BAB 12

1231 Words
“Kenapa diam saja? Merasa, ya? Kalau bukan karena ulah licikmu, Kumala yang menjadi menantuku sejak dulu. Dasar jalang perebut!” “Berhenti bicara omong kosong, Bu! Berani sekali Ibu mempermalukan aku. Ibu tidak pernah memikirkan perasanku sama sekali. Biar bagaimana pun, akulah menantumu. Belum pernah juga ibu menyentuh Nazira anakku. Dia tidak bersalah. Seharusnya Ibu tidak membuang darah daging Ibu sendiri.” “Sudah aku katakan, aku hanya menginginkan cucu dari Kumala.” “Jaga perasaan Veni sedikit saja, Bu! Ibu benar-benar tidak bisa menghargai aku.” “Memangnya kamu, siapa? Kamu bukan orang penting kok. Tuh lihat, yang di pelaminan, lihatlah anak saya begitu bahagia hari ini telah resmi menikahi Kumala. Kehadiran kamu di sini tidak penting buat kami. Lebih baik kalian pulang saja sekarang. Lakukan apa yang sudah saya perintahkan. Siapkan kamar untuk Rangga dan Kumala. Mereka akan pulang besok pagi.” Veni terlihat sangat kesal dan menahan diri untuk tidak berbuat kasar pada ibu mertuanya yang memakinya di depan umum. Bahkan Widya memperolok Veni dengan sebutan jalang perebut. Suasana pun memanas. Veni dan Kokom hanya diam mendengar bisik-bisik para tamu undangan yang membicarakan mereka. “Oh, jadi istri pertamanya yang tidak beres. Dia yang merebut, dasar pelakor gatal!” umpat salah satu tamu undangan yang berdiri tidak jauh dari Veni. “Wajar suaminya menikah lagi. Ternyata istri pertamanya yang enggak beres.” Kokom pun pasang badan, karena sudah tidak tahan lagi mendengar makian mereka. “Aduh, mulut ibu-ibu ini tidak pernah disekolahkan, apa? Memaki seenaknya. Di mana-mana istri pertama yang dibela. Kalian diamlah!” Kokom yang mulai terusik dengan ucapan mereka tentang Veni, pun gegas maju membela anaknya yang hanya diam. “Istri pertama sih istri pertama, tapi hasil merebut, kan?” tanya Widya sembari menyunggingkan senyum miring. Merasa diperlakukan dengan tidak baik dan dipermalukan di depan umum, Kokom pun mengajak Veni untuk pulang. Nyatanya mulut pedas Kokom yang sering melontarkan kata-kata menyakitkan pada keluarganya, tak sanggup membalas ucapan pedas sang besan. Ia pun berniat pergi dengan sejuta rasa malu. Namun tiba-tiba ada yang menarik tangan Veni. Rangga di sana. Rangga membawa Veni ke ruang tamu, untuk suatu keperluan. Widya dan Kumala tersenyum penuh arti. Mereka pun masuk ke dalam rumah menyusul. ***** Pagi-pagi sekali mereka kembali ke rumah Rangga. Kedatangan mereka disambut dengan wajah masam dari Veni maupun Kokom. “Biasa saja melihatnya. Kayak punya hutang saja,” sungut Kumala saat menyadari tatapan tak bersahabat dari istri tua Rangga. ‘Baguslah kalau kalian kesal. Aku sangat menyukainya,’ batin Kumala sembari tersenyum mengejek pada Veni. Veni sangat kesal, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Rangga akan menceraikan dirinya, jika dengan sadar melukai Kumala. Kumala mendekat ke arah mereka yang tengah sibuk dengan urusan memasak. Sementara, Rangga yang masih mengantuk dan lelah, melanjutkan tidurnya kembali. “Mbak Veni, masakan sudah siap, belum? Aku sudah lapar. Tadi malam mas Rangga langsung membawaku menikmati surga dunia, jadinya pagi ini aku lapar sekali. Tenaga terkuras habis semalam. Kamu tahu sendiri kan, Mas Rangga bagaimana?” Kumala sengaja mengarang demi memanasi Veni yang wajahnya sudah merah padam menahan emosi. “Kamu buta, atau bodoh? Sudah tahu masih sibuk mengiris bumbu, pakai bertanya segala,” sahut Veni ketus. “Marah, Mbak? Cemburu, ya? Hati panas, hawa panas, apalagi di depan kompor, tambah panas jadinya.” Veni refleks mengangkat tangannya hendak menampar Kumala yang sejak tadi seperti sengaja memancing emosinya. “Kenapa marah? Mbak Veni tidak ikhlas menyiapkan sarapan untuk kami? Mau menamparku? Pilih saja, setelah ini aku bawa ke rumah sakit, atau ke meja hijau? Atau mau diceraikan sama mas Rangga, Mbak? Silahkan pilih! Aku tidak akan tinggal diam jika Mbak melakukan tindak kekerasan. Lagian apa yang aku lakukan ini, tidak ada apa-apanya dibanding kecurangan Mbak dalam menggagalkan pernikahanku dulu. Diingat lagi ya Mbak surat perjanjian yang Mbak tulis kemarin malam.” Kumala mengingatkan kembali pada Veni tentang surat perjanjian yang ditulis langsung oleh Veni. “Iya sudah tahu. Kamu diamlah, jangan banyak bicara. Yang sudah lewat, tidak perlu kamu ungkit lagi. Sekarang kamu sudah menikah sama suamiku. Bantuin kek! Nyerocos saja bisanya.” “Bantuin? Mohon maaf Mbak, enggak ada di surat perjanjian aku membantu mengerjakan pekerjaan di rumah ini. Itu tugas Mbak Veni dan bu Kokom yang tidak tahu malu. Tidak mau diceraikan hanya karena tidak punya rumah untuk pulang? Semiskin itu kalian? Kasihan!” “Aku bilang diam, jalang!” “Jalang teriak jalang, uppss.” “Lanjutkan masaknya, Mbak. Aku mau ke kamar dulu, menyusul mas Rangga. Semangat ngebabunya, ya? Kalau sudah siap, panggil kami!” Kumala sudah pergi, dan Veni pun melampiaskan kemarahannya dengan membanting talenan. “Dasar sialan! Modelan begitu perempuan idaman mas Rangga? Sungguh perempuan aneh. Rasa mau aku racun saja, melihat tingkah lakunya yang menjengkelkan itu.” Veni pun dengan perasan kesal tak terkira, menyelesaikan memasak tumis kangkung dan ayam goreng pagi ini. Sesekali ia memaki, saat minyak panas itu menciprat ke wajah mulusnya, pas menggoreng ayam. ***** “Kenapa senyum-senyum terus sayang? Bahagia banget ya, nikah sama Mas?” “Apaan sih, Mas. Aku baru saja mengerjai istri Mas di dapur. Sampai dia kesal, tapi enggak bisa ngelakuin apa-apa. Kasihan sih, tapi memberi pelajaran sekali-kali, biar dia sadar diri. Sadar kalau diusir itu enggak enak. Sadar kalau dihina juga tidak enak, apalagi cobaan palsu yang sekarang kita perankan. Kasihan mbak Tari sama ibunya selalu jadi sasaran.” “Adik Mas ini memang paling pintar. Nama kamu yang sama dengan nama mantan mas, dan kalian sama-sama cerdas.” “Semoga saja setelah ini mbak iparku itu perlahan berubah, Mas. Kalau soal mertua Mas, tidak usah terlalu diurus. Kita sudah bersandiwara terlalu jauh, sampai rela menyewa MUA, dan tamu undangan. Ini benar-benar keterlaluan sih, tapi aku suka sekali pura-pura jadi istrimu. Untung di kamar ini ada dua kasur, jadi Mas tidak perlu tidur di lantai.” “Iya sudah disiapkan semuanya sama Ibu. Ibu juga bilang sama Mas, dia bakalan mau menerima mbakmu dan cucunya. Mas merasa bersalah juga melakukan ini. Tapi bagaimana lagi, ditegur secara baik-baik juga tidak bisa.” “Memang berlebihan sih Mas. Tapi ya enggak papalah. Lagian, Mentang-mentang aku kuliah jauh, sampai dirahasiakan. Bahkan akunnya mbak Veni pun dirahasiakan dariku. Begini jadinya, tidak mengenali adik ipar sendiri. Kalau nanti mbak Veni marah dan malah minta pisah, bagaimana, Mas?” “Ini kan juga pelajaran buat dia Dek. Mas awalnya pun berat menerima kenyataan, pernikahan Mas dengan Kumala gagal karena wanita yang saat ini menyandang gelar istri di hidup Mas. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin ini sudah garis tangan Mas. Mau tidak mau, Mas harus melupakan hal buruk yang dilakukan mbakmu.” “Hal ini, semoga bisa dijadikan pelajaran buat Mbakmu, biar berpikir dulu sebelum bertindak. Awal Mas tahu, Mas sangat marah. Apalagi Ibu yang memberitahu. Namun nasihat datang silih berganti dari teman-teman Mas. Mas berusaha berdamai dengan keadaan. Lagian sekarang, Kumala juga sudah menikah. Apa yang bisa Mas lakukan? Menyesal dan kecewa sama mbakmu, tidak akan membuat Mas bahagia. Mas akan menerimanya dengan lapang d**a, walaupun cara mendapatkan cintanya Mas, dengan tindakan yang salah.” “Baiklah jika seperti itu, mari kita bermain peran dengan benar. Kita buat Mbak Veni berubah. Kumala dengan senang hati menyamar jadi istri Mas Rangga. Beruntung di rumah Mas Rangga ini, tidak ada yang mengenaliku,” bisik Kumala lirih. “Makanan siap, ayo cepat makan keburu dingin Mas. Ajak istri mudamu itu!” panggilan Veni yang nyaring dan terdengar agak jauh dari kamar mereka, menghentikan obrolan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD