kalau menumpang tidak tahu diri,” gerutu Widya yang langsung beranjak ke dapur membuatkan minuman untuk Vera. “Bodoh amat. Enak sekali memerintah besan kayak pembantu. Dasar besan enggak ada akhlak! Lagian sayang kue seenak ini kalau cuman dianggurkan saja. Mubazir.” “Eh, mau dibawa ke mana kuenya?” “Mau untuk tamu saya. Kan Bu Kokom sudah menghabiskan selonjor sendiri. Jangan serakah, enggak baik, Bu.” Widya melengos pergi membawa satu lonjor kue lapis Surabaya yang digandrungi banyak orang itu. Sementara Kokom melotot tidak ikhlas kue kesukaannya dibawa pergi. Ia ingin menghabiskan semuanya. “Dasar besan tidak sopan! Mentang-mentang dia yang punya rumah, seenaknya saja. Nanti kalau strok tiba-tiba baru tahu rasa.” Kokom merasa kesal dengan perlakuan Widya. Widya sengaja membuat besannya itu tidak betah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD