“Bukan urusan kamu. Dasar babu kepo!” Kokom pun mengajak Veni pulang karena merasa sudah tidak nyaman berada di rumah Tari.
Sesampainya di rumah, Kokom memarahi Veni tiada henti. “Mulutmu ini memang minta dilakban. Kita ini harus kelihatan bahagia terus. Jangan sampai mereka tahu kita punya masalah. Biarkan mereka saja yang hidup serba kekurangan, dan penuh masalah. Lihatlah, mereka sampai sekeluarga harus jadi babu semua demi menyambung hidup. Benar-benar enggak ada kemajuan sama sekali.”
*****
Malam hari Veni mengajak ibunya makan di restoran milik Lestari. Nazira ia tinggalkan di rumah bersama pengasuh. Sejak kemarin, suaminya belum juga kembali. Mungkin saja menginap di rumah sang ibu.
Kebetulan sekali, mereka bertemu dengan Lestari di restoran. Malam ini seluruh keluarga Tari juga makan di restoran yang sama. Sengaja, mau mencoba menu baru.
“Eh, kalian! Di mana-mana kok ada kalian, sih? Ini Restoran mahal, loh Tari. Apa suami kamu sanggup membayarnya? Apalagi, kamu mengajak seluruh keluarga kamu?
“Kamu lupa ya, Ven? Babu mah, dikasih makan gratis. Paling dipotong gaji nanti,” sambung Kokom sambil tertawa mengejek.
“Sekali potong gaji, langsung habis uangnya, Bu. Duh, kasihan amat sih. Nasib kalian sungguh sial.”
“Kalau aku enggak bisa membayar, kalian dong yang membayarkan. Kan kita keluarga. Masa maunya ditolong terus, giliran kita yang kesusahan, pura-pura enggak tahu,” sindir Tari membuat perasaan Kokom merasa tertohok. Namun manusia tidak punya malu itu, tentu masih saja menjawab.
“Kebaikan tidak perlu diungkit Tari. Kalau menolong yang ikhlas dong. Masa hutang sepuluh juta saja, kamu jadi perhitungan begini. Sedikit-sedikit diungkit, Sedikit-sedikit dibahas. Kayak enggak ada pembahasan yang lain saja. Oh, lupa, orang miskin memang enggak punya banyak pengalaman. Apalagi coba yang mau dibahas? Liburan? Belanja? Selain miskin kekayaan, kalian juga miskin pengalaman.”
“Sepuluh juta yang kalian anggap sedikit itu, terlalu berharga buat kami, saat kesusahan. Sepuluh juta yang kalian pakai, itu hasil kerja keras bapakku. Katanya meminjam cuman sebentar, kok sudah dua tahun juga enggak ada dibayar. Jadi sebenarnya yang miskin itu kalian, atau kami? Bisa makan enak, liburan ke mana-mana, beli perhiasan, tapi lupa sama hutang. Malu! Entar ditagih di akhirat, nangis! Eh satu lagi, kesombongan kalian, sungguh sudah di luar batas. Biar kami miskin, yang penting enggak punya hutang. Hutang yang enggak bisa dibayarkan.”
“Aku sudah mendengar jika suami kamu melangsungkan pernikahan hari ini di rumah bu Widya. Selamat dimadu Ven! Semoga hidupmu semakin bahagia dengan kehadiran istri baru suami kamu itu. Apa kalian masih bisa sombong setelah ini? Tentu saja, Rangga akan lebih memprioritaskan istri barunya.”
“Jangan sok tahu, Tari. Mas Rangga tidak mungkin, tidak mungkin mas Rangga menikah lagi dengan perempuan jalang itu.” Veni berkacak pinggang. Para pengunjung yang sedang makan, mereka pun pada menoleh ke arah Veni.
“Aku ada fotonya kok. Temanku yang mengirimkan. Mau lihat?” ucap Tari sembari mengusap layar ponselnya.
“Perkara uang sepuluh juta, kalian malah mempermalukan kami. Dasar manusia-manusia enggak ada otak. Sudah miskin harta, miskin ilmu. Ayo Ven, kita pergi ke rumah mertua kamu. Kita pastikan, kalau si miskin ini berbohong, dan mencoba menambah citra buruk kita di sini.”
Kokom dan Veni berjalan tergesa-gesa meninggalkan Cafe Nusantara Indah. Tatapan-tatapan aneh dari para pengunjung, tak mereka hiraukan. Dengan diantar sopir, mereka langsung menuju ke rumah Widya, mertua Veni.
******
“Sudah, Nduk! Ikhlaskan saja! Rezeki kita nantinya akan semakin lancar. Bapak tidak mau meladeni budemu itu. Bapak capek. Kalau kamu layani, yang ada mereka semakin senang mencari masalah.”
“Mereka manusia yang selalu memperlakukan orang lain dengan baik, saat punya harta dan jabatan. Merendahkan siapa saja, yang dianggapnya tak sepadan. Sungguh manusia sombong yang menjengkelkan. Bapak yang baik, kok bisa punya keluarga sejahat mereka? Sudah sombong, serakah. Apa mereka enggak takut kena azab, Pak? Tari juga sudah muak melihat tingkah laku mereka.” Tari semakin hari semakin kesal pada Kokom dan Veni yang semakin semena-mena.
“Eh, maaf Firman terlambat datang. Ini istri Mas kenapa, kok cemberut?” Firman menggeser kursi dan duduk di sebelah Tari.
“Habis ketemu demit, Mas,” sahut Tari membuat Bagio dan Rukmini seketika tertawa terbahak-bahak.
“Demit? Di sini terang tempatnya Dek. Mana mungkin ada setan?”
“Jangan polos banget kenapa, Mas? Tuh, demit yang tinggal di sebelah rumah kita.”
“Maksud kamu, Bude sama Veni?” ucap Firman yang langsung paham.
“Iya pasti mereka, Mas. Siapa lagi setan yang tinggal di sebelah rumah?”
“Sudah-sudah! Perut Bapak sudah kram gara-gara kamu Tari. Anak Bapak sekarang bisa marah juga.”
“Sudah muak Pak. Orang sombong seperti mereka akan senang, kalau kita merasa sedih dan tak berdaya dengan hinaan mereka. Kita harus lawan. Bersikaplah sesuai sikap mereka. Kita baik terus, mereka makin bahagia. Sesekali kita berhak marah dengan hinaan mereka. Harta enggak dibawa mati kok.”
“Mas bawa kabar baik buat kamu Dek. Semoga bisa meredakan amarah kamu.”
“Kabar apa, Mas?” Veni meletakkan gelas berisi jus alpokat ke atas meja. Ia bersiap mendengar kabar yang dibawa sang suami.
“Kita tidak perlu membangun lagi untuk membuka butik. Mas sudah membeli bangunan ruko, pas di seberang rumah. Kamu cari pekerja yang akan membantu kamu, tempatnya sudah dibersihkan dan di cat ulang. Pasti kamu sangat menyukainya.”
“Masyaallah, Mas. Aku tidak mimpikan? Butik impian, yang aku rasa tidak mungkin aku miliki, kamu memberikannya Mas. Pak, Bu, Tari punya Butik.”
Tari memeluk ibu dan bapaknya, sebelum akhirnya menangis di pelukan sang suami.
“Hemmm....pikirkan kami juga dong, Pak. Kami masih jomblo,” ucap salah satu pegawai restoran yang tengah membereskan meja di sebelah Tari dan keluarganya bersantai.
“Makanya nikah. Tuh, Agus suka sama kamu. Paling enggak lama juga bakalan melamar kamu. Agus yang lagi saya ikat di pohon belakang restoran.”
“Ih, Bapak kok mengolok saya. Masa saya menikah sama sapi?” sahut Hesti kesal. Yah kesal campur ngakak. Ya kali, disuruh nikah sama sapi yang mau dijadikan daging kurban?”
“Sudah, kalian jangan ngelawak terus kenapa? Perut Bapak tambah sakit kalian buat ketawa terus.”
“Makanya jangan ketawa, Pak. Lebih baik kita ketawa karena mereka ngelawak, daripada kita tekanan batin karena ulah mbakyumu sama keponakanmu itu. Sudah syukur istri dan anakmu tidak gila Pak. Kalau bukan mbakyumu sudah tak kasih sambal korek mulutnya.”
“Maafkan Bapak Bu. Semoga kedepannya mbak Kokom tobat dan meminta maaf sama kita.”
“Iya kalau enggak keduluan strok atau diabetes. Wong jahat mesti ngunduh, Pak.”
“Sudah, Pak, Bu. Kita nikmati hidup kita yang sekarang. Walaupun mas Firman bertemu dan menikah dengan Tari saat sudah sukses, namun tetap saja memprioritaskan kita. Tari janji Mas, akan menyayangi orang bapak dan ibunya mas seperti orang tua Tari sendiri. Mas juga jangan lupa, atas jasa mereka. Kesuksesan Mas saat ini, adalah doa dan pengorbanan mereka puluhan tahun.”
“Ibu menelepon tadi pagi. Ibu akan menginap malam ini. Masih dalam perjalanan.”
“Alhamdulillah. Tari sangat merindukan Ibu dan bapak Mas.”
Mereka pun mengobrol dan bercanda sampai restoran mau ditutup.
*****
“Rangga sudah sah menikahi Kumala. Besok Rangga akan pulang. Tolong siapkan kamar untuk mereka bulan madu! Layani Kumala dengan baik! Kamu istri pertama, harus selalu berlaku baik pada menantuku,” bisik Widya di telinga Veni.
“Ibu mertua zalim! Anda tunggu saja karma Anda! Tiga tahun aku menjadi istri mas Rangga, belum pernah sekali saja Ibu berbicara baik-baik denganku.”
“Kamu ini lucu, ya? Orang kamu saja jahat, kok minta diperlukan dengan baik? Ngaca!”