“Kamu mau ke mana, Ven? Mau pergi rame-rame sama mereka? Kok enggak ajak Ibu?” tanya Kokom saat Veni dan yang lain sudah rapi hendak menghadiri acara Tari.
“Kami mau ke acara Tari. Memangnya, Ibu mau ikut?” tanya Veni membuat Kokom melongo seketika.
“Masuk Ven! Enggak perlu kamu datang ke acara orang kaya baru, yang sombong itu.”
“Bu Kokom, jangan racuni pikiran Veni. Kalau Bu Kokom tidak mau ikut, ya sudah. Tidak perlu melarang Veni seperti itu,” sela Widya.
“Maaf ya Bu. Veni tetap mau datang. Soalnya Tari yang mengundang langsung kemarin.”
“Ibu sih enggak sudi ke acara orang sok kaya itu. Kalau kamu mau ke sana, ya sudah. Ibu di rumah saja. Lagian cuman acara makan-makan saja kok, heboh banget.”
“Iya sudah Bu. Tari ke sana dulu.”
Tari dan yang lain pun berjalan ke seberang, di mana Butik Tari ramai sekali oleh tamu undangan yang datang.
*****
“Silahkan! Silahkan masuk! Ayo makan dulu!” ucap Tari saat melihat kedatangan Veni dan yang lainnya.
“Tari, terima kasih. Maafkan aku dan ibu yang selama ini sudah jahat sama kamu dan bulek. Aku sadar perbuatan kami selama ini sudah di luar batas.” Veni menghampiri Tari dan meminta maaf, sementara yang lain sudah antre di meja prasmanan.
“Kami sudah memaafkan kamu Ven. Bulek tahu kalau sebenarnya kamu anak yang baik. Ibumu saja yang salah mendidik kamu,” sahut Rukmini sembari mendekat dan mengambil alih Nazira yang berada dalam gendongan Veni.
“Sudah, makanlah dulu. Biar Bulek yang menjaga anakmu.”
“Terima kasih Bulek. Terima kasih Tari.”
“Sama-sama Ven.”
Veni mengambil makanan yang ia suka, lalu duduk di antara suami dan ibu mertuanya. Sementara, Nazira tertidur pulas di gendongan Rukmini.
“Sampai kapan ibumu akan bermusuhan dan membenci Tari serta keluarganya, Ven? Kita bertetangga tapi ibumu selalu menolak setiap diundang ke acara Tari. Bahkan bukan sekedar tetangga, tapi saudara."
“Veni juga bingung Bu. Enggak tahu lagi mesti ngomong apa ke ibu. Semoga ibu lekas sadar juga dan meminta maaf sama bulek dan Tari.”
“Amiin.”
Mereka melanjutkan makan dan Veni merasa jauh lebih bahagia sekarang.
“Terima kasih sudah berkenan datang. Kumala, apakah sudah siap bekerja, sayang?” tanya Tari dengan wajah fokus melihat Kumala yang tengah duduk di samping Veni.
“Siap, Mbak Tari. Kumala siap kapan saja.”
“Mulai besok, kamu sudah bisa bekerja. Mbak harap, kita bisa bekerja sama dengan baik.”
“Siap Mbak. Amiin, semoga Kumala tidak mengecewakan Mbak.”
*****
Sore hari, Kokom berniat ke warung membeli gula, sekaligus mau bergosip dengan ibu-ibu yang biasa nongkrong di warung Bu Dedeh.
Sepanjang jalan terasa sepi, karena para penghuninya pada sibuk dengan urusan masing-masing. Perumahan dihuni oleh para pegawai yang tentunya jarang sekali berada di rumah. Waktu mereka habis di tempat kerja. Ada yang memiliki perusahaan, ada yang membuka toko. Ada yang bekerja sebagai guru, dan sebagainya.
“Permisi, Bu! Mau menumpang bertanya, boleh?” ucap seorang pria berbadan besar, saat mobilnya menepi tepat di tempat Kokom berdiri.
“Iya, ada apa, Pak?” tanya Kokom ramah. Hal biasa yang selalu Kokom lakukan dalam memperlakukan orang, lewat penampilan.
“Saya mau ke rumah Pak RT. Ada perlu, Bu. Bisa Ibu ikut, antarkan kami?”
“Oh, tentu saja,” sahut Kokom senang.
“Mari Bu, silahkan masuk?” salah seorang di antara mereka membukakan pintu. Kokom pun langsung masuk tanpa curiga sama sekali.
Mobil pun melaju kembali, namun tidak ke arah rumah pak RT. Kokom bertanya panik, melihat senyum yang telah hilang dari wajah mereka.
“Siapa kalian sebenarnya? Mau ke mana ini? Ini bukan jalan ke rumah Pak RT. Turunkan aku sekarang!” Kokom menangis sejadinya saat mendapat bentakan kasar dari pria berbadan besar itu.
“Ayo, masuklah! Bos kami mau bertemu dengan Anda!” titah pria berbadan besar sembari menarik kasar lengan Kokom. Kokom merintis kesakitan. Dia di bawa masuk ke dalam sebuah bangunan mewah.
“Wah, bisa menangis juga kamu, Kom? Hanya berhadapan dengan anak buahku, nyalimu sudah menciut?”
“Heru!”
“Iya, kenapa? Tidak usah kaget begitu. Aku hanya ingin memberikan sedikit balasan atas perbuatan kamu di masa lalu. Gara-gara fitnahmu, aku gagal menikah.”
“Aku hanya tidak mau kamu menjadi milik orang lain. Kenapa kamu tidak paham juga, Herman?”
“Egois! Aku tidak pernah mencintaimu perempuan jalanan!” bentak Heru membuat Kokom menunduk ketakutan.
“Jangan karena orang tuamu kaya, lantas kamu bisa memiliki apa pun yang kamu mau, termasuk memaksaku untuk mencintaimu.”
“Semua sudah berlalu Heru. Tidak sepantasnya kamu mempermasalahkannya lagi. Kita sudah tua sekarang.”
“Tetap saja, sakit hatiku harus kamu terus, Kom.”
“Apa yang mesti aku lakukan, Heru?”
“Menyingkirkan dari dunia ini.”
Kokom membelalak kaget. Tangannya bergetar hebat. Ada rasa takut yang tiba-tiba mendera.
“Maksudmu, mati?”
“Menurutmu? Jordan, Radit! Bawa perempuan tua ini ke bawah. Eksekusi sekarang juga!”
“Ampuni aku Heru. Ampunilah aku! Aku tidak mau mati!” Kokom menangis sejadinya. Ia bersujud di kaki laki-laki yang dulu pernah dicintainya.
Heru tampak tidak peduli. Kedua anak buah Heru, menyeret Kokom dengan kasar menuju ruangan di bawah tanah.
*****
“Ibu ke mana, Mas? Beli gula kok lama sekali,” ucap Veni pada Rangga yang tengah bermain dengan Nazira di ruang keluarga.
“Mungkin mengobrol dulu sama bu Dedeh, Dek. Kayak enggak tahu ibu saja. Kalau sudah ketemu bu Dedeh, seharian juga betah ngerumpinya.”
“Tapi perasaan aku enggak enak, Mas. Cemas, dan khawatir.”
“Iya sudah, Mas coba cari ibu ke rumah bu Dedeh, ya? Sini temani Nazira dulu!”
Veni pun duduk mengambil alih Nazira. Perasaannya kian tidak nyaman, memikirkan ibunya. Padahal bisanya tidak pernah seperti ini.
*****
“Kok sendirian, Mas? Mana ibu?” tanya Veni begitu suaminya sampai di rumah, namun sosok yang ia cari tidak ada.
“Kata bu Dedeh, ibu tidak ada ke warungnya, Dek. Mungkin ibu pergi ke tempat tetangga kita yang lain,” sahut Rangga mencoba menenangkan istrinya.
Tiba-tiba telepon berdering mengagetkan Veni. Veni pun mengambil benda pipihnya yang berada di atas meja, lantas menggeser layar dan mengangkat telepon.
[Kenapa, Om? Tumben menelepon?”] tanya Veni saat telepon tersambung.
[Om hanya ingin memberitahukan sama kamu, kalau ibu kamu sedang bersama Om di sini. Kamu tidak perlu khawatir Ven.]
[Oalah, iya Om. Veni kira ibu ke mana? Iya sudah kalau sama Om Heru. Veni titip Ibu ya Om.]
Telepon terputus.
“Maafkan Om Veni. Om hanya ingin meneruskan sakit hati Om sama ibu kamu.”
Heru pun turun ke bawah. Ia ingin melihat, apakah perempuan yang sangat ia benci, sudah mati di tangan anak buahnya?
“Radit! Jordan!” Heru kaget melihat kedua anak buahnya telah tewas bersimbah darah. Kokom juga sudah tidak berada di sana. Heru pun mundur, menjauh dan berlari ke atas. Setelah sosok Heru tak terlihat, Kokom pun keluar melalui pintu yang ternyata tidak dikunci. Entah bagaimana cara Kokom menghabisi kedua anak buah Heru? Kokom berlari sekuat tenaga menuju jalan raya. Sebelum pergi, ia lebih dulu membuang jaketnya yang tergoda oleh darah. Sementara Heru meninggalkan rumahnya dengan perasaan waspada.
“Aku tidak bersalah. Aku hanya membela diri. Aku tidak boleh takut. Aku harus pulang dengan selamat. Enak saja dia mau menyingkirkan aku. Dasar laki-laki k*****t!”
Kokom menghentikan mobil angkutan umum yang kebetulan melintas di sore itu. Dengan tangan yang masih gemetaran, Kokom mencoba menaiki mobil. Ia takut jika harus bertemu lagi dengan Heru. Kokom duduk di barisan paling belakang. Ia mencoba menetralkan degup jantungnya yang sejak tadi berdetak tak beraturan.
Angkot melaju membelah jalanan kota. Perasaan Kokom kembali tenang, saat rumah Veni terlihat dari kejauhan. Namun, ia pun merasa aneh pada dua polisi yang berdiri di depan rumah, mengobrol serius dengan Rangga dan Veni.